"Jadi, maksud lo si Hessel yang nulis pesan itu?" Sena bertanya untuk ke sekian kali sambil melompat turun dari atas jok motorku.
"Ya siapa lagi kalo bukan dia? Buku itu gue dapet dari tuh cowok," sahutku seraya mematikan mesin motor dan melepas helm.
Kami sedang berada di depan toserba milik ibuku. Siang ini, Sena meminta ikut menemani menjaga toko. Dia bilang bosan sendirian di rumah karena papa-mamanya masih bekerja dan baru akan pulang sore nanti. Namun, aku tidak sepenuhnya percaya dengan alasan Sena. Aku tahu apa yang menjadi penyebab utamanya kemari.
"Tapi, apa alasannya coba? Kenapa dia nulis pesan ini buat lo?" Sena tercenung, memandangi kertas pesan misterius yang masih dipegangnya sejak dari pulang sekolah dengan serius. Kedua alisnya berkerut dalam. Gadis itu benar-benar penasaran sejak aku menceritakan hal ini padanya.
"Ya, mana gue tahu," desahku. "Lagian dari awal dia itu emang aneh. Tadi pagi dia sengaja mau nabrak gue, sekarang nulis pesan nggak jelas itu juga."
"Mungkin nggak sih dia cuma iseng?"
"Gabut banget deh kalo dia nulisnya cuma iseng." Aku memutar bola mata.
"Atau jangan-jangan dia ... naksir sama lo? Sengaja bikin ginian cuma buat caper?"
Aku terbahak mendengar tebakan Sena yang terdengar menggelikan. "Ngaco! Jelas nggak mungkin lah."
"Abisnya aneh banget. Atau jangan-jangan bukan dia yang nulis?"
"Terus siapa?"
Sena mengangkat bahu. "Mungkin si Aji. Dia 'kan yang paling jail di kelas kita."
Aku menghela napas. Kalau kupikir-pikir lagi sepertinya tidak mungkin Aji. Untuk apa dia menulis surat begini padaku? Tetapi, entahlah. Ini terlalu membingungkan buatku.
"Udah yuk, kita masuk aja," ajakku kemudian. "Betewe, jangan kasih tahu sama nyokap gue soal surat ini. Gue nggak mau nanti dia khawatir."
"Oke, La."
Kami berdua segera berjalan meninggalkan tempat parkir. Kudorong pintu kaca toserba yang menjulang di hadapan kami. Bangunannya terdiri dari satu lantai dengan teras atap yang memiliki kursi panjang di halaman samping. Toserba ini terletak di pinggir jalan raya besar. Berjarak sekitar 200 meter dari perumahan kami.
"Siang, Tante!" sapa Sena begitu masuk.
Mama terlihat sedang menghitung belanjaan seorang pelanggan dari balik meja kasir. Ia menoleh sekilas sambil tersenyum pada kami. "Halo, Sena, Rila! Kalian sudah pulang?"
"Udah, Tan." Sena mengangguk, berjalan menuju refrigerator yang menyimpan minuman dingin.
Aku menghampiri mama, mengucapkan salam dan mencium tangannya. "Rame, Ma?"
"Lumayan," sahut mama seraya menyerahkan barang-barang pembelian pelanggan yang sudah selesai dihitung. Setelah itu, dia menatapku. "Nila kemana? Sudah pulang?"
Aku mengendikkan bahu. "Biasalah, paling nongkrong sama temen-temennya."
"Ya sudah, mama mau pulang sebentar. Titip toko ya, soalnya si Fahmi nggak masuk hari ini."
Fahmi adalah satu-satunya karyawan yang dipekerjakan mama selama 3 bulanan ini. Berusia 4 tahun di atasku. Katanya sih masih kuliah dan memang tengah membutuhkan kerja paruh waktu. Aku tidak terlalu mengenalnya secara personal. Bicara pun rasanya aku jarang karena dia sangat pendiam dan pemalu. Bahkan, untuk sekedar kontak mata hampir-hampir kami tak pernah melakukannya. Cowok itu selalu terlihat kikuk dan canggung, disamping sikapku sendiri yang juga kurang pandai berbasa-basi pada orang baru.
Kuserahkan kontak motor pada mama karena kami memang hanya memiliki kendaraan itu untuk transportasi. Mobil yang dimiliki papa sudah dijual sekitar satu bulan lalu. Mama tidak bisa mengendarainya dan berpikir sebaiknya dia menjualnya saja. Hitung-hitung uang hasil penjualan bisa ditabung untuk biaya sekolah kami nanti.
Aku berjalan menuju area belakang toko untuk mengganti seragamku dengan pakaian biasa. Terdapat kamar kosong di sana, berisi satu tempat tidur kecil, lemari plastik sebagai tempat menyimpan pakaian dan juga sepasang meja kursi. Biasanya aku menggunakan kamar itu untuk beristirahat sejenak saat menjaga toko.
Selesai berganti pakaian, aku bergegas ke ruang depan. Mama sudah bersiap untuk pulang dan sedang berbicara dengan seorang pemuda berpenampilan casual di dekat meja kasir. Sena tampak berdiri di sebelah mama, memandangi pemuda itu dengan tatapan damba.