Mufti masih berada di ruangan rumah sakit kelas 1 yang ada di daerah Kebon Jati. Bau obat itu menyengat hidung yang sebenarnya tak pernah disukainya. Sebenarnya kondisinya stabil dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja perasaannya tetap tidak tenang saat tahu bahwa tiga rekan penyelidikannya yang lain juga mengalami hal sama. Itu berarti empat orang ini memang sengaja dijadikan target untuk membungkam kasus fraud yang terjadi.
Dalam tanda tanya besar yang belum terjawab di otak Mufti, seseorang memasuki ruangan membawa bingkisan buah segar. Ternyata itu Gustav, yang juga masih jadi atasannya karena outlet-nya berada di area Jawa Barat. Branch Manager sengaja datang sendirian setelah melakukan visit di cabang Buah Batu.
“Repot banget sampai harus mampir, Pak,” kata Mufti masih berbaring di tempat tidurnya.
“Santai, Mu. Sekalian aja lewat.”
Kedunya membicarakan hal ringan soal kabar masing-masing, cerita kenapa Mufti bisa keracunan, hingga situasi pekerjaan mereka.
“Oh iya, katanya Pak Rei mau diangkat jadi SPV ya, Pak?”
“Iya, bener. Dari waktu awal Gian resign, sebenernya dia selalu minta saya untuk promosikan dia ke Supervisor. Tapi, saya pengin lihat dulu gimana kinerja dia sebulan ke belakang ini. Karena ternyata bagus, ya akhirnya saya setuju.”
Mufti rekfleks mengerutkan kening dengan tatapan kaget dan bingung yang menjadi satu. Ia tak akan lupa bahwa apa yang diceritakan Rei adalah sebaliknya kalau Gustav lah yang akan mengangkatnya jadi Supervisor. Bahkan ketika disuruh mengajukan diri oleh rekan-rekan lain, Rei menolak halus karena menganggap pekerjaan Supervisor cukup berat dengan tanggung jawab besar.
“Jadi memang Pak Rei yang dari dulu minta diangkat jadi SPV, Pak?”
“Iya, begitu. Dipikir-pikir memang udah saatnya juga dia naik, apalagi dia yang paling senior pengalamannya di antara kalian.”
Mufti kembali terdiam menatap Gustav dalam beberapa detik, membuat Branch Manager itu bertanya balik karena ia tidak mengatakan hal aneh, salah, ataupun mencurigakan.
“Bentar, Pak. Apa Bapak pernah melarang dan mengancam kita untuk nggak melanjutkan penyelidikan fraud Jatinangor?”
Kali ini berbalik Gustav yang memasang wajah tak mengerti.
“Fraud kasus Tori maksudnya? Itu udah beres kan karena pada akhirnya dia ngeganti semua kerugian yang dia ambil. Kalau nggak salah sih, dia sampai harus menggadaikan BPKB mobilnya.”
Mata Mufti semakin membesar, melemparnya ke beberapa minggu ke belakang ketika Rei menelepon untuk mengetahui minuman apa yang tidak disukainya.
“Saya nggak suka sama minuman susu rasa buah. Enek banget. Kenapa sih, Pak?”
“Ini buat permainan nanti pas kita ke pantai, Mu. Pokoknya seru, deh.”
“Duh, mau ada games apa emang? Penasaran.”
“Ah, nanti juga kamu tahu. Oh iya, kalau makanan apa ada yang nggak kamu suka? Semacam alergi, mungkin?”