Frederica

Noura Publishing
Chapter #2

Dua

Beberapa lama berselang, ketika sang Marquis memasuki rumahnya, hal pertama yang dia dilihat adalah sepucuk surat yang tergeletak di salah satu dari sepasang meja eboni pendek bersepuh emas. Alamat surat tertulis dengan aksara besar-besar yang meliuk, sedangkan segel birunya belum dibuka. Mr. Charles Trevor, sekretaris andal sang Marquis, mengenali dengan sekali pandang bahwa pengirimnya salah seorang simpanan cantik nan rapuh yang saat ini menarik perhatian Lord Alverstoke yang plinplan. Setelah menyerahkan topi, sarung tangan, dan mantel berkudanya yang berlapis-lapis—yang telah menuai kekaguman Miss Kitty Buxted—ke tangan pelayan yang menanti, pria tersebut mengambil surat dan melenggang ke dalam perpustakaan.

Saat dia membuka segel dan surat yang terlipat, aroma ambar menusuk lubang hidungnya yang peka. Ekspresi tidak suka muncul di wajahnya; dia menjauhkan surat sambil meraba-raba untuk mengambil monokel. Lewat lensa monokel, dia memindai isi surat sekenanya, lalu membuang kertas ke perapian yang menyala.

Alverstoke menyimpulkan bahwa Fanny sekarang sangat membosankan. Perempuan yang memukau, tapi sama seperti sekian banyak barang bermutu tinggi, sukar dirawat dan tidak pernah puas. Dia kini menginginkan kereta kuda baru; pekan lalu dia meminta kalung berlian. Alverstoke telah mengabulkan permintaannya dan sekarang, kalung itu akan sekaligus menjadi kado perpisahan.

Bau memuakkan minyak wangi yang telah wanita itu percikkan ke surat seolah menempel ke jemari Alverstoke. Dia sedang mengelap tangan dengan saksama ketika Charles Trevor masuk ke ruangan. Sang Marquis melirik dan—melihat mimik terkejut di wajah lelaki muda itu—berbaik hati menjelaskan bahwa dia tidak suka ambar.

Mr. Trevor tidak berkomentar, tapi terlihat dari wajahnya bahwa dia memahami kondisi, sampai-sampai Alverstoke berujar, “Tepat! Aku tahu apa yang kau pikirkan, Charles, dan kau benar sekali. Sudah waktunya kuucapkan selamat tinggal kepada si cantik Fanny.” Dia mendesah, “Partner yang asyik, tapi berotak udang sekaligus rakus.”

Mr. Trevor lagi-lagi tak berkomentar. Memang susah baginya berkomentar, sebab dia memiliki pendapat ruwet tentang perkara sensitif itu. Sebagai seorang moralis, dia tidak bisa tidak mengecam cara hidup sang majikan. Sebagai insan berjiwa kesatria, dia mengasihani si cantik Fanny. Namun sebagai orang yang mengetahui persis betapa dermawannya sang Marquis kepada wanita itu, dia harus mengakui bahwa perempuan tersebut tidak punya alasan untuk mengeluh.

Charles Trevor, yang merupakan salah satu anggota termuda sebuah keluarga besar, memperoleh posisinya saat ini berkat hubungan antara ayahnya dengan almarhum Lord Alverstoke. Pendeta Laurence Trevor, ketika baru saja ditahbiskan, ditunjuk menjadi tutor dan mentor untuk ayah Marquis yang sekarang, guna menemaninya dalam tur panjang ke Dataran Eropa. Upah berkecukupan bukanlah hadiah satu-satunya yang diperoleh Pendeta Laurence. Muridnya, sang bangsawan, senantiasa menjalin silaturahmi tulus dengannya, berkenan menjadi bapak baptis bagi putranya yang tertua, dan mendidik putranya sendiri dengan keyakinan singkat bahwa dia memiliki hak untuk disokong oleh keluarga Alverstoke.

