Angin berembus menelusup pori-pori kulit. Aku berjalan pelan di bawah tetesan air yang terasa sedingin es. Hitam, gelap mengelilingiku. Ada sebuah kabut abu-abu, awalnya pekat, tapi lama-kelamaan memudar dan membuat pandanganku terasa lebih jelas saat menatap ke sekitar. Bangunan berlantai 10 itu berdiri menjulang di hadapanku. Aku tahu kalau aku sedang bermimpi. Begitu seringnya hingga telah hapal dengan jelas pola keseluruhannya.
Kudongakkan kepala memandang bagian atas gedung. Perempuan itu seperti biasa berdiri di sana dengan busana serba putihnya yang melambai-lambai tertiup angin. Sementara aku di bawah sini, masih tetap dengan bodohnya tertegun memperhatikan sampai si perempuan perlahan-lahan terjatuh dari sana. Tanpa bisa dicegah, tanpa bisa dihindari.
BRUKKK!!!
Suara benturan dan retakan tulang bertemu aspal kontan memekakkan telinga. Meski sudah berulang kali terjadi, tetap saja bagian ini yang paling membuatku menggigil.
Aku meneguk ludah, memandangi tubuh perempuan yang sekarang berlumuran darah itu. Jika ini mimpi, seharusnya aku cepat-cepat terbangun. Aku tidak suka mimpi ini terus menghantuiku, tapi apa yang bisa kulakukan untuk menghindarinya?
Perempuan itu merintih pelan, nyaris tak terdengar. Kukepalkan kedua tanganku yang mulai gemetar. Sebagian diriku menolak untuk menghampirinya, tapi aku sama sekali tak bisa melawan keinginan itu.
Langkahku terseret-seret mendekat ke arah perempuan itu. Tubuhnya tampak berkedut-kedut. Kuulurkan tangan-seperti yang selalu kulakukan setiap kali berada dalam mimpi ini-menyentuhnya. Napasku tersekat di tenggorokan. Aku ingin berlari, menghindar, berteriak atau apa saja. Namun, mimpi ini seolah tak mengizinkanku untuk berimprovisasi.
"To-tolong ...." Suara lirih si perempuan kembali terdengar, kali ini lebih nyaring dari sebelumnya.
Kutatap perempuan itu dengan tubuh sedikit membungkuk. Memperhatikan wajahnya yang diselimuti darah. Kedua pelupuk mata perempuan itu perlahan-lahan terbuka, lalu ia menatap tepat ke arah padaku.
"Di-dia ... ingin ... membunuhku ...."
Selama beberapa saat, aku hanya bisa mematung. Sungguh, ini benar-benar mengerikan. Meski rasanya enggan, tetapi akhirnya kuberanikan diri untuk mendongak. Mungkin saja dalam mimpi kali ini aku bisa melihat jelas rupa orang yang mendorong perempuan ini.
Namun, baru saja kepalaku menengadah ke atas, tiba-tiba pergelangan tanganku dicengkram seseorang begitu erat. Aku terperanjat, refleks menatap lagi si perempuan yang saat itu sedang memegangi tanganku. Kulihat ia sedang memelototiku dengan wajah menyeramkan berlumuran darah.
"Dasar penjahat! Kenapa kamu nggak mau berkata jujur sama mereka, Ariela? Kenapa kamu selama ini diam saja?!"
Aku tersentak. Ada suara jeritan seseorang memenuhi indera pendengaranku dan sedetik kemudian aku baru tersadar bahwa itu adalah suara jeritanku sendiri. Aku megap-megap, mengedarkan pandang ke sekeliling dengan jantung bergemuruh hebat. Peluh membanjiri tubuhku. Dadaku serasa dihimpit beton. Begitu sesak kala aku menarik napas. Ketika kesadaran perlahan-lahan mengisi otakku yang beku, aku berjengit mendengar deringan nyaring jam weker di atas nakas.
Astaga! Ternyata sudah hampir pukul setengah 7 pagi. Aku bisa terlambat jika tak bergegas sekarang.
Dengan tubuh masih gemetaran, aku beranjak turun dari tempat tidur. Terburu-buru menuju kamar mandi. Kulihat Nila sedang berada di meja makan. Telah berseragam rapi. Siap untuk berangkat.
"Kenapa nggak ngebangunin?" tanyaku padanya.
"Udah dari tadi. Tapi, Kak Rila tidur kayak kebo. Susah banget dibangunin," sahut Nila sambil melanjutkan lagi kegiatan sarapannya.
"Mama mana?" Aku mengedarkan pandang dan tak menemukan sosok yang kumaksud.