Freedom Fighter

TheEod
Chapter #2

#PerempuanHebat

Wedges krem dengan motif anyaman di bagian heels milik Renita melangkah dengan elegan ke pintu berukir kayu yang mulai lapuk. Dia menyapa salah satu satpam lalu melanjutkan perjalanannya ke halaman belakang rumah model lama tersebut. Rumah yang lantainya masih menggunakan motif teraso dan perabotannya di dominasi oleh kayu jati. Ah, rumah ini memang menimbulkan kenangan masa kecil.

“Renita,” panggil seseorang dari belakang saat ia mengamati belasan anak perempuan berusia enam hingga delapan tahun yang sedang larut dalam membuat lukisan dengan media crayon.

Renita membalikkan badan. “Tante Widya,” balasnya sumringah. Dia langsung menghampiri dan memeluk wanita berusia awal limapuluhan tersebut.

“Tante senang banget akhirnya kamu datang di perlombaan melukis buat anak-anak. Tadinya Tante pikir kamu nggak datang.” Tangan Tante Widya yang sudah menunjukkan sedikit urat nadi warna biru dan ungu mengelus lengan anak sahabatnya itu.

“Pastinya Renita datang dong. Reni nggak mau melewatkan karya-karya penerus bangsa,” balasnya diiringi senyum.

Tante Widya adalah sahabat dari Liana Febiola—almarhumah Mama Renita—Mereka bersahabat dari tahun kedua kuliah di Universitas Trisakti, sekitar tahun 1995. Kesamaan visi dan misi mereka berdua terhadap kemajuan perempuan dan anak membawa mereka pada Yayasan Perempuan Hebat. Mereka mendirikannya pada tahun 2003, bertujuan sebagai advokasi dan perlindungan bagi para korban pelecehan seksual yang saat itu bahkan tidak diberi ruang untuk membela diri.

Seiring waktu Yayasan Perempuan Hebat berkembang menjadi pemberdayaan perempuan dan anak. Mereka dilatih beberapa kemampuan sesuai minat dan bakat, serta diberi beasiswa hingga sarjana. Saat ini, yayasan dijalankan oleh Renita dan Tante Widya. Renita sendiri baru gabung sejak tiga tahun lalu, tepatnya setelah lulus dari fakultas hukum di sebuah universitas negeri terkenal. Tugas Renita tidak hanya terkait advokasi, tetapi mengajari seks edukasi dan teknik dasar perlindungan diri pada mereka yang berusia remaja.

“Renita beneran ada rencana mau mindahin basis Yayasan ini?” tanya Tante Widya.

Gadis itu terkejut, rencana ini hanya diketahui oleh dirinya dan Papa. “Itu masih omong-omongan doang sih, Tan. Aku sama Papa masih belum ada kata sepakat.”

“Oh.” Tante Widya kembali mengamati halaman belakang. Semakin sempit waktunya, anak-anak itu makin semangat mewarnai gambar mereka. Sesekali Tante Widya tertawa kecil kala menangkap salah satu anak melap keringat di pelipis kanan dengan punggung tangan yang penuh dengan noda krayon berbagai warna.

“Mama kalau lihat ini pasti bangga di surga sana.” Renita bersuara lagi setelah diam-diaman. Pandangannya berubah sendu, dan membuat gerakan memeluk diri sendiri dengan dalih melipat kedua tangan ke masing-masing siku, “Komunitas yang selalu dibanggakannya mencetak perempuan-perempuan inspiratif dan berprestasi, bahkan sekarang semua anggota di sini lebih bahagia.”

Tante Widya mengangguk paham. Walau Liana sudah pergi dari tujuh tahun lalu, dia merasakan Renita masih rindu akan sosok inspiratif dan panutannya. “Tante juga gitu, Ren. Kadang masih kebayang Mamamu waktu kuliah dulu tuh rela panas-panasan di depan kantor DPR dengan almamater kampus terus teriak-teriak Reformasi dengan semangat. Bagaimana dia juga bantuin Tante yang hampir saja mati di tangan para biadab itu.”

Tante Widya mengepalkan tangannya tanpa sepengetahuan Renita. “Bahkan Tante masih ingat betul gimana kami berdua dan beberapa orang mengarahkan para korban untuk kabur ke Singapura lewat kapal dan lolos melewati keamanan tuh bener-bener nggak mudah.” Pandangannya menerawang.

