Frederica

Noura Publishing
Chapter #3

Tiga

Selepas merasakan pengalaman-pengalaman tersebut, kecil kemungkinan bahwa sang Marquis—yang jarang bersusah-susah menyenangkan siapa pun selain diri sendiri—bersedia merespons permintaan Miss Merriville. Sementara Charles Trevor pun tidak berani berupaya untuk menyegarkan ingatan sang majikan. Namun, entah karena penasaran atau karena suatu hari kebetulan berada di dekat Upper Wimpole Street, Alverstoke nyatanya memang menyambangi wanita itu.

Dia dipersilakan masuk oleh kepala pelayan sepuh, yang mengantarkannya menaiki tangga sempit hingga ke ruang rekreasi di lantai dua, dengan kecepatan yang menyiratkan usia lanjut dan keringkihan, kemudian mengumumkan kedatangannya kepada sang penghuni.

Sembari berdiri di ambang pintu, sang Marquis melemparkan sekilas pandang ke sekeliling dan serta-merta merasa bahwa kecurigaannya telah terbukti. Kerabat tak dikenal ini jelas-jelas melarat, sebab ruangan itu bukan saja memuat perabot-perabot tak berkelas, melainkan juga terkesan serba-usang. Karena kurang berpengalaman, Alverstoke luput mendeteksi tanda-tanda yang niscaya dikenali oleh orang-orang kurang beruntung, yaitu tanda-tanda bahwa rumah ini adalah hasil sewaan, alih-alih milik sendiri, dan diperlengkapi perabotan semurah mungkin.

Ruangan itu ditempati oleh satu orang: wanita yang sedang menulis di balik sebuah meja kecil, yang diletakkan menyiku dengan jendela. Dia menoleh sepintas, melekatkan tatapan yang terkejut sekaligus penuh hormat kepada Alverstoke. Sang Marquis melihat wanita itu masih muda, barangkali baru 23 atau 24 tahun; berperawakan bagus; bermata kelabu tajam; berhidung kecil mancung; dengan mulut dan dagu yang sangat tegas. Rambutnya yang cokelat muda dikepang à la Didon, cocok sekali. Dia mengenakan jaket pendek garis-garis di atas gaun kambrik halus berleher tinggi dan berkelim ganda di bagian hem.

Alverstoke, yang tidak asing akan pernak-pernik busana wanita, bisa menangkap dengan sekali pandang bahwa pakaian tersebut modis, tapi tidak memesona ataupun mahal. Tak akan ada yang menyebut gayanya flamboyan. Sebaliknya, tak akan ada pula yang mengecapnya sebagai wanita lusuh. Intinya, wanita muda tersebut menggunakan pakaian sederhana dengan rapi dan penuh percaya diri.

Selain itu, pembawaannya sangat tenang sehingga Alverstoke bertanya-tanya apakah perempuan tersebut lebih tua dibandingkan yang semula dia kira. Karena wanita belia yang belum menikah lazimnya jarang menerima tamu laki-laki, wajar apabila gadis itu salah tingkah gara-gara kedatangan seorang pria asing. Namun dia tampak santai-santai saja, juga tidak gentar sekalipun Alverstoke mengamatinya baik-baik dengan lagak acuh tak acuh. Alih-alih merona, menunduk, atau menunjukkan gelagat bingung laiknya perawan malu-malu, gadis tersebut memperhatikan Alverstoke dengan serius dan (pria itu menyadari, dengan geli) teramat kritis.

Alverstoke maju dengan gerakan luwes yang tak terburu-buru. “Miss Merriville-kah yang memberi saya kehormatan ini?” tanyanya.

Gadis itu bangun dan mendekat untuk menyambutnya sambil mengulurkan tangan. “Ya, saya Miss Merriville. Apa kabar? Mohon maaf! Saya tidak menduga Anda akan bertamu.”

“Kalau begitu, tolong maafkan saya! Saya mendapat kesan bahwa Anda ingin saya menyambangi Anda.”

“Ya, tapi saya sudah pasrah, mengira Anda tak akan bertamu. Kalaupun demikian, saya tidak terkejut, sebab saya yakin Anda menganggap permintaan tersebut merepotkan dan juga, barangkali, lancang!”

“Sama sekali tidak,” gumam sang Marquis dengan santai.

“Wah, saya sendiri sempat khawatir sudah bertindak lancang. Masalahnya, saya seumur hidup tinggal di Herefordshire, maka dari itu saya kurang mengenal tata krama London.” Dengan mata berbinar-binar riang, Miss Merriville menambahkan, “Anda tidak tahu betapa sukarnya mematuhi etiket, ketika diri kita sudah menjadi—sebut saja—nyonya rumah selama bertahun-tahun!”

“Justru sebaliknya!” timpal sang Marquis serta-merta. “Saya tahu sekali!”

Wanita itu tertawa. “Oh, begitukah? Jika demikian, barangkali tidak akan sulit untuk menjelaskan kepada Anda alasan … alasan saya sehingga meminta Anda untuk bertamu!”

“Kalimat yang mengagumkan!” komentar Alverstoke. “Apakah Anda menghafalnya? Saya mengira Anda bukan meminta, melainkan menyuruh saya bertamu!”

“Aduh, ya ampun!” kata Miss Merriville sungkan. “Padahal saya sudah bersusah payah agar tidak terkesan seperti perempuan yang suka main perintah!”

“Apakah Anda perempuan yang suka main perintah?”

“Ya, tapi mau bagaimana lagi? Saya harus menceritakan latar belakangnya—Tapi, silakan duduk dahulu!”

