Semua bermula ketika Rei masih berada di cabang Cirebon yang dekat dengan kediamannya. Dua tahun bekerja, akhirnya ia dipromosikan menjadi Penanggung Jawab Reseller. Tentu hal ini jadi kesempatan besar untuknya meraih karir yang lebih baik. Maka sebisa mungkin ia memberikan performa terbaiknya mencari omzet yang banyak dan mencapai target agar mendapat peluang dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.
Suatu ketika ia melakukan back up kasir karena kasir utama sedang tidak masuk. Ia ingat saat itu hari Senin karena mengenakan kaus putih polos dengan jelana jins navy. Kemudian seorang konsumen datang hendak menukarkan barang. Tentu saja hal ini tidak sulit dilakukan asalkan syarat dan ketentuan retur sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan.
Rei tidak menyadari bahwa harga pembelian kedua ternyata lebih rendah, sehingga terdapat kelebihan uang cash sesuai dengan selisih harga barang. Meski secara SOP itu tidak dibenarkan, tapi Rei tetap melakukan proses retur dan menyerahkan kelebihan uang itu ke konsumen yang bersangkutan.
“Mohon maaf ya Pak sebelumnya, untuk proses retur ke depannya mohon mencari harga yang lebih tinggi dibanding pembelian awal.”
Supervisornya kala itu sempat menegurnya untuk tidak melakukan kesalahan sama ke depannya. Cukup beruntung ia tidak sampai mendapatkan Surat Peringatan.
Semakin lama bekerja di sana ia semakin paham ada celah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan. Tapi, Rei belum berani melakukannya karena risikonya tinggi yang pasti mempertaruhkan karir. Niat jelek itu pun dikuburnya dalam. Ia kembali bekerja sesuai dengan job desk sampai akhirnya mendapat promosi kembali menjadi Asisten Supervisor untuk cabang baru yang akan buka di Jatinangor.
“Kenalin, Gian, Supervisor di sini.”
“Rei, aku ASPV 1 yang akan jadi partner kamu.”
“Saya Tori, ASPV 2. Mohon kerja samanya, ya.”
Perkenalan di hari pertama seminggu sebelum grand opening itu menjadi cikal bakal cabang Jatinangor beroperasi. Selain ketiga leader, ada juga bagian Kasir, Promotor, Gudang, juga Penanggung Jawab Reseller. Di beberapa minggu awal semua berjalan baik sebagaimana mestinya layaknya tim yang baru terbentuk. Semua pun bisa beradaptasi dengan tugas masing-masing, terutama untuk melayani konsumen, mencari omzet, dan mencapai target.
Sampai di satu titik Rei penasaran dengan rencana terdahulunya untuk memainkan stok barang, terutama pada bagian retur konsumen. Ia mencoba lewat komputer operasional, bukan komputer layar sentuh di kasir dan memastikan bahwa percobaannya aman dari pengawasan Gian dan Tori.
Ia membuka POS yang seharusnya digunakan di kasir, menuju menu retur, dan mengambil satu transaksi secara acak di hari yang sama untuk dilakukan penukaran barang meski sebenarnya tak ada dalam permintaan konsumen.
Cara cerdiknya adalah memilih acak juga transaksi yang baru terjadi sebagai transaksi pertama pengganti retur, dengan barang yang hampir serupa dan nominal yang tak jauh berbeda. Itu menyebabkan data transaksi pertama tadi akan kembali masuk ke sistem padahal fisik barangnya ada di tangan konsumen. Jumlah uang penjualan di kasir pun tentu akan mengalami kelebihan. Di sinilah diam-diam Rei mengambil lebih uang tersebut dan masuk ke kantong pribadinya.
Kejahatan yang dilakukan selama setahun lebih ini sejak pertama toko Jatinangor berdiri pelan-pelan membuat dirinya menilap banyak uang hingga ratusan juta. Apa yang dia dapat tentu digunakan untuk keperluan pribadi seperti mengganti ponsel ke edisi terbaru, pindah ke kosan yang lebih nyaman, juga membiayai kedua adiknya sekolah ke tempat yang tidak murah.
“Hebat juga kamu memainkan banyak trik psikologis. Mulai dari menghasut anak-anak untuk membenci Tori, menyudutkan aku ke tim audit, sampai pura-pura diserang sama orang nggak dikenal. It’s all bullshit.”
Pada akhirnya bangkai yang lama disembunyikan tercium juga. Gian datang ke toko sore tadi tanpa pemberitahuan. Berbicara basa-basi sebentar, kemudian menembak pada topik inti bahwa Rei adalah pelaku kasus fraud yang menyebabkan selisih stock opname membengkak.
“Stock opname nasional 4 bulan lalu pun kamu manipulasi hasilnya. Gila, cerdas banget kamu, Rei.”
Rei masih terdiam saat itu memikirkan pembelaan apa yang bisa dilakukannya untuk membantah analisis Gian yang sebenarnya tidak salah.
“Gi, coba pikir, deh. Bukannya transaksi retur itu harus ada report dan notanya, ya? Terus gimana caranya aku ngelakuin semua ini?”
“Pertanyaan bagus, Pak Rei,” jawab Gian yang semakin tak sabar mengungkap semua kebusukan ini. “Jangan kamu pikir kalau saya juga nggak tahu kalau kamu nggak kerja sendirian. Kamu punya partner kejahatan lain yang mana adalah orang IT pusat. Iya, kan?”