Kebisingian dan asap polusi bersatu padu. Tapi itu tidak mengendurkan langkah gadis yang mengenakan blazer merah dengan blus putih di baliknya yang dipadu dengan celana kain warna hitam dan pump shoes warna krem memasuki rumah yang di atasnya bertuliskan Toko Buku dan Kedai Kopi Aspirasi. Toko ini terletak di pinggir jalan, dan bangunannya pun berupa rumah minimalis. Garasi rumahnya pun disulap menjadi toko buku, sedangkan pemilik rumah menempati lantai dua yang tersambung melalui tangga.
"Eh ada Lo, Ren," sapa gadis yang sedang mengaduk susu dengan milk frother dari stan barista.
Gadis yang dipanggil Ren itu duduk di kursi tinggi berhadapan sang barista, memandang papan menu yang ditulis dengan kapur warna warni, cat warna coklat terang dengan setengahnya dilapisi ubin putih pada sisi itu menambah ketenangan toko buku yang dipadu dengan kedai kopi. Dia mengamati barista itu yang sedang meneriakkan nama pelanggannya, beberapa detik kemudian minuman itu sudah berada di tangan pelanggan.
"Pesan apa, Ren?" tanya barista itu di meja kasir.
"Cappucino aja deh, Ndah. Hangat ya."
"Tumbenan lo pesen cappuccino." Barista itu mengangkat alis. "Biasanya Caffe Latte decaf."
"Lagi pengen suasana baru."
Barista itu menganguk, menerima transaksi. Dia berpindah ke kursi pelanggan sambil menunggu. Lalu dalam tiga menit, minumannya sudah berada di tangan perempuan berkulit eksotis itu. Saat menyesapnya di tempat duduk, si baristanya duduk di hadapannya.
"Lo yang punya toko, tapi lo yang kerja," ujar gadis itu datar.
"Gue nungguin Ivanka sama Lana, Renita. Pas banget mereka baru datang dan langsung kerja," jawabnya sambil nunjuk dua karyawannya yang lagi lap cangkir dan cek mesin espresso.
"Iya deh, Indah." Renita tersenyum dan kembali menyesap cappuccino dalam cangkir warna merah marun, warna favoritnya.
"Biasanya nih, yang gue tahu adalah kalau lo pesan kopi yang beda pasti lagi sebal. Kali ini siapa yang lo sebalin?" tanya gadis barista bernama Indah, senyumnya tipis dan lembut.
Tanpa basa-basi Renita langsung menjawab, "Gue sebel banget sama si Aryo, kolega setim. Mereka mandang gue rendah banget, seakan tiap kasus tim menang karena gue anaknya Ardhi Arsa si pemilik firma. Sok betul, mentang-mentang dia tuh kerja keras terus sombongin diri di depan tim, mana banding-bandingin lagi sama gue yang kesannya tuh aji mumpung dan ngetek Bokap. Padahal gue, kan, kerja nggak di backing apapun sama Beliau. Bilang aja dia nggak suka kerja sama dengan gue, masih zaman banget merendahkan perempuan gara-gara dianggap nggak mampu. Gue langsung konfrontasiin dia di pantry baik-baik, terus kicep langsung. Bodo amat, kelar kasus gue pindah tim aja."
Indah mendengarkan dengan tatapan maklum. Renita walau tiga tahun lebih tua dari dia, tetapi sifat gampang kesal bila menyangkut kualitas benar-benar awet.
Gadis berambut lurus dengan panjang sepuluh sentimeter melewati bahu itu menggenggam lembut kedua tangan Renita. "Tarik napas, buang perlahan. Tidak ada gunanya benci, kan selama ini lo lagi membuktikan. Biarkan saja mereka menilai apa, jangan perlihatkan kelemahan lo di depan musuh." Senyum lembut dan ramah Indah otomatis bikin Renita jadi nyaman dan merasa terlindungi.
"Terima kasih, Indah. Lo betah banget dengerin keluhan gue terus, jadi nggak enak sama."
"Nggak usah gitu ah. That's what best friend are for, right?" Indah tersenyum manis dengan alis sedikit terangkat.
“Tentunya.”
