Freedom Fighter

TheEod
Chapter #3

Not-So-Cool Brunch

Indah merasakan sesuatu melingkar di pinggangnya. Gadis itu bingung karena setahunya tidak ada yang menginap di rumahnya kemarin malam. Bahkan dia yakin tempat tidurnya kosong, jadinya pulang dari suatu tempat dia langsung membersihkan muka, ganti pakaian dengan tank top krem dan celana pendek selutut warna putih lalu masuk alam mimpi.

Saat Indah pelan-pelan menyingkirkan tangannya, malah tangan itu sendiri kembali merengkuh pinggangnya makin erat. Gadis itu mengerjap lalu membalikkan posisi tidurnya. Wajahnya berubah maklum ketika mengetahui siapa makhluk hidup yang tidur di sebelahnya. Bahkan mulutnya mengeluarkan dengkuran halus dan belum ganti baju.

“Ren.” Indah menepuk pipi sahabatnya. “Ren, bangun. Sudah jam setengah lima pagi, lo nggak subuhan dulu?”

Renita mengerang lalu mengubah posisi tidurnya membelakangi Indah. Biarkan sajalah, nanti bakal bangun sendiri. Gadis itu biasanya maksimal jam lima minimal posisinya duduk di pinggir tempat tidur.

Indah memutuskan untuk keluar kamar menuju dapurnya yang serba putih membentuk huruf  L dibalik ke atas dengan barstool berbentuk persegi panjang yang terbuat dari marmer dengan empat kursi panjang bersisian. Ia mengeluarkan toples ukuran sedang warna pink dari kulkas, daging ayam yang sudah dicuci dan dimarinasi semalaman dari kulkas. Terakhir mengeluarkan fryer, cetakan waffle, dan kotak berisi tepung bumbu.

Ketika Indah sedang menggoreng ayam sambil menuang waffle yang sudah matang ke dua piring putih berukuran sedang. Salah satu kursi panjang di barstool menderit.

Indah menyajikan dua piring berisi waffle tadi, mengabaikan tatapan Renita yang seakan menginterogasinya.

“Lo kenapa nggak pernah cerita ke gue?” tanya Renita saat Indah mengangkat fryer-nya, meniriskan sisa minyak goreng dari ayam.

Indah yang masih menjalankan aksi sok sibuknya membuat Renita mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Meja marmer yang sunyi langsung berbunyi ketika benda itu Ia letakkan di atasnya.

“Pantesan aja tiga tahun toko buku lo berdiri udah gede aja isinya, Ndah. Ternyata lo anak konglomerat.”

Perkataan itu membuat Indah tidak jadi mengambil sirup maple yang ada di salah satu lemari atas dapurnya. Dia langsung menoleh ke sumber suara, hatinya mendadak sensitif. Sebenarnya gadis itu kurang menyukai bila ada yang mengatakan hal tersebut, seolah-olah selama ini usahanya itu tidak bisa berjalan di atas kakinya sendiri. Sirup maple itu tetap Ia ambil, dan menaruhnya dengan keras di atas barstool.

Tatapan Indah yang antara marah dan sedih membuat Renita ciut. “Oke, maafkan gue. Gue janji nggak akan ngomong asal kayak tadi.”

Renita bernapas lega mendapati pandangan sahabatnya melunak. Indah memindahkan saringan fryer berisi ayam goreng ke masing-masing piring. Gadis berambut sebahu bertekstur lurus itu mengambil kursi panjang di sebelah Renita setelah menaruh pernak-pernik dapur ke bak cuci piring, kecuali fryer karena menunggu minyaknya mendingin.

“Lagian juga kenapa sih lo nggak cerita ke gue kalau lo berasal dari klan Mahendra?” Renita membuka pembicaraan setelah mengunyah ayam gorengnya. “Walau mulut gue suka asal nyeblak, tapi gue nggak pernah bocorin rahasia orang lain.”

