Friday Night Saturday Morning

Dion Rahman
Chapter #1

Prolog

ADA begitu banyak impian yang ingin Emima raih sebelum usianya genap dua puluh. Impian receh untuk dirinya sendiri; seperti membeli sepatu kets baru untuk mengganti converse-nya yang sudah beset dan beberapa tali solnya sudah terlepas; mengubah rambutnya dengan model ombre lima warna yang memperlihatkan bahwa ada satu bagian dalam dirinya yang terlihat berwarna, sehingga orang-orang akan langsung terpaku pada rambutnya yang mencolok, ketimbang pada aura suram yang melekat dalam dirinya. Dia percaya, kalau semua itu akan menjadi sebuah tipuan yang sempurna.

 Sementara impian terbesarnya dipersembahkan untuk satu-satunya orang yang dia cintai yang masih hidup; Annelise yang tak lama lagi akan mengakhiri masa SMA-nya. Emima sudah menyiapkan semua perlengkapan untuk dipakai gadis itu ke acara prom night. Sebuah gaun berwarna puschia yang akan terlihat sangat indah di tubuh Annelise. Dipadukan dengan sepasang heels yang akan memperlihatkan kaki Annelise yang jenjang. Clutch yang akan membuat penampilan Annelise sempurna. Paling tidak, kalau Annelise terpilih menjadi queen malam nanti, teman-temannya akan memujinya dan predikat itu memang layak didapatkan.

Malam itu akan sangat berarti untuk Annelise, karena Emima sendiri telah kehilangan momen yang hanya terjadi sekali dalam hidupnya tersebut. Semua hal yang telah Emima rencanakan untuk dirinya sendiri, seperti yang dia rencanakan untuk Annenlise malam ini, berantakan oleh sebuah takdir yang sangat mengerikan.

Ada banyak usaha, tangisan, dan juga pengorbanan yang telah dia lewati untuk ini. Drama hidup yang kalau Emima jual ke acara televisi untuk dijadikan reality show, bisa dipastikan akan mendulang kesuksesan dan meraih rating tinggi. Emima bisa membayangkan orang-orang membicarakannya di selter bus. Sebagian lagi menontonnya di Youtube saat berkereta, atau ibu-ibu membahasnya dalam salah satu forum arisan tak penting sambil berhaha-hihi. Merasa sangat bersyukur, karena kehidupan yang mereka jalani lebih baik dari seorang gadis yatim piatu yang tengah berjuang hidup bersama sang adik yang disaksikan lewat layar kaca.

Dari semua harapan yang Emima tumbuhkan, impian yang coba dia wujudkan, serta doa-doa yang terus dia langitkan. Hanya perlu satu kalimat untuk menghancurkan semuanya. Satu kalimat itu meluncur dari satu-satunya orang yang dia harapkan akan memberinya senyuman paling lebar, tawa paling keras hingga otot-otot wajahnya pegal, dan air matanya tanpa sadar menitik saking harunya.

Kata-kata menyakitkan laksana hunjaman pedang berkarat yang mengenai ulu hatinya itu berasal dari Annelise. []

Lihat selengkapnya