Pintu toko mendadak terbuka sangat keras. Menampilkan tiga orang pria dengan pakaian compang-camping, rambut yang berantakan, dan anting di telinga. Mereka masing-masing membawa tongkat kasti. Pengunjung toko buku dan kedai kopi yang masih bersantai jadi berhamburan ke toilet atau rak buku tinggi, bahkan Ivanka dan Lana bersembunyi di kolong stan barista sehingga menyisakan Renita dan Indah saja.
"Mana pemilik toko? MANA?" Suaranya berat dan menambah aura seram toko yang makin sunyi.
Dua gadis itu saling berpandangan dengan seringai dari bibir masing-masing.
Preman berbadan gembul yang membawa tongkat panjang menyerang ke arah Renita yang membuat gadis itu langsung menyampingkan tubuh ke kanan. Preman itu geram karena serangannya meleset. Renita menendang perutnya dari samping dengan seringai, lalu menjewer telinganya. "Berani banget, ya. Dasar brengsek!" Nada bicara gadis itu berapi-api, matanya sudah tajam seperti pisau daging yang baru diasah.
Kekuatan sepatu hak tinggi Renita mampu menusuk ulu hatinya hingga si preman tersungkur sambil memegang ulu hatinya dengan rintihan. Tongkatnya terlepas dari tangan. Tidak puas, Renita menginjak-injak badan orang itu. "Brengsek, nggak sopan. Mana beraninya sama perempuan. Dasar PENGECUT! Bukan banci karena mereka masih bermartabat daripada lo!" racaunya.
Sementara Indah terus berjalan mundur sambil melirik masing-masing dua preman yang menghadangnya. Preman sebelah kiri rambutnya lebih rapi dengan kacamata dan badan kurus, dia menerka-nerka bahwa kekuatannya ada di tongkat kasti yang Ia pegang. Sementara preman di sebelah kanan yang rambutnya model undercut dengan kulit bopengan dan mengenakan rompi jins dan tanktop hitam yang badannya dipenuhi tato itu sepertinya membawa pisau lipat di pinggangnya.
"Mana uang jatah bulanan kami, Cantik?"
"Tahu sendiri, kan, konsekuensinya kalau tidak bayar?" si preman berambut undercut mengingatkan dengan kerlingan mesum.
Indah menahan diri untuk menyabet pipi si preman undercut dengan pisau. "Saya tidak ada hutang apapun dengan kalian. Ada pihak keamanan wilayah ini yang resmi dan saya sudah patuh membayarnya tiap bulan." Ia perlahan mengambil sesuatu di balik punggungnya.
Ketika dua preman itu makin dekat, Indah langsung mengayunkan pisau lipatnya ke muka dua preman itu. Ia mengayunkannya ke kiri dan kanan dengan cepat, membuat mereka ketakutan hingga menghindar. Gerakan pisau Indah berhenti tepat di mata preman rambut undercut, terdengar cicitan takut. Indah menyeringai, "Jadi, masih bilang itu hutang?"
Suara ketakutan itu makin terdengar ketika pisau Indah makin dekat ke bola matanya. "Ampun ... ampun."
Indah tidak sadar bahwa si preman badan kurus bersiap-siap mengayunkan tongkat kasti ke arahnya. Namun, sebuah tendangan berputar dua kali mengenai punggungnya hingga tongkat itu terlepas dari tangannya saat si preman kurus jatuh tengkurap. Bunyi tongkat kastinya menggema di lantai, membuat pengunjung yang masih bersembunyi makin ketakutan.
"Usil juga, ya, Lo." Renita menggosok kedua tangannya.
Preman ketakutan tadi seakan mendapatkan kekuatan. Dia menendang pisau lipat Indah. Gadis itu mengeluarkan pisau lipat kecil dari kantong celana jinsnya, kali ini berbentuk cutter. Indah membaca serangan si preman yang sedang menendang dan memukul yang langsung dengan cepat dihindarinya. Pukulan yang menuju muka membuat Indah mendongak sangat jauh seperti sebuah film Matrix. Indah berputar dengan anggun kemudian menyabet punggung tangan kanan si preman yang bebas dengan cutter secara melintang. Alhasil si preman kesakitan dan memegang punggung tangannya yang berdarah.