Aku tersentak dengan napas terengah-engah. Mataku menatap nanar langit-langit kamar di atasku. Mimpi buruk itu lagi. Aku mendesah. Sudah berapa kali aku memimpikan kematian perempuan itu dan tetap saja terbangun dengan perasaan takut serta gelisah yang sama.
Kusibak selimut yang masih membungkus tubuh. Sekujur badanku lengket bermandikan peluh. Jam weker di atas nakas menunjukkan pukul lima pagi. Ini hari Senin dan merupakan hari pertama masuk sekolah semester kedua. Aku harus mandi dan segera bersiap.
Setiap kali habis bermimpi buruk, entah mengapa aku merasa lemas tak bertenaga. Seolah energiku terhisap habis oleh sesuatu tak kasat mata. Mimpi itu selalu berpola sama. Seorang perempuan berdiri di atas gedung dan terjatuh di depan kedua mataku. Lalu, aku akan terbangun dengan napas terengah-engah dan sekujur badan dibasahi keringat.
Aku tidak tahu apa penyebab mimpi buruk itu berkaitan dengan peristiwa mengerikan yang kulihat enam bulan lalu. Seorang perempuan mati karena terjatuh dari atas gedung. Perutku bergejolak tiap kali teringat kejadian itu. Kasus kematian perempuan itu telah ditutup sebagai kasus bunuh diri.
Aku tahu itu tidak benar dan mencoba memberitahu polisi mengenai kenyataan yang kulihat karena aku satu-satunya saksi di sana. Tetapi, aku mendapatkan surat ancaman tanpa nama yang ditulis dengan darah. Yang mengatakan kalau aku akan bernasib sama bila mengungkapkannya. Mama yang ketakutan berusaha untuk menyuruhku diam. Sejak itulah aku sering memimpikan perempuan itu dan rasanya sangat mengganggu. Aku berharap semua ini bisa berakhir dan aku dapat menjalani hidup dengan tenang seperti semula.
Sambil menarik napas panjang untuk mengisi udara pada paru-paruku yang menciut, aku melangkah terseret-seret menuju kamar mandi, nyaris bertabrakan dengan Anila-adikku yang terpaut satu tahun di bawahku.
"Ih, Kak Rila tuh ngagetin aja!" serunya jengkel.
Aku hanya menatapnya dengan mata mengantuk. Sebagian rambut panjangku yang berantakan menutupi wajah. Mungkin itulah yang membuat gadis itu terkejut.
"Kamu udah bangun, La?" Suara mama terdengar dari arah dapur.
"Udah, Mah," sahutku, lalu menatap Nila dengan tak sabar. "Lo udah selesai belom? Gue juga mau mandi."
Nila segera menyingkir dari pintu sambil bersungut. Membetulkan lilitan handuk di kepala dan juga jubah mandi yang dikenakannya.
"Eh, itu barang-barang lo jangan lupa dibawa," kataku, menunjuk pakaian Nila yang tertinggal di dalam kamar mandi.
Gadis itu melenggang tak peduli menuju kamarnya. "Ntar aja. Gue mau ganti baju dulu."
Aku menghela napas sambil geleng-geleng. Lalu, mengumpulkan pakaian Nila yang berserakan dan meletakkan di keranjang cucian yang terletak tak jauh dari kamar mandi.
Kebiasaan gadis itu memang tak pernah berubah. Selalu ceroboh, sembrono dan berantakan. Kadang aku sudah sering mengingatkannya agar tidak sembarangan meletakkan barang-barang. Tetapi, ucapanku hanya dianggapnya angin lalu.
Kami kerap bertengkar karena hal-hal sepele. Ya, meski kami kakak adik dengan usia yang hampir sebaya, tapi itu tidak membuat kami akrab secara harfiah. Terlalu banyak perbedaan yang membatasi kami.
Anila adalah tipikal ekstrovert, spontanitas, dan ekspresif. Dia akan melakukan apapun yang disukainya, tak peduli itu merugikan orang lain atau tidak. Bagi Nila, hidup itu seperti air yang mengalir. Jalani saja apa adanya. Tak perlu memusingkan sesuatu yang bahkan belum terjadi. Sementara aku adalah kebalikan dari dirinya.
Aku cenderung introvert, idealis dan terbiasa disiplin. Aku benci segala hal yang berantakan dan tidak teratur. Bagiku, sikap yang seperti itu adalah kebiasaan yang bisa menghambat keberhasilan. Aku bahkan selalu menyiapkan jadwal terencana keseharian di buku jurnal pribadiku. Biasanya aku menuliskannya sebelum tidur mengenai hal-hal yang akan kulakukan besok atau mungkin sampai seminggu ke depan. Meski kadang-kadang ada yang tidak sesuai rencana, tetapi aku tetap melakukannya.
Kadang Nila sering mengatai sifatku yang terlalu kaku dan idealis. Yeah, memang begitulah. Tetapi, inilah caraku bertahan hidup selama 17 tahun. Aku ingin kehidupanku berjalan sesuai arah yang kuinginkan dan tentunya aku harus berusaha keras agar tidak mengacaukannya.
Selesai mandi, aku langsung bersiap memakai seragam dan bergegas ke ruang makan untuk sarapan.
Suara gaduh Nila sayup-sayup terdengar dari arah kamarnya. Sepertinya gadis itu sedang mencari sesuatu dan belum menemukannya.
Aku memutar bola mata sambil menarik kursi dan duduk di sana. Kebiasaan buruk itulah yang menyebabkan Nila sering terlambat ke sekolah. Kenapa sih dia tidak pernah menyiapkan keperluannya sendiri dengan benar?
"Si Nila kenapa lagi sih, Mah?" tanyaku pada Mama yang baru saja datang membawa sarapan untuk kedua putrinya.
"Kayak nggak tau aja kamu sama anak itu," jawab Mama. Meletakkan piring sarapan ke hadapanku dan juga seberang meja tempat Nila biasa duduk. "Oh ya, gimana sama tadi malam? Apa kamu masih mimpi buruk lagi?"
Pertanyaan Mama membuatku sedikit muram. Namun, aku hanya menggeleng. Tak ingin membuatnya khawatir. "Nggak kok, Mah. Aku udah jarang mimpiin cewek itu lagi."
"Yakin?" Mama menatapku lekat.
Aku hanya mengangguk seraya membuang pandang ke arah lain. Tanganku mengaduk-aduk nasi goreng di hadapan dengan perasaan bersalah. Aku tidak ingin membuat mama khawatir dengan mimpi buruk yang sering kualami. Sudah terlalu berat kehidupan dan beban yang harus dia tanggung atas diri kami.
Papa meninggal tepat setahun lalu. Tanpa ada pertanda apapun. Aku ingat persis bagaimana kami semua begitu syok menerima kabar kematiannya. Papa adalah sosok yang paling diandalkan dalam keluarga ini dan kepergiannya bagai keruntuhan dunia. Aku ingat terakhir kali ucapanku sebelum dia meninggal. Itu adalah saat di mana aku dan Nila sedang bertengkar hebat.
Kami saling berteriak dan saling memaki. Saling mengungkit kesalahan yang pernah dilakukan masing-masing di masa lalu. Papa menyuruhku untuk berhenti sekaligus mengalah pada Nila. Tapi, aku sudah terlanjur sakit hati dengan ucapan gadis itu. Jadi, aku melampiaskan kemarahanku pada papa. Lalu, berkata dengan nada keras kalau aku dilahirkan kembali, kuharap aku tak pernah menjadi bagian keluarga ini dan berharap tak punya adik kandung seperti Nila.