Alverstoke membungkuk kecil, kemudian bergerak ke kursi di samping perapian. Miss Merriville duduk berhadapan dengannya dan, setelah mengamat-amati pria itu sejenak, berkata dengan agak ragu, “Saya sejatinya bermaksud menjelaskan semua kepada Anda di dalam surat, tapi saya takut berputar-putar tidak keruan—meminjam istilah adik lelaki saya Harry—sehingga akhirnya saya putuskan lebih baik bertemu langsung dan berbicara saja kepadamu!

Mula-mula, saya tidak berniat minta tolong kepada kerabat Papa, sebab saya kira Bibi Scrabster akan mampu mengerjakan yang saya inginkan. Asumsi tersebut semata-mata menunjukkan betapa kurangnya pengetahuan saya, betapa mudahnya terkelabui! Bibi Scrabster saudari tertua ibu saya. Dalam surat-suratnya, beliau senantiasa menyerocos panjang-lebar mengenai kehidupannya yang berkelas, juga menyampaikan betapa beliau berharap dapat memperkenalkan saya dan adik perempuan saya kepada kalangan terpandang.”

“Merasa aman karena meyakini dia tak akan pernah diminta untuk mewujudkan janji-janjinya itu menjadi tindakan?”

“Tepat sekali!” kata Miss Merriville seraya menganugerahkan senyum hangat kepada tamunya. “Bukan berarti saya mengira beliau bisa, sebab paman saya memperoleh hartanya dari dunia bisnis. Paman Scrabster bekerja untuk Perusahaan Dagang Hindia Timur dan, sekalipun sangat terhormat, beliau bukan orang kalangan atas. Dihadapkan pada dilema tersebut, saya mesti membuang jauh-jauh rasa enggan saya dan membulatkan tekad untuk menghubungi keluarga Papa yang kira-kira mampu membantu.”

“Kenapa Anda lantas membayangkan saya mampu?” tanya sang Marquis sambil tersenyum sinis.

Dengan sigap, Miss Merriville menjawab, “Oh, bukan membayangkan! Saya semata-mata berpikir logis! Salah satu alasannya karena Papa sering berkata bahwa Anda kerabatnya yang terbaik. Sekalipun, berdasarkan yang sudah saya dengar,” imbuhnya, “bukan berarti Papa bermaksud memuji Anda setinggi langit! Saya tidak pernah bertemu sepupu-sepupu dan kedua bibi saya dari marga Merriville karena, perlu Anda ketahui, Papa dicampakkan keluarganya semenjak beliau nekat menikahi ibu saya, alih-alih seorang wanita kaya yang mereka jodohkan untuk beliau. Oleh sebab itulah, saya meyakini sepenuh hati tak akan pernah bersua dengan mereka, apalagi minta bantuan kepada mereka. Sama sekali tidak!” Dia terdiam, wajahnya kelam kala menimbang-nimbang perkara itu, kemudian menambahkan, “Lagi pula, tak satu pun dari mereka mampu memberikan bantuan yang saya perlukan, sebab mereka sepertinya orang-orang teramat kolot dan menjemukan, yang hampir tidak pernah datang ke London karena konon tidak setuju dengan gaya hidup modern. Itu pulalah alasan lainnya sehingga saya memilih Anda.”

Alverstoke mengangkat alis. “Saya mungkin saja tidak setuju dengan gaya hidup modern. Anda tidak tahu pasti, bukan?”

“Mustahil. Lebih tepatnya, saya tidak tahu apa-apa tentang Anda, tapi saya yakin Anda tidak berkeberatan terhadap gaya hidup modern! Biar bagaimanapun, penampilan Anda begitu bergaya—atau, setidak-tidaknya, di mata saya demikian?” ujar Miss Merriville dengan nada penuh selidik.

“Terima kasih! Saya, anu, hanya berupaya untuk tidak mempermalukan diri sendiri di depan publik.”

“Ya dan, yang lebih penting, lingkup pergaulan Anda adalah di kalangan atas. Itu juga menjadi alasan sehingga saya memilih Anda,” Miss Merriville mengungkapkan sambil kembali mengumbar senyum ramah.

“Begitukah? Apakah persisnya tujuan Anda? Bolehkah saya tebak?”

“Wah, sudah saya kira Anda bisa menebak, sebab Anda sama sekali tidak tampak bodoh—walaupun harus saya akui saya berharap usia Anda lebih tua. Sayangnya tidak. Namun begitu, mau bagaimana lagi? Kendati Anda kurang tua, saya rasa Anda tetap bisa menolong kami.”

“Usia saya 37 tahun, Nona,” kata Alverstoke masam, “dan barangkali harus saya beritahukan saya tidak pernah menolong siapa pun!”

Miss Merriville menatapnya sambil tercengang. “Tidak pernah? Kenapa tidak?”

Alverstoke mengangkat bahu. “Saya egois, Nona. Selain itu, saya paling tidak suka hal yang membosankan.”

Gadis itu memandanginya dengan agak waswas. “Jika saya meminta Anda memperkenalkan saya kepada Lady Alverstoke, sekalian menanyakan apakah beliau berkenan membantu saya, akankah Anda keberatan?”

“Mungkin tidak, tapi pertanyaan tersebut menjadi retorik belaka, sebab ibu saya sudah meninggal bertahun-tahun silam.”

“Bukan, bukan. Maksud saya istri Anda!”

“Saya tidak menikah.”

“Tidak?” seru Miss Merriville. “Wah, sangat disayangkan!”

Lihat selengkapnya