Renita menunduk sambil kagum pada perjuangan dua perempuan itu.

Lomba melukis selesai satu jam kemudian, ada seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dengan pakaian warna hijau tua bermotif putri Merida dari film Brave menghampiri Renita dan Tante Widya. Rambut keritingnya berkibar mengikuti gerakannya yang riang. Renita menyambutnya dengan senyum ceria lalu menggendongnya. Wajah dan tangannya penuh dengan warna-warni noda krayon.

“Turunin aku, Kak Reni. Aku udah gede nggak usah digendong.” Anak itu merajuk dan menggerakkan kedua kakinya hingga menendang perut Renita. Dia lalu menurunkannya.

Anak itu memamerkan hasil gambarnya yang membuat Renita dan Tante Widya takjub. Gambar itu adalah seorang wanita memakai gaun warna hijau dengan rambut keriting tidak beraturan yang Ia warnai dengan oranye. Wanita itu berpose memanah kepada papan target. Walau acak-acakan, Renita bisa membaca ekspresi marah dari gambar. Dengan latar belakang hutan hujan dengan bangku kayu lebar yang diisi oleh penonton yang bersorak.

“Lihat dong Rindang gambar apa hari ini?” Gadis kecil itu mengucapkannya dengan bangga tapi dengan mimik serius.

Mata Renita menyipit. “Putri Merida, ya?”

“Ih kok tahu sih,” sungut Rindang dengan memajukan bibir. “Padahal gambarnya udah aku jelek-jelekin biar Kak Reni nggak bisa nebak.”

“Keliatan kali dari warna rambutnya.” Renita mengacak rambut gadis kecil yang kuncir kudanya tidak beraturan.

“Rindang kenapa gambar putri Merida?” tanya Tante Widya penasaran.

“Putri Merida itu pemberani, Nek. Dia nggak takut apa pun dan bisa memanah. Rindang mau begitu juga,” jawab Rindang dengan mata bulatnya yang bersinar.

“Rindang bisa kok jadi Putri Merida versi Rindang sendiri,” respon Renita lebih dahulu. “Asalkan Rindang harus terus asah apa yang jadi minat Rindang dan terus jadi berprestasi di sekolah, oke?” Renita mengepalkan tangan di depan Rindang.

Rindang tersenyum semangat sambil mengikuti gerakan kepalan tangan. Kemudian, gadis cilik itu meninggalkan mereka berdua untuk bermain bersama teman sebayanya.

Renita berpamitan pada Tante Widya untuk berkeliling melihat lomba lain. Setiap tahun, Yayasan Perempuan Hebat selalu mengadakan lomba seni untuk mengasah kreativitas peserta. Saat mengelilingi ruang belajar yang dindingnya dipenuhi lukisan berbagai jenis, mulai dari seni realis hingga naturalis, bahkan Renita tertarik melihat lukisan bunga Teratai yang diolah menjadi lukisan abstrak.

Jemari Renita menyentuh permukaan lukisan abstrak tersebut. Sepertinya menggunakan cat akrilik yang dituang ke minyak dan sehingga ada beberapa bagian yang timbul, yaitu di bagian bunga yang tertutup warna daun. Bila orang awam melihatnya, maka mereka akan bingung dan langsung ke lukisan selanjutnya. Tetapi tidak dengan Renita, pandangannya terpaku seakan lukisan abstrak bunga Teratai itu menghipnotisnya.

Bunga Teratai yang hidup di air kotor tetap tumbuh elok, sama seperti orang-orang yang selalu merendahkan anggota Yayasan Perempuan Hebat. Namun mereka membalasnya dengan prestasi menakjubkan dan pendidikan yang gemilang. Di sisi lain bunga Teratai mudah layu seakan mengingatkan kembali kepada ibunya yang telah pergi, bahwa sejatinya hidup di dunia itu hanya sementara. Manusia pergi meninggalkan nama baik.

“Ma, terima kasih atas dedikasi dan kontribusimu terhadap komunitas ini. Renita akan melanjutkannya, bahkan lebih baik lagi,” gumamnya pada diri sendiri.

Lihat selengkapnya