Frederica

Noura Publishing
Chapter #1

Satu

Tidak lebih dari lima hari sesudah berkirim surat penting untuk adiknya, Yang Terhormat Marquis of Alverstoke—yang berisi permintaan agar Alverstoke berkunjung sesegera mungkin kalau sempat—Lady Buxted yang sudah menjanda menjadi lega. Putri bungsunya memberitahukan bahwa Paman Vernon sedang menuju rumah mereka, dalam balutan mantel yang memiliki lusinan kelepai, dan tampak necis bukan main. “Naik kereta baru pula, Mama. Pokoknya, penampilan Paman serbamewah!” Miss Kitty menyatakan sembari menempelkan hidung ke daun jendela dalam rangka memantau jalanan. “Paman pria yang paling keren. Betul kan, Mama?”

Dengan suara tertahan, Lady Buxted menegur Miss Kitty agar jangan menggunakan istilah pasar yang tidak pantas dilontarkan oleh perempuan terpandang. Kemudian dia mengusir anaknya itu ke ruang kelas.

Lady Buxted bukan pengagum adik lelakinya. Dia juga tidak serta-merta kegirangan hanya karena mendengar sang Marquis telah berkendara ke Grosvenor Place. Cuaca pada pagi musim semi itu memang cerah, tetapi karena tiupan angin nan menusuk, kecil kemungkinan sang Marquis rela membiarkan kuda-kuda rasnya menunggu lama di luar. Ini bukan pertanda baik, sekalipun dia memang tidak berharap banyak—demikianlah kata Lady Buxted dengan getir kala memaparkan rencananya kepada kakak perempuannya. Sebab Alverstoke adalah makhluk paling egois dan paling seenaknya sendiri di muka bumi, tanpa terkecuali.

Menanggapi rencana tersebut, sang kakak perempuan nan berwibawa berusia akhir empat puluhan, Lady Jevington, hanya menyampaikan dukungan setengah hati. Wanita ini mungkin (dan memang) menganggap satu-satunya saudara lelaki mereka itu egois dan seenaknya sendiri. Namun, dia merasa tak ada alasan bagi Alverstoke untuk berbuat lebih demi Louisa ketimbang demi dirinya. Terkait kedua putra dan ketiga putri Louisa, Lady Jevington tidak bisa menyalahkan Alverstoke bila adik lelakinya itu tidak menghiraukan seorang pun dari mereka. Biar bagaimanapun, mustahil menaruh minat kepada anak-anak yang biasa-biasa saja macam mereka.

Akan tetapi, ketidakpedulian Alverstoke terhadap anak-anak Lady Jevington jelas-jelas membuktikan pria itu berwatak egois. Siapa pun niscaya menduga bahwa seorang bujangan kelas satu sekaligus kaya raya akan dengan senang hati menyambar kesempatan memperkenalkan seorang keponakan menjanjikan seperti Gregory kesayangannya kepada lingkup sosialnya yang terdiri atas orang-orang pilihan, dan mengerahkan upaya mendongkrak reputasi Anna tersayang di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan Anna memperoleh tunangan yang layak tanpa bantuan Alverstoke tidak lantas mengobati kekesalan Lady Jevington. Dan sekalipun dia mengakui kebenaran ucapan sang suami yang kurang bergaul—yang mengingatkan Lady Jevington bahwa dia sendiri tidak menyukai tingkah polah rekan-rekan Alverstoke yang pesolek dan kebanyakan lagak, dan berharap Gregory tidak ketularan kebiasaan jelek seperti itu—wanita tersebut tetap tidak bisa memaafkan Alverstoke karena tidak pernah coba-coba menawarkan jasa.

Lady Jevington mengatakan dia tak akan peduli, seandainya tidak mendapat kabar bahwa Alverstoke bukan saja telah mengusahakan jabatan perwira rendah di resimen Life Guards untuk seorang sepupu belia yang menjadi pewaris gelarnya, melainkan juga memberi pemuda itu uang saku yang tidak sedikit. Mendengar informasi ini, Lord Jevington menimpali bahwa dia mampu menafkahi sang putra—yang sudah sepatutnya tidak membebani pamannya. Dia justru akan tersinggung sebagai orangtua bila Alverstoke berani-berani menawarkan bantuan keuangan untuk Yang Terhormat Gregory Sandridge.

Lord Jevington kemudian menyatakan angkat topi kepada Alverstoke karena telah dengan bijak menahan diri dari perbuatan lancang seperti itu. Penilaian ini sangat tepat, tetapi Lady Jevington bersikukuh. Andaikan Alverstoke punya perasaan, dia tidak akan lebih mengistimewakan seorang sepupu belaka ketimbang keponakan laki-lakinya yang tertua. Lady Jevington juga berpendapat, di dalam masyarakat yang tatanan sosialnya lebih baik, gelar Alverstoke akan diwarisi oleh putra kakak perempuannya alih-alih oleh seorang sepupu jauh.

