Friday Night Saturday Morning

Dion Rahman
Chapter #2

1

BAGIAN mana yang menurutmu menyebalkan saat mendapati jalanan tol Cikampek lengang, udara segar menerpa kulit, lalu semburat kuning kejinggaan di langit yang memukau disertai kabut dingin yang menyisakan titik-titik embun?

Dalam keadaan normal, Emima akan menyukai semua itu. Bahkan, dia selalu menyempatkan diri untuk bangun pada dini hari, setidaknya sekali dalam seminggu. Dia akan bergergas ke dapur untuk menyeduh cokelat panas, kemudian membawanya ke beranda rumah di lantai kedua. Selama beberapa menit dia akan duduk di sana untuk menikmati suasana dengan selimut tipis yang membungkus tubuhnya. Sesekali dia membawa kamera poket, memotret lukisan langit sepertiga malam yang indah. Sisanya, semua itu dia nikmati dalam hening.

Namun saat ini, Emima malah tidak terlalu peduli dengan semua hal yang pernah disukainya tersebut. Alih-alih, dia ingin menyingkirkan tetesan embun pada kaca mobil yang menghalangi jarak pandangnya. Weeper di hadapannya terus bergerak, tetapi masih saja terlihat buram. Sesaat kemudian dia merutuki diri sendiri begitu menyadari pandangannya yang kabur berkat genangan air di matanya. Sementara suara seperti isakan yang dikiranya berasal dari acara radio yang disetelnya itu ternyata meluncur dari bibirnya.

“Dalam tiga kilo meter, Anda akan bertemu dengan Rest Area—” Suara perempuan dalam aplikasi GPS di ponselnya menyeruak. Bersamaan dengan itu, terdengar dering penanda daya baterai ponselnya hampir habis, sementara kabar menyedihkan atas kondisi ponselnya tersebut adalah Emima tidak membawa serta charger-nya.

Umpatan-umpatan akan kebodohannya sudah berada di ujung lidah, tetapi tidak sampai dia lesatkan. Rasanya, ingin sekali dia memukuli setir di tangannya sampai patah, atau sampai kedua tangannya kebas, atau mungkin berdarah-darah, atau apa pun yang akan membuat perasaannya lega. Tetapi, memangnya, apa yang sudah dilakukan benda mati itu kepadanya? Tidak sama sekali. Yang ada sekarang, dia ingin memukuli dirinya sendiri sambil berteriak sekencang-kencangnya sebagai wujud kekesalannya pada Annelise yang bodoh. Sebuah tindakan ekspresif yang sangat wajar, seandainya Emima bisa benar-benar membenci adiknya tersebut.

Memukuli pipi agak tembam Annelise yang selalu memperlihatkan lesung pipitnya saat tersenyum. Satu hal kecil yang dalam keadaan seburuk apa pun, selalu berhasil menularinya, menebarkan energi positif yang seakan-akan selalu mengikuti gadis itu ke mana pun—sekaligus membuat Emima iri karena dia tidak punya senyum seperti itu. Menjambak rambut panjang kecokelatannya yang tidak butuh waktu lama untuk membuatnya bergelombang di ujungnya karena setelah kering, rambut gadis itu akan membentuk liukan alami yang indah. Kemudian memakinya dengan perkataan paling kotor sedunia. Makian paling sampah yang dikumpulkan dalam berbagai bahasa yang dia ketahui, atau dalam bahasa yang tidak dia ketahui sekalipun.

Setidaknya, itu akan sedikit membuat perasaan Emima lega.

“Gue cinta sama Damar, Em.” Semudah itu Annelise mengatakannya, seringan kapas yang diterbangkan angin di musim gugur.

Harapan pada sepasang mata Annelise terlihat seperti seorang balita yang mengiba dibelikan permen kepada sang ibu. Sementara satu hal yang tidak gadis itu sadari, bahwa kata-katanya ibarat petir yang menyambar Emima di tengah siang bolong. Seperti badai yang membawanya berputar-putar pada arus kengerian tiada henti.

“Gue rasa alasan itu udah lebih dari cukup, Em, bagi gue dan dia untuk menjalani hidup bersama-sama.”

Dan sudah cukup pula jadi alasan untuk membuat Emima berang.

“Satu hal yang harus lo tahu, Em, kami saling mencintai,” timpal Damar, seakan-akan pernyataan keduanya adalah sekumpulan lebah yang membentuk koloni kukuh yang kemudian menyerang kesadaran Emima tanpa ampun. “Gue tanya sama elo, Em, dan gue harap lo bisa menjawabnya dengan perasaan lo yang paling jujur. Apa yang salah dari semua ini? Apa yang salah dari dua orang saling mencintai yang siap menerima konsekuensi atas apa yang sudah diperbuatnya?”

Apa yang salah dari semua itu, katanya? Jelas keduanya salah. Annelise yang bodoh jelas salah, karena dengan mudahnya terbius oleh pesona Damar—yang Emima sendiri tak bisa memungkiri kenyataan tersebut. Si keparat Damar juga salah, karena dari ratusan cewek yang mungkin saja bisa digebetnya, dipilih sebagai pacar, atau ditidurinya sesuka hati tanpa harus repot meminta pertanggungjawaban, kenapa dia memilih Annelise?

Omong kosong bernama cinta yang mereka agung-agungkan itu juga rasa-rasanya salah, karena seandainya cinta yang mereka dewakan itu tulus, maka mereka tidak akan berani melangkah sejauh itu. Pada kenyataannya, mereka telah menodai pemaknaan cinta, dan dengan enteng menjadikannya kambing hitam. Berikutnya, rasa bersalah menyerang Emima bertubi-tubi.

Sesungguhnya, dirinyalah yang salah karena telah mengenalkan sahabat berengseknya itu dengan adiknya yang naif. Dua orang yang sangat disayanginya, yang sekarang berbalik arah ingin dibencinya setengah mati.

Emima mengangkat tangannya dari setir, melihat telapaknya yang masih memerah dan bergetar. Dia tidak bisa membayangkan sekeras apa tangannya malam tadi menampar wajah Damar, tetapi betapa sahabatnya itu tidak tahu sesakit apa luka yang berhasil mereka torehkan di hatinya saat ini. Luka yang membawa serta kekecewaan yang begitu mendalam.

Getar ponsel mengalihkan pandangan Emima, disusul dering monoton yang menampilkan nama berikut foto Annelise di layarnya. Tak lama berselang, getarannya berhenti. Deringnya pun tak lagi terdengar. Layarnya meredup, lalu mati. Perasaan Emima sekarang seperti ponselnya.

***

SEBELUM kejadian kemarin, sore yang telah menjadikannya sosok kakak bengis sekaligus sahabat yang kasar, sore yang nyaris mengubah banyak hal yang telah direncanakannya, Emima punya bayangan indah soal masa depan Annelise.

Melihat foto kegiatan adiknya selama menghabiskan malam prom bersama teman-temannya lewat postingan Instagram. Mendapati gadis itu tersenyum sambil menitikkan air mata saat Emima menjemputnya di lobi sekolah setelah acara yang tak terlupakan itu berakhir, sambil mendengar pengakuan bahwa tiga tahun yang telah dilaluinya sangat berkesan. Dan, mungkin, kalau Annelise menyinggung soal orangtuanya yang tidak bisa menemaninya tahap demi tahap menuju kedewasaan, Emima akan memeluknya dan berkata bahwa Ayah dan Bunda akan selalu bangga di surga sana.

Lihat selengkapnya