"BERHENTI!" teriakku sekali lagi dengan sekuat tenaga.
Namun, si pengendara tampaknya tak mendengar teriakanku dan terus saja memacu motornya meski jarak kami kurang dari satu meter lagi. Aku menjerit sambil buru-buru menepi untuk menghindarinya. Tetapi, kakiku tersandung sesuatu.
Tubuhku pun jatuh terjerembab, nyaris mencium aspal. Motor itu berhenti tepat kira-kira 10 senti dari wajahku yang memucat karena ketakutan. Aku menahan napas selama beberapa detik. Masih syok atas apa yang barusan terjadi. Dan ketika aku mendongak, kulihat si pengendara dengan santainya menjalankan lagi motor ninjanya melewati sisiku ke lahan parkir kosong di belakangku. Tanpa merasa bersalah.
Mendadak, rasa kesal bercampur amarah mulai merambati sekujur tubuhku. Aku cepat-cepat berdiri, lalu menghampiri si pengendara sialan yang nyaris menabrakku tadi.
"Heh! Apa-apaan sih maksud lo tadi!" bentakku emosi.
Si pengendara itu turun dari motor besarnya, membuka helm full face yang menaungi seluruh wajah, kemudian menatap acuh tak acuh ke arahku.
Aku agak tersentak karena sama sekali belum pernah melihat cowok ini di sekolah. Apa dia murid baru? Berani benar seorang murid baru ngebut di lingkungan sekolah dan nyaris menabrak seorang siswa.
Cowok itu mengantongi kontak motor sambil membetulkan tali tas di bahu dan berjalan pelan ke luar parkiran.
"Woi! Lo nggak mau minta maaf!" teriakku jengkel setengah mati.
Sialan! Udah mau nabrak orang, tapi nggak ada sopan santunnya nih cowok.
Dia berhenti, lalu berbalik menatapku. "Sori," ucapnya datar dan kembali melanjutkan langkah.
Aku tercengang. Wait, what? Cuma gitu doang?
"Songong banget sih lo, anjir!"
Cowok itu refleks memutar tubuh. Terlihat jengah ketika pandangan kami bertemu. Untuk sepersekian detik, aku sedikit terpana melihat visualnya yang-harus kuakui-very good looking. Matanya tajam dibingkai dua alis hitam tebal datar. Hidungnya tinggi lancip dengan garis rahang tegas. Bibir merahnya sedikit berbelah di bagian bawah dan kulitnya bening bak porselen, membuatku agak insekyur dengan penampilanku sendiri.
Namun, aku cepat-cepat tersadar. Mau seganteng apapun visualnya, tetep aja nih cowok songongnya nggak ada obat.
"Lo tadi hampir nabrak gue," kataku garang. "Gila ya, lo!"
Cowok itu mengernyit. "Bukannya lo yang ngalangin jalan gue?" ketusnya.
"Maksud lo?"
Dia memandangku seolah-olah aku cewek paling tolol sedunia. "Coba deh lo inget-inget lagi kejadian barusan, di mana persisnya lo berdiri?"
Aku mengerjap, berusaha mencerna ucapannya yang sangat mengejutkan. "Jadi, maksud lo karena gue berdiri di depan lo terus lo seenaknya bisa nabrak gue?"
"Gue kan nggak nabrak lo."
"Ya, tapi lo tadi bisa nabrak gue kalo gue nggak menghindar!"
"Yang penting kan lo nggak ketabrak. Jadi, apa lagi yang perlu dipermasalahin?" Cowok itu memasang raut bosan. "Lagian gue juga udah minta maaf."
"Seengaknya, lo punya etika dan sopan santun kek. Kejadian tadi bisa bahaya banget tahu nggak? Dan lo pikir permintaan maaf lo yang songong itu bisa gue terima?" geramku. "Jangan-jangan lo emang sengaja mau nabrak gue?"
Cowok itu tak segera menjawab, hanya menyeringai. Kilatan matanya yang tajam menyiratkan sesuatu dan membuatku sedikit bergidik.
Tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Tatapan cowok itu begitu dipenuhi kebencian. Tapi, alasan apa memangnya dia membenciku? Padahal bertemu saja baru pagi ini.
"Oke, biar lo puas." Akhirnya dia berkata. Bibir merahnya menyunggingkan senyum miring. "Maafin gue, ya ... Ariela."