Sekalipun tak sudi bila Gregory mendapat perlakuan khusus, Lady Buxted secara umum setuju dengan kakak perempuannya bahwa Mr. Endymion Dauntry adalah orang yang luar biasa dungu. Namun demikian, tidak diketahui apakah kebencian kedua wanita tersebut terhadap sang pemuda yang tak bersalah itu berakar dari ketidaksukaan mereka kepada ibunya yang sudah menjanda. Mungkin juga karena parasnya yang tampan dan perawakannya yang gagah membuat Gregory Sandridge dan Lord Buxted belia sama-sama terkesan tidak ada apa-apanya.

Apa pun alasan mereka, kedua kakak perempuan ini meyakini bahwa Endymion orang yang paling tidak cocok mewarisi gelar dan martabat Alverstoke. Dan masing-masing telah bersusah payah, tahun demi tahun, untuk menarik perhatian sang adik lelaki kepada dara-dara paling jelita dan paling layak dinikahi.

Namun, Alverstoke memiliki penyakit kronis—yang telah menyebabkan saudari-saudarinya putus asa—yaitu mudah bosan. Berdasarkan sekian banyak simpanan cantik yang hidup di dalam perlindungan Alverstoke selama ini, mereka dapat menyimpulkan bahwa sang adik lelaki tidak kebal terhadap daya tarik wanita. Walau begitu, para saudari ini tidak bodoh. Mereka tidak pernah memupuk optimisme yang kelewat jauh kapan pun Alverstoke tampak menaruh hati pada gadis cantik, bergelimang harta, dan dari keturunan terpandang, yang direkomendasikan kepadanya oleh salah seorang saudarinya. Alverstoke bisa saja bermanis-manis kepada gadis itu selama beberapa pekan, kemudian melenceng jauh-jauh seolah melupakan keberadaannya.

Ketika saudari-saudari Alverstoke diberi tahu bahwa para orangtua memandang miring saudara lelaki mereka, dan dia secara umum dianggap berbahaya, Lady Jevington dan Lady Buxted berhenti menjodoh-jodohkannya. Mereka justru mengerahkan tenaga untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih enteng, semisal mengutuk keegoisannya dan mengomelinya atas penyimpangan-penyimpangan moral yang sampai ke telinga mereka.

Satu-satunya yang menahan mulut adalah saudari termuda. Namun karena saudari tersebut telah menolak sejumlah pinangan menggiurkan dan malah—demi kesenangannya sendiri—memilih menikahi seorang tuan tanah desa serta jarang berkunjung ke Metropolis, dia dianggap remeh oleh kedua kakak perempuannya. Kalaupun mereka membicarakannya, meski jarang, kedua kakak-beradik ini menyebutnya sebagai Eliza Malang. Dan meskipun mereka tahu Alverstoke lebih menyukai saudari yang satu itu dibandingkan mereka, tak terpikirkan untuk meminta bantuan Eliza dalam perkara perjodohan Alverstoke. Kalaupun wacana ini disampaikan kepada mereka, keduanya niscaya akan mengesampingkan usulan tersebut karena meyakini, secara beralasan, tak seorang pun sanggup memengaruhi Alverstoke walau sedikit saja sejak dia dewasa.

Kali ini, Lady Buxted memerintahkan adik lelakinya bertandang bukan untuk menguliahinya. Malahan, wanita tersebut sudah membulatkan tekad untuk tidak mengatakan apa pun yang bisa menjengkelkan Alverstoke. Namun, sementara wanita itu menanti kedatangan sang adik, harapan yang sempat muncul (sekalipun telah berkali-kali dimentahkan oleh pengalaman) ketika mendengar kedatangan Alverstoke telah digantikan oleh rasa dongkol. Lady Buxted merutuki sang adik, yang baru datang lima hari setelah dipanggil, persis seperti kebiasaannya. Padahal siapa tahu dia diminta datang gara-gara persoalan teramat penting!

Dengan susah payah wanita itu mengatur wajahnya supaya menampakkan ekspresi ramah penuh kasih sayang; membubuhkan sopan santun ke dalam suaranya ketika Alverstoke melenggang masuk—tanpa pemberitahuan—ke ruangan. Yang itu juga persis seperti kebiasaannya, padahal Lady Buxted yang menjunjung tinggi tata krama sangat membenci perilaku santai semacam itu. Apalagi, menurutnya di kediaman Lady Buxted sang adik tidak punya alasan untuk berlagak bak di rumah sendiri.

Mengekang rasa dongkolnya, Lady Buxted mengulurkan tangan sambil berkata, “Vernon! Sayang, sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan!”

“Mengejutkan apanya?” tanya Alverstoke sambil mengangkat alisnya yang hitam. “Bukankah kau yang memintaku datang?”

Senyum terus tersungging di bibir Lady Buxted. Namun dia menjawab dengan kecut. “Memang betul, tapi berhari-hari sudah berlalu sampai-sampai kukira kau sedang di luar kota!”