Indah masih fokus pada makanannya, tidak langsung menjawab. Matanya terbagi antara santapan dan notifikasi ponsel yang terus berbunyi tanpa henti. Bahkan sekarang ada panggilan telepon, tetapi Indah mengabaikannya.

“Terus kalau gue ngasih tahu lo soal gue bagian dari keluarga Mahendra, lo mau apa?” Indah akhirnya menanggapi dengan kalem.

Renita mendengus. “Ya kagak apa-apa sih, cuma kebiasaan lo banget Ndah, serba tertutup. Itu juga gue nggak tahu kalau lo anaknya Fauzi Mahendra jika ponsel lo berisik. Grup chat keluarga lo rame betul kayak pasar.”

Indah tersenyum tipis. “Gue juga males sih bawa-bawa nama keluarga di berbagai aspek kehidupan kalau nggak darurat. Makanya gue milih buka toko buku di area sini, nggak jauh dari kampus dan orang-orang sini nggak tahu kalau gue anaknya Fauzi Mahendra. Ya, tapi karena lo tahu, ya, baiklah nggak apa-apa.”

“Lempeng banget, Ndah,” balas Renita bercanda sambil menuangkan sirup maple lagi karena sisa waffle-nya tidak mengenai cairan yang mirip madu itu.

“Tumbenan lo nginep di tempat gue. Bokap lo belum pulang dari Paris?” tanya Indah. Sudah jadi rutinitas bila Renita menginap di rumahnya adalah pertanda bahwa Om Ardhi Arsa sedang ada tugas di luar kota atau negeri. Rumah orang tuanya yang di Menteng terhitung besar walau bukan berbentuk mansion, gadis itu memang terlahir dari keluarga pengacara elit turun temurun.

Renita mengangguk. “Hari ini sih pulangnya, tapi gue nggak tahu jam berapa. Gue males di rumah sendirian. Lo juga, kenapa seharian nggak di toko? Gue, kan, nungguin lo sampek tutup. Untung aja ada yang ngajak ngobrol. Akhirnya gue menemukan sahabat sefrekuensi selain lo sama Ronald, Ndah.” Kalimat itu diakhiri dengan senyum riang.

Indah tampak tertarik, menoleh dan mengerutkan dahi. “Cepat sekali lo dapat teman baru. Siapa orangnya?”

Senyum Renita memudar, kemudian menggarukkan kepala sambil mengigit ujung lidah. “Gue lupa nanya nama lengkapnya, tapi dia nyuruh gue manggil Gama.” Ia memukul lengan Indah pelan. “Tuh, kan, Ndah, gue lupa nanyain kontaknya. Bego banget gue, keasikan ngobrol jadi gini neh.”

Indah membulatkan mata, nama itu? Dia menghela napas, kenapa kemunculannya super mendadak begitu? Indah mendadak menyesal kenapa dia tidak seharian di toko? Semoga saja kehadirannya tidak memancing perhatian staf dan pelanggannya.

“Kenapa lo diem gitu, Ndah?” Renita heran dengan aksi diam sahabatnya kali ini.

Indah menggeleng cepat, “Ah nggak apa-apa kok. Udah jam enam nih, buruan mandi duluan sana. Ntar telat lagi ke kantor.” Dia mengambil piring Renita secara terburu-buru lalu membawanya ke bak cuci piring. Renita menatapnya makin heran, tetapi akhirnya menurut ketika Indah sedikit memaksanya mandi.

“Hey ini hari Minggu, mana mungkin gue ke—” suara protes Renita menghilang di kamar mandi.

Setelah memastikan Renita sudah masuk kamar mandi, Indah langsung menyambar ponselnya lalu menghubungi orang yang terakhir memanggilnya. Terdapat tiga nada panggil sebelum terangkat.

“Mama kenapa sih sampek nelpon segala? Indah pasti baca kok pesannya,” ucapnya menahan kesal.

Lihat selengkapnya