Mengenai sebuah ketakutan. Jujur, aku bukanlah sosok gadis yang pemberani. Jika kuuraikan apa yang menjadi ketakutanku selama ini, kamu pasti tercengang. Aku takut gelap, aku takut suara petir yang turun di tengah hujan, aku takut serangga, aku takut ketinggian, dan aku takut melihat kematian.
Dulu, sewaktu papa masih hidup. Dia akan membantuku mengatasi ketakutanku. Papa selalu berkata bahwa ketakutan adalah sesuatu yang manusiawi, tapi jika kita tidak bisa mengatasinya maka hidup tak akan mengalami kemajuan. Setidaknya, ketakutan ada untuk dilawan. Jadi, pada saat aku sedang merasa cemas, takut ataupun gelisah, papa akan memeluk dan menenangkanku, lalu dia akan memberi sesuatu yang ajaib.
Aku ingat sekali kala itu aku masih berusia 5 tahun. Itu adalah hari pertama aku masuk taman kanak-kanak. Aku belum memiliki teman, atau mungkin memang tak ada yang mau berteman denganku karena aku terlalu pendiam. Jadi, aku menangis ketika guru mulai menyuruh kami membentuk kelompok bernyanyi. Semua anak-anak bergerombol, membuat kelompok acak. Tertawa begitu riang. Hanya aku yang panik seorang diri.
Pada awalnya aku cuma terisak kecil, tapi tangisku makin kencang ketika tak ada satu pun dari mereka mengajakku untuk bergabung. Papa segera datang. Dia sudah tahu kalau aku pasti akan menangis di hari pertamaku. Dia membawakan balon karena aku memang sangat menyukainya.
"Ambil balon ini, La," kata papa seraya mengusap air mataku.
Kupandangi balon berwarna merah muda di tangannya, masih sesenggukan.
Papa tersenyum melihat reaksiku yang tak bersemangat, kemudian dia kembali berkata, "Ini balon ajaib. Lihat, balon ini punya mata dan mulut. Tuh, dia juga tersenyum sama kamu."
Kutatap balon yang memiliki mata, hidung serta mulut itu sambil mengusap lagi air mata yang mengalir. "Balonnya bisa ngomong gak?" Suaraku serak.
Papa tertawa. "Bisa. Tapi, kalau kamu nangis, balonnya nggak mau ngomong."
Aku diam. Memandangi balon itu semakin lekat.
"Dan kalau kamu pegang balon ini, kamu bakal nggak akan sendirian lagi, Rila."
Aku mengerutkan kening. Untuk pikiran anak seusia 5 tahun, ucapan papa terasa kurang meyakinkan. Tapi, papa tidak menyerah. Dia meletakkan balon itu di genggamanku.
"Pegang ini dan gabung sama teman-temanmu. Mereka pasti senang lihat balon kamu. Ini balon ajaib loh."
"Balon ajaib?" tanyaku bingung.
"Hm." Papa mengangguk. "Ayo, ambil!"
Masih ragu-ragu, kupandangi balon dan papa bergantian selama beberapa saat sebelum akhirnya menggenggam erat balon itu di tanganku. Pelan-pelan papa menuntunku kembali ke barisan. Aku berjalan di sebelahnya dengan leher tertekuk. Ibu guru memanggil namaku. Semua anak-anak sudah mempunyai kelompok bernyanyi. Tinggal aku seorang saja.
Papa lantas berjongkok. Mengusap kepalaku dengan lembut. "Jangan lupa tersenyum saat pegang balonnya."
Aku terdiam. Tak yakin ingin menarik bibirku membentuk senyuman. Namun, papa masih menungguku untuk tersenyum. Jadi, kugenggam erat-erat tali balon itu, lalu menarik sudut bibir ke atas. Hanya sedikit.
Ketika itulah, aku mendengar seseorang berlari menghampiriku. Aku menoleh, melihat seorang anak perempuan seusia denganku menatap balon yang kupegang dengan tatapan berbinar.
"Balonnya lucu. Ada matanya!" seru anak perempuan itu sedikit cadel.
Beberapa temannya ikut mendekat. Mereka tertawa-tawa melihat balonku yang memiliki mata, hidung serta mulut tak simetris.
Sejenak aku merasa gugup, tapi kemudian hatiku mencair ketika anak perempuan yang berseru, menarik tanganku untuk ikut bersamanya. Kupandangi papa yang masih memperhatikan dengan perasaan gembira. Balon ajaibnya berhasil membawakanku seorang teman.
Pada saat itu, aku benar-benar percaya kalau balon papa memang ajaib. Tapi, setelah dewasa aku baru menyadari bahwa anak-anak memang secara naluriah menyukai balon. Bukan semata-semata karena keajaiban si balon sehingga aku bisa mendapatkan teman. Tapi, bantuan papa pada saat itu benar-benar membantuku dan aku terus mengingatnya sepanjang hidupku.
-
Kupandangi kertas berisi pesan ancaman mengerikan itu dengan wajah memucat.