Gian tidak pernah semarah ini. Setelah kemarin malam dihubungi oleh dua orang tim Jatinangor, siang ini ia mendapat kabar baru bahwa ternyata ada dua orang lagi yang jadi korban penyerangan dari orang tak dikenal. Dimulai dari Rei, Arin, Rafli, hingga Mufti yang bahkan sampai harus dilarikan ke rumah sakit.
Ia sangat yakin bahwa keempat orang itu diserang oleh orang yang sama, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai pelaku utama dari kejahatan fraud yang telah mencoreng namanya. Ya, Gian sudah tahu siapa pelaku sebenarnya dari hasil diskusi analisisnya bersama Tori beberapa hari lalu di salah satu kafe kopi kawasan Gede Bage.
Empat orang waktu itu dicurigai sebagai pelaku, kemudian semakin mengerucut hingga menyisakan dua tersangka. Memerlukan waktu selama kurang lebih satu jam untuk benar-benar meyakini siapa sebenarnya pelaku dari semua kekacauan ini. Tentu saja semua tak diputuskan berdasarkan asumsi tanpa bukti. Gian dan Tori sama-sama mengantongi beberapa petunjuk penting yang benar-benar menyudutkan orang itu. Keduanya pun sudah melakukan rencana untuk segera melabrak pelaku dan memaksa mengakui kesalahannya.
“Kapan kita mau ketemu dia? Ini nggak bisa ditunda lagi,” kata Gian sangat tak sabar.
“Tiga hari lagi aja di Hari Senin. Besok soalnya saya harus ke Bekasi dulu. Ada urusan.”
Padahal rencana itu sudah dibuat secara matang, tapi ternyata orang itu telah bergerak terlalu jauh bahkan sampai melukai rekan-rekan timnya yang lain. Jika dibiarkan terlalu lama lagi, ia yakin kejahatannya akan semakin parah, mengingat juga empat orang yang diserang ini adalah tim penyelidikan yang berusaha mencari bukti membersihkan nama Gian. Tak heran bila si pelaku jadi kepanasan karena takut kedoknya terbongkar.
“Nggak bisa gini, Pak. Kita harus tunggu hari Senin sampai saya ada di sana. Jangan nekad mau nyerang duluan. Dia itu berbahaya, ingat,” kata Tori di seberang telepon.
“Kalau nunggu kamu ke sini dua hari lagi akan banyak memakan waktu nggak perlu, Tor. Saya bisa, kok.”
“Pak, tolong, jangan gegabah.”
“Dia udah buat karir saya hancur, memfitnah kamu, dan nyerang tim kita. Mau nunggu korban siapa lagi sekarang?”
Tori terdiam beberapa detik sampai akhirnya menyetujui apa yang ingin dilakukan Gian dengan berbagai pertimbangan.
“Oke kalau Pak Gian maunya kayak gitu. Tapi, Bapak harus ikuti rencana saya ini.”
“Rencana apa?”
Saat itu juga Tori menjelaskan beberapa hal detail untuk dilakukan Gian di sana jika bertemu pelaku. Susunan rencana itu memang penuh risiko, tapi memang harus dilakukan untuk menyudutkan pelaku supaya bisa segera mengakui kejahatan dan menghentikan menyerang orang tak bersalah.
“Gimana, setuju?” tanya Tori memastikan.
“Oke, saya setuju,” jawab Gian percaya diri meski hati kecilnya masih cukup ketakutan untuk melawan orang seberbahaya itu sendirian.
Telepon ditutup. Gian meraih selembar foto ukuran 3R yang waktu itu dibawanya ke pertemuan bersama Tori. Itu potret pelaku yang tercetak seakan menjadi orang tanpa bersalah. Foto itu kemudian ditatapnya dengan perasaan penuh benci, meremasnya hingga menjadi gumpalan kertas menyerupai bola.
“Ini pembalasan dendam terbesar saya. Tunggu di sana, you bastard.”
***
Sore itu jam 3 sore Gian sampai di toko ritel fashion dua lantai yang pernah menjadi tempat kerjanya selama kurang lebih setahun ke belakang. Ia sengaja tidak memberi tahu siapapun akan datang ke sini karena tujuan utamanya adalah menemui orang itu yang merupakan karyawan resmi cabang Jatinangor.
Ia tidak masuk ke area selling, tapi menuju parkiran belakang dekat dengan ruangan tak terpakai tempat menyimpan barang usang. Bisa disebut gudang, hanya saja bukan untuk menyimpan produk yang bisa dijual perusahaan.
Sebelum menuju ke sini, ia mendapat update terbaru dari Mufti. Katanya laki-laki sudah siuman dan bisa diajak bicara. Kondisinya pun tidak sampai sekritis ketika pertama kali dibawa ke rumah sakit. Sementara ini ada Filia menemani di sana sebelum keluarga Mufti datang menjenguk menuju Bandung.
“Eh, Pak Gian? Ada apa, Pak?” kata orang itu lewat sambungan telepon.
“Saya ada di toko, nih. Di belakang deket tempat biasa kita istirahat. Bisa ke sini sebentar?”
“Lho, kenapa nggak bilang kalau mau ke sini? Kalau gitu tunggu sebentar, ya.”
Hanya berselang beberapa menit saja, orang itu datang menemui Gian di belakang. Tak ada yang mencurigakan. Dia masih bisa tersenyum seakan jadi manusia innocent yang tak punya salah. Padahal kenyataan justru mengatakan sebaliknya sebagai penjahat keji yang bahkan nyaris menghilangkan nyawa seseorang.