Freak Out

Poetry Alexandria
Chapter #10

| 9 | Bercak Darah


Ada yang aneh 'kan dari ucapannya itu? Meski tidak mengandung makna ancaman, tapi aku bisa merasakan nada peringatan yang tersirat di sana.

"Maksud lo apa, sih?" Mataku mendelik menatap Hessel.

Cowok itu hanya mengendikkan bahu dan kembali berjalan melewati bahuku menuju ruang UKS. Tak berkata apa-apa lagi.

Kutatap punggungnya yang bergerak menjauh dengan perasaan jengkel. Aku tidak tahu apakah aku terlalu paranoid atau memang firasatku selama ini benar, Hessel pasti memiliki sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan semua misteri yang terus menggangguku selama enam bulan terakhir. Misteri tentang kematian perempuan itu. Dan segalanya bukanlah sebuah kebetulan.

Namun untuk saat ini, belum ada yang bisa kubuktikan dengan pasti apakah kecurigaanku ini benar. Mungkin aku memang perlu menyelidikinya. Hessel, bagaimanapun ada sesuatu di dalam dirinya yang amat mencurigakan. Terutama sikapnya yang seperti ini.

"Oh ya, gue lupa kalo mau ambil sesuatu di kelas," ucap cowok itu tiba-tiba seraya menghentikan langkah. Dia berbalik, lalu menatapku sambil meringis. "Sori, lo bisa jalan ke UKS sendiri, 'kan?"

Sebelum aku sempat menjawab ucapannya, Hessel telah lebih dulu berbalik ke arah berlawanan dan meninggalkanku begitu saja dalam kebingungan.

Njir, nih cowok emang ngeselin banget!

Bukannya tadi dirinya yang paling semangat ingin mengantarku ke UKS? Lantas, sekarang kenapa malah pergi begitu saja? Sungguh, aku benar-benar tak bisa mengerti apa yang salah dengan isi otak cowok itu.

Dengan perasaan kesal setengah mati, aku pun akhirnya pergi menuju ruang UKS sambil terus-terusan menyumpahi Hessel di dalam hati.

Sisa pelajaran berikutnya kucoba untuk fokus pada pelajaran. Hessel sendiri telah kembali ke dalam mode setelan pabriknya alias bersikap dingin seperti biasa, seolah-olah orang di sekelilingnya adalah makhluk tak kasat mata. Dia nyaris tak berinteraksi terhadap siapapun, bahkan terhadap Tisya dan Dera yang jelas-jelas selalu berusaha menarik perhatiannya.

Satu-satunya yang membuat cowok itu bersuara adalah ketika pelajaran Biologi berlangsung dan guru kami membuka sesi tanya-jawab singkat. Selebihnya, Hessel akan kembali bersikap selayaknya berada di kutub utara.

Aku bersyukur hari ini kami punya banyak PR, jadi aku bisa berkonsentrasi memikirkan hal lain ketimbang cowok aneh itu. Kukerjakan seluruh PR-ku setelah pulang sekolah, lalu bergegas pergi ke toko untuk membantu mama.

Nila seperti biasa akan pulang ke rumah ketika langit sudah hampir gelap. Adikku itu memang mengikuti ekskul Cheerladers di sekolah. Namun, aku tahu kalau ekskul hanyalah salah satu alasan lain yang dia gunakan agar bisa bebas bermain di luar bersama teman-temannya.

Kupacu motor matic-ku dengan kecepatan sedang menuju toserba. Saat ini sudah hampir pukul empat sore. Mama pasti sudah menungguku sejak tadi.

Begitu sampai, kulihat ada beberapa orang yang tengah berbelanja dan Fahmi—karyawan paruh waktu—yang melayani para pembeli di meja kasir. Sementara mama sendiri tampak sedang mengobrol dengan Kak Feris di bangku panjang depan toserba. Keduanya terlihat serius sekali.

"Eh, Rila!" sapa mama kala menyadari keberadaanku di dekat mereka.

"Lagi ngobrolin apa, Mah?" tanyaku dan melirik Kak Feris yang duduk di sebelah mama.

"Oh, nggak papa," sahut mama sambil menggeleng singkat. "Cuma masalah lampu toilet di belakang yang tadi tiba-tiba putus, tapi sekarang udah dibenerin sama Feris."

"Oh," gumamku, menatap sekali lagi kedua orang itu. Namun, entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Aku cuma berharap Kak Feris tak menceritakan masalah pesan ancaman misterius yang kudapatkan kemarin pada mama.

"Kamu udah makan?"

Aku mengangguk.

Lihat selengkapnya