“Oh, tidak!” kata sang Marquis sembari balas tersenyum dengan manisnya.

Lady Buxted tidak terkelabui, tapi berpendapat bahwa lebih bijaksana kalau dia mengabaikan gestur yang dia kenali sebagai sebentuk provokasi yang disengaja. Dia menepuk-nepuk sofa untuk mempersilakan adiknya duduk. Alih-alih menerima undangan ini, Alverstoke justru menghampiri perapian dan membungkuk untuk menghangatkan tangan sambil berkata, “Aku tidak bisa lama-lama, Louisa. Apa yang kau inginkan dariku?”

Karena sudah memutuskan berbasa-basi terlebih dahulu sebelum mengajukan permintaan, Lady Buxted terkejut sekaligus sebal gara-gara pertanyaan blakblakan ini. Sementara wanita tersebut ragu-ragu, Alverstoke melemparkan lirikan dengan mata kelabu galaknya yang berkilat-kilat dan berkata, “Katakan saja.”

Lady Buxted tidak harus langsung menjawab karena, tepat saat itu, masuklah kepala pelayan untuk mengantarkan minuman yang dirasa cocok untuk momen tersebut. Selagi pria itu meletakkan nampan berat di meja samping dan menginformasikan kepada sang Marquis—dengan suara lirih layaknya seorang bawahan tepercaya—bahwa dia telah memberanikan diri untuk bukan saja membawakan sherry, melainkan juga wiski, Lady Buxted berkesempatan menata ulang pemikirannya. Dia juga sekaligus mengamati dengan gusar bahwa sang adik bertamu mengenakan celana selutut dan sepatu bot tinggi—busana yang sayangnya tidak resmi, sama seperti caranya masuk tadi.

Sepatunya yang mulus berkilat, dasinya terikat rapi, dan jasnya yang demikian pas jelas sekali dibuat oleh penjahit ulung. Itu malah semakin menambah kejengkelan Lady Buxted. Wanita itu merasa jika sikap acuh tak acuh Alverstroke tecermin pula pada penampilan pria tersebut. Dia mungkin saja dapat memaafkan sang adik kalau saja alasannya karena tidak mengetahui pakaian mana yang pantas dikenakan untuk menghormati Lady Buxted kala bertamu pagi-pagi begini. Namun, pria yang senantiasa flamboyan seperti Alverstroke, yang gayanya ditiru oleh banyak sekali lelaki modis, mustahil tidak mengerti busana yang pas untuk bertamu.

Lady Buxted pernah menanyakan, ketika sedang berang, adakah yang Vernon pedulikan selain pakaiannya. Setelah menimbang-nimbang, dia semata-mata menanggapi bahwa sekalipun pakaiannya, dia juga peduli pada kuda-kudanya.

Pada saat ini, sang Marquis telah menyeberangi ruangan hingga ke meja samping. Sementara kepala pelayan undur diri, Alverstroke memalingkan kepala seraya berkata, “Sherry, Louisa?”

“Vernon Sayang, kau pasti tahu aku tidak pernah menyentuh sherry!”

“Masa? Ingatanku payah sekali!”

“Tidak sewaktu kau ingin mengingat-ingat hal tertentu!”

“Oh, sewaktu itu memang tidak!” sang Marquis membenarkan. Pria itu memandang sang kakak, yang bibirnya terkatup rapat dan wajahnya memerah. Alverstroke seketika tertawa. “Alangkah kocaknya kau, Kakakku Sayang! Tak pernah kutemukan korban yang lebih mudah dipancing selain kau! Mau yang mana? Anggur Malaga?”

“Aku minta setengah gelas setup, jika kau mau berbaik hati menuangkannya untukku,” jawab Lady Buxted kaku.

“Aku terpukul mendengarnya, tapi aku akan berbaik hati. Sungguh minuman yang menjijikkan untuk dinikmati sepagi ini! Atau, lebih tepatnya, pada jam berapa pun,” imbuh sang Marquis serius. Dia mengantarkan gelas kepada sang kakak, gerakannya santai, tapi luwes layaknya seseorang yang terlahir sebagai atlet. “Nah, sudah jam berapa ini? Tidak usah bertele-tele! Aku tidak ingin kuda-kudaku kedinginan.”

“Kuharap kau bersedia duduk!” kata Lady Buxted ketus.

“Baiklah, tapi demi Tuhan, jangan berpanjang-panjang!” timpal sang Marquis sambil memilih kursi berlengan yang menghadap ke perapian.

“Kebetulan aku memerlukan bantuanmu, Alverstoke,” kata Lady Buxted.

“Itu sudah kuketahui saat membaca suratmu, Louisa,” celetuk Alverstoke, pura-pura ramah. “Kau barangkali memanggilku sekadar untuk mengomel atas perbuatanku yang amoral, tentu saja. Tapi karena kalimatmu penuh dengan kasih sayang, kecurigaan awalku kontan terhapus sehingga menyisakan satu-satunya alternatif: kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu.”

Lihat selengkapnya