Freak Out

Poetry Alexandria
Chapter #12

| 11 | Janji Tugas


"Ih, napa harus pake ginian sih?" seruku ketika Sena hendak membubuhi blush-on ke pipiku.

"Biar lo makin cantik, La. Dikit aja kok, dikit."

"Buset, nggak mau gue. Ogah!" Aku buru-buru bangkit. Untung saja tubuhku lebih tinggi darinya, sehingga Sena tak bisa memaksakan hal menggelikan itu padaku.

"Rila, biar muka lo nggak pucet." Sena masih berkeras.

"Apa-apaan sih, Sen?" omelku jengkel. "Gue cuma mau kerja kelompok, bukan mau nge-date, anjir!"

Sena akhirnya mengalah kala menyadari pelototan dan ekspresi jengkelku. Dia pun menyimpan kembali alat pemulas pipi itu ke dalam tas make up-nya.

"Padahal gue cuma pengen riasin muka lo doang. Kayak Nila noh, kan cantik. Lagian juga nggak bakalan menor," katanya sambil cemberut.

"Gue nggak suka, ih," sungutku sambil menatap ke cermin, merapikan rambutku yang sudah rapi dalam ikatan ponytail. Tadinya, Sena memaksa ingin membuatnya jadi curly atau mencatoknya biar lurus saat digerai.

Namun, aku menolak mentah-mentah. Selain karena tak terbiasa, rambut tergerai itu amat membuatku gerah.

Lagipula bila dipikir-pikir, entah mengapa Sena merasa lebih antusias dibandingkan denganku mengenai gagasan kerja kelompok antara Hessel dan aku hari ini.

Ya, memang sesuai janji kami kemarin, Hessel berencana pergi ke rumahku siang hari ini untuk mengerjakan tugas kelompok Fisika itu. Dan aku tentu jadi jengkel karena Sena mati-matian ingin mendandaniku dengan alasan agar aku menjadi cantik. Seolah-olah aku ini tidak cantik saja. Dan usaha Sena itu jelas sia-sia lantaran aku memang tidak terbiasa menggunakan make up jika bukan dalam keadaan mendesak atau lebih penting.

"Lagian ngapain sih pake acara make up segala cuma buat ketemu Hessel? Dia 'kan bukan pacar gue," omelku masih sebal.

"Ya, nggak papa kali. Siapa tau nanti dia jadi pacar lo beneran," sahut Sena asal.

"Yee, sembarangan!"

"Aminin coba. Mayan Hessel cakep gitu. Semua cewek-cewek di sekolah kita aja suka sama dia."

"Lo suka? Gue mah nggak. Songong gitu."

"Jangan takabur, Neng!" Sena menepuk kepalaku dan langsung kubalas dengan pelototan mata. "Jujurly, kalo nggak ada Kak Feris, pasti gue juga udah oleng ke Hessel."

Aku memberengut kesal. "Kenapa cuma mikirin gantengnya aja sih? Orang songong gitu nggak usah dipuja-puja. Lagian lo nggak inget sama sikap dia yang mencurigakan belakangan ini?"

Sena terdiam. Ekspresinya yang semula antusias jadi berubah muram. "Iya ya. Dia emang sus banget dari awal."

"Makanya berhenti muja-muja dia sebelum kita yakin kalo dia nggak ada hubungannya sama kematian cewek itu."

"Kalo misalnya nih ...." Sena berkata hati-hati, "misalnya dia emang bener berhubungan sama cewek itu. Atau ... amit-amit, misalnya dia emang yang ngebunuh cewek itu? Kita harus gimana, La? Lapor polisi?"

Aku tercenung selama beberapa saat. Tapi kemudian, mengendikkan bahu. "Ya, keknya kita emang harus kasih tahu polisi. Tapi, kalo bisa kita kumpulin dulu bukti-buktinya."

"Duh, kok gue jadi merinding gini ya bayanginnya?" Sena memeluk bahunya seraya mendudukkan diri di pinggir tempat tidurku. Memasang ekspresi bergidik.

"Lo aja merinding, gimana gue yang musti sering interaksi sama dia."

"Betewe, gue pikir kita juga harus menerapkan asas praduga tak bersalah sama dia sebelum dapet bukti nyata."

Aku menatap Sena sambil menautkan alis.

Sena diam sejenak sebelum melanjutkan, "Gimana kalo kecurigaan kita ini salah? Dia ternyata nggak ada kaitannya sama kematian cewek itu dan juga bukan pembunuhnya. Lo bakal gimana?"

"Ya, nggak gimana-gimana. Seenggaknya gue bersyukur dia bukan orang yang berbahaya." Aku mengendikkan bahu. Lalu, berjalan menuju meja belajarku. Mengambil buku pelajaran Fisika serta mencabut charger laptopku yang sudah terisi penuh. Kedua benda itu akan kupakai untuk mengerjakan tugas nanti.

"Plot twist-nya dia ternyata beneran naksir lo, La. Lo mau nggak jadi pacarnya?"

Refleks, kulemparkan sebuah pena yang kebetulan tengah kupegang ke arah gadis itu. Sena memekik kaget, tapi kemudian terbahak karena berhasil menggodaku.

"Awas lo, gue sumpahin bucin jalur karma," ledeknya sambil terus cekikikan.

Sena memang begitu setiap kali berhasil menggodaku. Kadang aku sebal sekali pada sikap usilnya, tapi aku juga amat menyayanginya. Walau bagaimanapun, Sena adalah satu-satunya sahabat yang paling mengerti keadaanku.

"Anyway, jam berapa sih tuh anak ke sini?" tanya Sena. Kali ini dia berjalan mengambil sisir di atas meja riasku, lalu menyisir rambut pendeknya menggunakan benda itu.

Aku menghela napas seraya menatap jam dinding di seberang ruangan. "Jam satu nanti."

"Sih Nila udah tahu Hessel bakal ke sini?"

Lihat selengkapnya