"Tunggu bentar, lo bilang lo yakin si Hessel ada hubungannya sama cewek yang mati dari atas gedung itu?" seru Sena saat perjalanan kami menuju ruang ganti pada pelajaran olahraga di jam kedua.
Aku langsung meletakkan telunjuk ke bibir, menyuruhnya untuk bersuara pelan. Takut kalau-kalau ada yang mendengar.
"Kenapa bisa lo kepikiran begitu?" Sena merendahkan suaranya, tapi mimik wajahnya tetap tak berubah. Masih kaget dengan perkataanku sebelumnya.
Ya, setelah pelajaran Fisika di jam pertama yang membuatku syok atas pernyataan Hessel, aku langsung memberitahukan hal yang menjadi kegelisahanku itu pada Sena. Namun, sepertinya Sena tak memiliki pemikiran sama denganku kalau melihat reaksinya seperti ini.
"Pesan ancaman kemarin dan-"
"Lo masih curiga dia yang nulis pesan itu buat lo?" Sena menginterupsi ucapanku. Tatapannya tampak tidak yakin.
Aku menghela napas. "Ya, siapa lagi kalo bukan dia? Pokoknya gue yakin Hessel pelakunya."
"Rila, mending lo-"
"Dan lagi ...." Kali ini aku yang menginterupsi ucapannya, "pelajaran Fisika tadi, lo nggak nyimak jawaban dia?"
"Hah? Jawaban apa?" Sena garuk-garuk kepala bingung.
Aku mendesah gemas. Penyakit lemot kambuhan sahabatku satu ini memang suka menyebalkan. Setiap kali dalam percakapan serius, Sena kadang kesulitan merespon cepat.
"Itu jawaban dia tentang Hukum Gravitasi Newton di kelas tadi."
Sena mengerutkan kedua alis, berpikir keras. Bibirnya terkatup ke dalam. "Eh, emang dia jawab apa sih? Gue nggak inget."
Aku langsung memutar bola mata seraya mengembuskan napas keras-keras. "Ah, udahlah. Mending kita ganti baju," kataku akhirnya sambil mengibaskan tangan. Rasanya tak ada gunanya meneruskan pembicaraan ini.
"Eh, tunggu-tunggu!" Sena menarik tanganku. "Bilangin dulu dia jawab apa. Gue bener-bener lupa soalnya."
Aku mencebik, menatapnya cemberut. "Ya gitu, dia bilang ...." Kemudian, kukutip semua jawaban Hessel yang masih menempel erat di otakku. Bagaimana cowok itu dengan penuh percaya diri mengatakan seseorang yang jatuh dari atas gedung sebagai contoh Gerak Jatuh Bebas dalam Ilmu Gravitasi Bumi. Kuutarakan dengan suara sepelan mungkin agar orang-orang yang lewat di sekeliling kami tak ada yang menguping.
Selesai menjelaskan, Sena langsung membelalak sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tampak syok.
"Serius lo?" serunya kemudian.
"Ya, iyalah. Lo ke mana aja? Jelas-jelas dia jawab begitu pas di kelas tadi. Bukannya lo juga merhatiin?"
"Sori, gue tadi nggak nyimak jawabannya. Gue lebih fokus merhatiin kegantengannya." Sena meringis sambil terkekeh geli.
Refleks, kutepuk jidatnya keras-keras. Gemas campur sebal. "Dasar ganjen! Pantang liat yang bening dikit lo langsung lupa ingatan!"
Sena kembali terkekeh.
"Jadi, lo mau oleng ke Hessel nih ceritanya? Nggak mau ngebucinin lagi Kak Feris?"
"Yee, nggak dong! Di hati gue cuma ada Kak Feris. Nggak ada yang lain. Gue tadi cuma oleng bentar." Sena buru-buru menyanggah. "Pokoknya Kak Feris still number one."
Aku geleng-geleng kepala, lantas melanjutkan lagi langkah menuju ruang ganti yang berada di toilet sekolah. Sepuluh menit lagi, kami harus berkumpul di lapangan olahraga.
Sena berjalan di sisiku. Kali ini ekspresinya berubah serius. "Aneh ya, kalo dipikit-pikir kenapa juga si Hessel bisa ngomong kek gitu?"
"Makanya. Dan nggak mungkin itu semua cuma kebetulan. Gue juga kemarin sempet liat dia mampir ke gedung tempat cewek itu meninggal."
"Hah? Gilaaa!" Sena mendelikkan mata. "Lo nggak bercanda, 'kan?"
"Nggak."