Namanya Hessel Ferrelio. Pindahan dari ... Bandung? Bali? Well, aku tak sempat memperhatikan ini kala si murid baru itu perkenalan diri di depan kelas. Aku sudah terlanjur bad mood sewaktu melihatnya muncul dan malas memberikan fokus penuh padanya. Dia duduk di deretan ketiga dari sebelah kananku, sebangku dengan Livia, yang sudah nyaris meneteskan air liur sejak kemunculannya.
Dan bukan hanya Livia saja yang bereaksi seperti itu, tapi seluruh cewek seisi kelas ini pun begitu terpesona pada sosok Hessel yang sangat mencolok visualnya. Ya, memang nggak seganteng Shawn Mendes atau Gabriel Guevara sih. Tapi, untuk ukuran cowok Indonesia apalagi bila dibandingkan dengan cowok di sekolah ini, Hessel memang punya roman wajah yang terbilang unggul. Aku cukup sportif mengakui hal itu, tapi kalau urusan akhlak... cowok itu NOL BESAR alias akhlakless banget.
Lihat saja bagaimana dia menjawab pertanyaan orang-orang seputar dirinya hanya dengan dengusan atau senyuman tipis setipis kertas. Dia juga beberapa kali mengabaikan jabat tangan dari anak-anak lain yang mengajaknya berkenalan. Nggak ada ramah-ramahnya sama sekali. Songong banget deh.
Aku jadi ingat soal pepatah yang mengatakan: "penampilan bukanlah segalanya, tetapi segalanya berawal dari penampilan." Hmm ... pepatah itu kelihatannya memang diperuntukkan orang-orang seperti Hessel. Meski sudah jelas-jelas menunjukkan sikap tak bersahabat, tetap saja cowok itu digandrungi oleh orang yang ingin berkenalan dengannya.
"Buset, si Hessel ganteng banget yak!" seru Sena saat kami berjalan keluar kelas menuju kantin pada waktu istirahat sekolah.
Sepanjang pelajaran tadi, gadis itu sama sekali tak berkomentar apa-apa mengenai Hessel. Jadi, aku cukup kaget juga mendengar pujian yang dilontarkannya sekarang.
"Lo nggak bilang kalo dia ternyata secakep itu, La," lanjut Sena sambil menyenggolku.
"Buat apa? Lagian percuma, dia aja nggak punya akhlak," cibirku.
"Ya, iya sih, dia emang rada gimana gitu pas anak-anak ngajak dia kenalan." Sena mengangguk-angguk setuju.
"Bukan rada lagi, tapi emang dia itu songong," dengusku sebal. "Udah ah, jangan ghibahin dia mulu. Gue jadi nggak mood nih."
"Lo masih kesel sama kejadian tadi pagi?"
"Ya iyalah."
"Udah, jangan dipikirin terus. Mending kita buru ke kantin. Gue laper nih pengen makan bakso."
Aku cemberut. "Gue pengen ke perpus aja. Minjem buku."
"Astaga, Rila! Ini tuh baru hari pertama sekolah, masa lu udah mau lahap buku aja. Nanti-nanti deh, mending kita ke kantin dulu." Sena memprotes.
Aku akhirnya mengalah sambil memanyunkan bibir. "Iya-iya."
Kantin sudah ramai murid-murid yang kelaparan sewaktu kami tiba di sana. Sena cepat-cepat menyeretku menyalip antrean untuk memesan makanan.
"Lo mau pesen apa, La?" tanya Sena sambil nenatapku.
"Siomay aja deh, gue nggak terlalu laper," sahutku.
Ketika sudah giliran kami untuk memesan, Sena langsung berkata pada Bu Yuyun yang menjadi ibu kantin sekolah ini. "Bu, pesen siomay satu sama bakso jumbonya satu, ya!"
Saat aku hendak mengambil dompetku dari saku seragam untuk membayar, tiba-tiba Nila muncul dan berkata padaku, "Biar gue yang bayarin Kak Rila."
Aku sontak menaikkan kedua alis, agak terkejut dengan ucapannya, "Tumben," komentarku.
Nila nyengir. "Soal airpods, gue minta maaf gara-gara rusak. Tapi, nanti gue janji bakal gantiin deh."
"Jadi, ini sogokan?" tanyaku, bersedekap.
"Kak Rila nggak mau?" balasnya.
"Siapa yang bilang nggak mau," jawabku, membuat senyum Nila mengembang. "Bayarin sanah!"
Sambil berjingkat-jingkat senang, adik kandungku itu langsung mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan dan memberikannya pada Bu Yuyun.
"Traktir jus juga, ya!" tambahku.
Nila berbalik sambil memutar bola mata. "Gini nih yang dibilang dikasih jantung, tapi minta darah," gerutunya. "Ya udah, gue bayarin es teh segelas."
"Yah, kok es teh?"
Nila cuma menjulurkan lidah. Dia sendiri memesan semangkuk mie ayam bakso dan jus strawberry. Aku tahu dia bercanda dan aku juga sedang bercanda padanya. Ini cara kami berbaikan. Memang terkesan aneh, tapi cukup menyenangkan. Aku dan Nila tak butuh waktu lama untuk berdamai walaupun kami sering bertengkar. Meski aku yang biasanya lebih banyak mengalah dan menegur duluan.
"Jadi, cuma Rila doang yang ditraktir? Gue nggak?" Sena ikut menimbrung.
"Kak Sena mau apa? Duit gue cuma cukup bayarin es teh sama es jasjus doang soalnya."
"Nggak usah. Gue nggak doyan es jasjus."
"Dih, songong," cibir Nila.
Setelah makanan kami siap, aku dan Sena buru-buru berjalan menuju meja terdekat untuk menyantap makanan kami.
"Napa lo nggak gabung sama temen-temen lo?" tanyaku pada Nila yang rupanya masih mengekori kami di belakang. Ya, biasanya Nila sangat jarang duduk bersamaku di kantin.
Gadis itu memang masih kelas sepuluh, tapi pergaulan Nila lebih luas dariku. Kulihat Nila biasanya selalu bersama rombongan anak-anak populer yang merupakan campuran dari anak-anak kelas sepuluh sampai kelas duabelas. Yang paling akrab dengannya adalah Sesil dan beberapa anak cheerleaders. Jadi, melihat dia mengekor kami seperti ini cukup membuatku merasa aneh.
Nila tampak ragu-ragu sejenak, tapi kemudian dia bertanya, "Denger-denger, di kelas Kak Rila sama Kak Sena ada murid baru, ya? Pindahan dari Bandung katanya?"