Jadi, ketika Pendeta Laurence coba-coba mengusulkan kepada Marquis yang sekarang bahwa Charles merupakan calon sekretaris yang pantas, Alverstoke bersedia menerimanya, sekalipun Charles sendiri kurang antusias untuk menjadi stafnya. Charles bukanlah Abdi Gereja, tapi dia pemuda yang serius dan bermoral tak tercela. Berdasarkan semua selentingan yang dia dengar mengenai Alverstoke, dia mesti menyimpulkan bahwa penugasan sebagai sekretaris sang Marquis tak ubahnya siksaan ragawi. Namun karena pemuda ini bukan hanya realistis, melainkan juga berbakti kepada orangtua, dan mengetahui bahwa mencarikan penghidupan untuk putra keenam tidak gampang bagi seorang klerus bersahaja, dia menyimpan sendiri keengganannya, meyakinkan Pendeta Laurence bahwa dia akan berusaha menjawab ekspektasi sang ayah. Dia menghibur diri bahwa lebih baik berusaha mencari serta menyambar kesempatan emas sebagai pesakitan di Alverstoke House ketimbang duduk-duduk saja di rumah dinas pendeta desa.

Mr. Trevor memiliki ketertarikan terhadap dunia politik. Namun sejauh ini kesempatan emas di bidang tersebut belum muncul karena sang Marquis tidak berambisi ke arah itu, alhasil jarang menyetor diri di Majelis Tinggi. Meski demikian, Mr. Trevor ada kalanya diperbolehkan menulis naskah pidato singkat yang menurut sang majikan cocok sekali untuk disampaikan. Selain itu, sang Marquis sempat pula mengobral pandangan politiknya kepada Mr. Trevor sesekali.

Terlebih lagi, Mr. Trevor ternyata kesulitan membenci Alverstoke. Mr. Trevor memperkirakan Alverstoke tidak menaruh perhatian terhadap perasaannya, tapi sang majikan senantiasa ramah, tidak rewel, dan tidak pernah menginjak-injaknya. Kala berbagi cerita dengan seorang teman kuliah dengan pekerjaan serupa—yang diperlakukan majikannya seperti perpaduan antara budak kulit hitam dengan pembantu rumah tangga—mengertilah Charles bahwa dia beruntung. Alverstoke tega meluluhlantakkan benalu pengganggu, tapi jika sang sekretaris berbuat salah, dia memberikan teguran yang sepantasnya. Bahkan dengan cara mencengangkan karena sama sekali tidak menyiratkan dirinya berkedudukan superior. Teman Charles dihujani perintah ketus, Charles menerima permintaan yang santun, biasanya dibarengi senyum menawan dari Lord Alverstoke. Sekalipun berusaha, dia tidak kuasa menampik pesona Alverstoke, juga tak sanggup menyembunyikan kekaguman akan kemampuan berkuda Alverstoke serta bakat pria itu dalam bermacam-macam cabang olahraga.

“Aku menebak,” kata sang Marquis dengan mata berbinar-binar geli, “berdasarkan pembawaanmu yang bimbang dan tindak-tandukmu yang sungkan, kau merasa berkewajiban mengingatkanku tentang tanggung jawabku. Saranku, urungkanlah niatmu! Aku hanya akan menganggapmu kejam, lalu kabur untuk bersembunyi di semak-semak.”

Sengiran mengusir keseriusan dari wajah Mr. Trevor. “Anda tidak pernah kabur, Sir,” ujarnya lugas. “Dan bukan soal tanggung jawab yang saya hendak sampaikan—setidak-tidaknya, menurut saya bukan! Hanya saja, saya berpikir ada yang harus Anda ketahui.”

“Oh, begitukah? Berdasarkan pengalamanku, kata-kata itu niscaya merupakan pendahuluan bagi sesuatu yang lebih baik tidak kuketahui.”

“Ya,” kata Mr. Trevor cerdik, “tapi saya harap Anda bersedia membaca surat ini! Malahan, saya sudah berjanji kepada Miss Merriville bahwa Anda pasti membacanya!”

