Aku tercekat selama beberapa saat. Menatap cairan merah serupa darah itu dengan mata terbelalak.
Darah? Kenapa bisa ada darah di sini?
Sejujurnya, aku memang selalu paranoid setiap melihat darah. Rasanya seperti menyaksikan sesuatu yang mengerikan dan otomatis membuatku menggigil.
"Oh, maaf. Kamu pasti kaget, ya?" ucap suara serak di belakangku.
Aku menoleh sambil mengerjap. Berusaha menetralkan perasaanku yang sedang dilanda ketakutan. Ya, tak dipungkiri melihat hal semacam ini secara tiba-tiba, tentu membuatku syok. Siapa sih yang nggak kaget pergi ke kamar mandi, tahu-tahu lihat darah berceceran di lantai?
"Itu darah siapa?" tanyaku pada cowok itu. "Kenapa bisa ada darah di situ?"
"Oh, itu ...." Fahmi tampak berdiri sambil menunduk. Namun, aku bisa melihat ekspresinya yang salah tingkah. "Sebenernya itu bukan darah. Itu cuma cat, memang warna catnya agak begitu."
"Cat?" Kedua mataku melebar, menatap cairan merah itu lamat-lamat dan baru tersadar kalau sepertinya memang penglihatanku yang keliru.
Fahmi mengangguk. Ia lantas melewati bahuku dan masuk ke toilet berukuran 2x3 meter tersebut. Diambilnya sikat lantai dan digosoknya cepat-cepat cairan merah itu. Aku bisa melihat ujung kaus hitam yang dikenakan Fahmi terdapat bercak sewarna dengan cairan di lantai tersebut. Namun, yang membuatku sedikit tersentak adalah mataku tanpa sengaja menangkap ujung pisau yang tersembul di belakang kantung celana cowok itu ketika berjongkok.
"Maaf ya, tadi aku memang disuruh sama mama kamu untuk mengecat tembok samping, tapi aku nggak sengaja tumpahin sedikit catnya ke lantai." Ia menjelaskan sementara matanya masih enggan menatap langsung padaku.
Aku mengembuskan napas. Sejujurnya, aku masih merasa janggal berinteraksi dengan Fahmi karena dia selalu menggunakan aku-kamu tiap kali berkomunikasi.
"Maaf juga jadi bikin lantainya kotor. Aku bakal bersihin ini pakai Paint Remover," kata cowok berkulit tan itu seraya bangkit. Dia sedikit kikuk ketika berjalan melewati bahuku menuju gudang yang letaknya berada di ruangan paling belakang. Napasnya pun kedengaran tersendat ketika ujung lengan kami tak sengaja bersenggolan.
Aku menatap kepergian Fahmi sambil bertanya-tanya dalam hati. Apa dia memang selalu bersikap canggung seperti ini terhadap orang lain? Atau cuma kepadaku seorang saja? Sebab, aku merasa kecanggungannya semakin lain dari biasanya.
⚛
"Kak Rila, gue nebeng ya," ujar Nila tiba-tiba keesokan paginya waktu aku baru saja mengeluarkan motor dari dalam garasi rumah. Siap untuk berangkat ke sekolah.
"Tumben. Lo nggak pergi sama temen-temen lo?" tanyaku seraya memasang helm ke kepala dan menatapnya.
Nila tampil sangat cantik hari ini. Ya, kuakui untuk urusan make up dan berpenampilan, gadis itu pandai sekali melakukannya. Tapi, siapa sih yang pergi ke sekolah dengan eyeliner, lensa kontak abu-abu juga liptint merah cherry begitu? Aku jelas tidak akan melakukannya.
Lagipula dalam urusan fisik, sebenarnya kami memiliki fitur wajah yang lumayan mirip karena mewarisi sebagian fisik papa. Sepasang bola mata hitam dengan bulu mata panjang, tulang hidung tinggi, dagu lancip dan wajah oval. Kulit kami juga memiliki tone yang sama, yaitu kuning langsat.
Yang membedakan kami adalah Nila punya rambut lurus panjang, sementara rambut panjangku sedikit bergelombang dan selalu kuikat ekor kuda. Jika dinalar dalam bahasa kekinian, Nila itu adalah versi paling upgrade, sementara aku versi yang lebih slow upgrade.
"Gue pengen berangkat bareng Kak Rila. Sesil nggak bawa mobil hari ini soalnya dia dijemput sama cowoknya," sahut Nila.
"Cowoknya? Siapa lagi?"
"Sama Kak Gio."
Aku melongo. "Gio? Si anak geng motor itu?"
Nila mengangguk.
"Bukannya si Gio juga udah punya pacar? Itu anak SMA sebelah."