Sejak peristiwa berdarah yang mengungkap semua kejahatannya, Rei terpaksa masuk ke dalam sel besi yang akan jadi tempat tinggalnya untuk beberapa waktu ke depan. Ia didakwa oleh tuntutan penggelapan dana dan penganiayaan pada orang secara sengaja. Ia juga diwajibkan mengganti seluruh kerugian perusahaan meski harus dengan cara dicicil.
Kehidupannya yang begitu sempurna karena diam-diam telah menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi kini berbalik menjadi kehidupan penuh derita karena harus tinggal dengan para kriminal lain yang kasusnya pun bisa lebih parah. Ia juga tak mungkin melupakan hari-hari pertamanya di sel tahanan yang dihajar oleh narapidana. Rei tak bisa melawan, membiarkan wajahnya penuh dengan luka memar. Katanya, memang cara inilah yang dilakukan mereka sebagai sambutan selamat datang bagi orang yang baru memasuki sel.
Beberapa kali ia kedatangan tamu. Dimulai dari, Gian, Tori, Mufti, Arin, hingga Rafli. Meski kelima orang itu datang bukan di waktu yang bersamaan, Rei masih ingat apa saja yang terucap dari semuanya. Ia marah karena dipandang dengan sangat rendah. Tapi, untuk kali ini memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain memendam semua amarah ini.
“Lihat siapa sekarang yang kehilangan semuanya. Kamu, Rei. Kamu akan mendekam di sini untuk waktu yang lama. Nikmatin aja,” kata Gian melalui kaca bening yang memisahkannya mereka.
“Well, well, akhirnya kita bertiga udah nggak kerja di sana lagi, ya. Jatinangor akan punya pemimpin baru yang lebih baik, bukan seperti kita berdua yang pernah melakukan fraud.” Itu kata-kata dari Tori.
“Hallo, bastard. Apa kabar? Enak tinggal di sini? Kalau gue sih pasti nggak betah hahaha.” Jelas, itu Mufti.
“Pak Rei, lihat luka itu. Jauh lebih parah dari goresan yang Bapak bikin di pipi saya,” ucap Arin merasa puas.
“Kita udah lepas dari kontrol kamu, Rei. Nggak ada lagi yang boneka yang bisa kamu mainkan.” Itu Rafli, yang menatap Rei lewat pembatas kaca itu dengan tanpa ekspresi.
Dua minggu kemudian ia kedatangan tamu yang tak kalah penting. Bukan lagi rekan kerjanya, melainkan saudara kandungnya sendiri. Itu Ren, yang jauh-jauh datang dari Magelang untuk menemui sosok kakaknya yang ternyata tidak sebaik yang ia pikir selama ini.
Semula Rei tidak ingin bertemu ketika tahu bahwa Ren datang. Tapi setelah dipaksa oleh petugas, akhirnya ia bersedia menemui adiknya itu dengan menundukkan pandangan karena malu. Kaus khas narapidana berwarna biru itu lagi-lagi harus diperlihatkan bagi siapapun yang datang menemuinya.
“Sehat, Mas?” tanya Ren dingin.
Rei tidak menjawab.
“Aku berhenti kuliah.”
“Hah?” Rei akhirnya bicara setelah Ren membuat keputusan secara sepihak.
“Nggak ada gunanya juga aku kuliah pake uang haram.”
Rei terdiam lagi. Adiknya memang benar jika menganggap biaya kuliah selama ini berasal dari jalan yang salah. Ia sadar itu, meski akhirnya tetap terlena untuk mengulang kejahatannya selama setahun lebih.
“Ran akan pindah ke sekolah negeri semester depan. Ayah juga udah dapat kerjaan baru di sana. Aku sendiri mau cari kerja aja yang tentunya lebih halal dari apa yang Mas lakukan sebelumnya.”
Karena tidak ada percakapan dua arah lagi, Ren beranjak dari sana meninggalkan Rei. Adik kakak yang sebelumnya kompak dan mengerti satu sama lain itu kini berbalik menjadi orang asing. Semua telah berubah, membuka jalan cerita baru untuk memperbaiki hidup yang tidak menyenangkan ini.