“Siapakah,” Lord Alverstoke menuntut penjelasan, “Miss Merriville itu?”

“Katanya Anda pasti tahu, Sir.”

“Sungguh, Charles, kau semestinya tahu kepalaku tidak menyimpan semua nama—” Sang Marquis terdiam, alisnya berkerut. “Merriville,” ulangnya serius.

“Saya yakin masih kerabat Anda, Sir.”

“Kerabat yang sangat jauh! Apa pula yang dia inginkan?”

Mr. Trevor menyodorkan surat yang tersegel. Alverstoke mengambilnya, tapi berkata dengan sengit, “Ingin rasanya kubakar surat ini! Itulah ganjaran yang pantas bagimu! Dengan demikian, kau harus jelaskan kepada perempuan itu apa sebabnya kau ingkar, padahal kau sudah berjanji aku pasti membaca surat ini!”

Alverstoke membuka segel surat. Tidak butuh waktu lama untuk mencerna isinya. Pria tersebut mendongak begitu selesai membaca, lalu melemparkan tatapan pedih penuh tanya ke arah Mr. Trevor. “Apakah kau sedang tidak sehat, Charles? Kebanyakan minum semalam dan sekarang kurang enak badan?”

“Tidak, tentu saja tidak!” kata Mr. Trevor, terguncang.

“Jadi, kenapa otakmu mendadak tidak beres, demi Tuhan?”

“Saya baik-baik saja! Maksud saya—”

“Kau pasti sudah tidak waras. Selama tiga tahun kita saling kenal, kau tidak pernah gagal mengarang dalih untuk disampaikan kepada kerabat-kerabatku yang penggerecok! Apalagi memberi angin kepada peminta-minta—”

“Saya yakin mereka bukan seperti itu, Sir! Saya rasa mereka tidak kaya, tapi—”

“Peminta-minta,” ulang sang bangsawan tegas. “Kalau saudariku sendiri meyakini Grosvenor Place adalah ‘tempat terpencil’, orang-orang yang tinggal di Upper Wimpole Street mungkin akan mengklaim mereka menghuni ujung dunia! Dan jika,” diliriknya lagi surat itu,“F. Merriville ini putri dari satu-satunya anggota keluarga yang pernah kujumpai itu, aku bertaruh dia tidak punya sepeser pun dan mengharapkan kemurahan hatiku untuk mengobati kondisi tersebut.”

“Bukan, bukan!” kata Mr. Trevor. “Saya tak akan pernah memberi angin bagi peminta-minta, semoga saja!”

“Kuharap juga demikian,” sang bangsawan sepakat. Dia mengangkat alis, penasaran. “Temanmu, Charles?”

“Saya baru sekali itu melihat mereka seumur hidup saya, Sir,” jawab Mr. Trevor kaku. “Saya barangkali mesti menegaskan juga kepada Anda, menurut saya, coba-coba memperkenalkan teman saya kepada Anda adalah perbuatan yang sangat tidak sopan.”

“Wah, tidak usah sewot! Aku benar-benar tidak bermaksud menghinamu,” kata Alverstoke dengan lembut.

“Tentu saja tidak, Sir!” kata Mr. Trevor, hatinya melunak. “Saya mohon maaf! Masalahnya—Mungkin sebaiknya saya paparkan saja pertemuan saya dengan Miss Merriville!”

“Silakan!” undang Alverstoke.

“Dia mengantarkan sendiri surat itu.” Mr. Trevor mengungkapkan. “Kereta kuda menepi tepat saat saya hendak memasuki rumah—karena Anda memberi saya sedikit sekali pekerjaan hari ini, saya duga Anda tak akan keberatan bila saya keluar membeli dasi baru untuk saya sendiri!”

“Wah, siapa kira-kira yang mencekokkan gagasan itu ke dalam kepalamu?”

Lihat selengkapnya