Friday Night Saturday Morning

Dion Rahman
Chapter #3

2

DUA puluh menit berlalu dan belum terlihat tanda-tanda cowok itu kembali.

Emima menggenggam ponselnya yang masih dalam keadaan mati, sesekali melirik kubikel di sampingnya untuk memastikan barang-barang mahal milik cowok itu masih berada di tempatnya. Lebih tepatnya, memastikan apakah seseorang yang sedang mencoba menghubungi cowok itu lewat panggilan telepon masih bersemangat atau akhirnya sudah menyerah.

Sejak kepergian cowok itu, iPhone di sampingnya terus bergetar dan Emima tidak tahu harus berbuat apa. Begitu getarannya berhenti dan layarnya meredup, Emima kembali fokus menatap ponsel miliknya yang dia genggam erat-erat, seperti janji yang pernah dia ucapkan kepada kedua orangtuanya, janji yang sekarang sedang—atau mungkin sudah—diingkarinya. Dia lalu membayangkan betapa geramnya si penelepon cowok itu karena panggilannya tak juga dijawab.

Dalam hati Emima kemudian bertanya-tanya, apakah Annelise akan segeram itu juga kepadanya, karena dia tidak lantas menerima panggilan teleponnya?

Gagasan tersebut buru-buru dienyahkan dari benaknya. Tidak boleh ada sedikit pun celah untuk dia mengasihani Annelise atas apa yang sudah diperbuatnya. Jika itu sampai terjadi, itu artinya dia mau menerima perbuatan adiknya, memaafkan, dan semua impian yang sudah dibangunnya berantakan. Semua tanggung jawab yang sudah diembankan kedua orangtuanya kepadanya akan berakhir tanpa menghasilkan apa-apa, selain kekecewaan tiada akhir. Keputusan yang akan berubah menjadi mimpi buruk yang terus menghantuinya sampai dia mati. Untuk itu, Emima menggenggam erat ponselnya dengan kedua tangan. Lebih banyak kemungkinan tetap membiarkannya mati untuk waktu yang lama demi mencegah hal yang tidak diinginkannya terjadi.

Namun belum apa-apa, kemungkinan buruk itu sudah menghantui. Menjebaknya pada pusaran hitam yang menggiring ingatannya pada Sabtu sore yang cerah. Pada tanda-tanda yang terlihat sangat gamblang, tapi berkat ketidakpekaannya membuat semua itu dianggap tidak berarti apa-apa. Seperti daun-daun kering yang berjatuhan saat tertiup angin, bagi Emima, seperti itulah kerja kehidupan.

***

SORE ITU mereka sedang berpiknik di taman kota, di waktu liburan semester Annelise.

Emima sedang membuka perbelakan dalam wadah tupperware, menghidangkannya ke atas permukaan tikar berpola kotak-kotak cokelat, seperti sesuatu yang sering dilakukan keluarga kecil mereka dulu. Ayah berada di sisi lainnya, sedang menikmati semilir angin bersama sebatang rokok yang terselip di jemarinya. Rokok yang kerap kali menjadi biang kerok pertengkaran kecilnya dengan Bunda. Lalu, Emima dan Annelise membawa sekotak pakan untuk ditabur ke tanah yang akan diserbu puluhan merpati, sementara Bunda membereskan perbekalan. Dengan mengajak Damar ke dalam lingkaran kecil mereka saat itu, Emima ingin membangun kembali kenangan bersama kedua orangtuanya, berharap bahwa tanpa kehadiran Ayah dan Bunda saat ini, dia dan adiknya akan selalu berusaha bahagia.

“Bareng Annelise, gue kayak punya adek cewek yang nggak sempat gue miliki, Em.” Damar pernah berkata begitu saat dia meminta kotak pakan kepada Emima.

Sebelumnya, Damar pernah bercerita bahwa dulu ibunya sempat mengandung bayi perempuan yang diidam-idamkan oleh orangtua serta satu kakak laki-lakinya. Namun, sebuah musibah membuat impiannya tak terkabul. Ibunya terjatuh di kamar mandi, mengalami pendarahan hebat dan bayinya meninggal dalam kandungan.

“Lo mau mencoba jadi kakak cowok yang bertanggung jawab buat dia?” Saat mengatakan itu, Emima tidak berharap kalau suatu hari di masa depan, dia akan menikah dengan sahabatnya itu—eww, terdengar sangat menggelikan. Yah, seakan-akan tidak ada cowok lain di dunia ini untuk dia nikahi. Atau berpikir hal yang tidak-tidak mengenai persahabatan mereka.

 “Titah Yang Mulia akan hamba laksanakan dengan patuh.” Damar mengepalkan tangan, lalu mendekapkannya pada dada.

“Apaan sih lo, Dam. Geli banget gue, sumpah!” Emima hanya tersenyum tanpa prasangka apa pun. Setelah itu, dia memberikan kotak pakan tersebut kepada Damar yang langsung loncat berdiri dan menyusul Annelise dengan begitu semangat.

Di sela-sela kegiatan menyiapkan camilan di atas tikar, Emima mengamati tingkah adik serta sahabatnya yang sangat akrab. Keduanya sedang melempari burung-burung dengan pakan yang dikerubuti seketika. Lalu, keduanya tertawa oleh lelucon masing-masing. Tidak hanya itu, Damar juga kerap menjaili Annelise, mengacak-acak rambutnya yang indah, menjawil hidung mancungnya, atau mencubit pipi tembamnya dengan kedua tangan, sehingga membuat Annelise memberengut, dan dalam keadaan seburuk itu pun, adiknya terlihat sangat cantik. Dia seperti boneka porselen yang indah tetapi rapuh—itulah alasan kenapa Emima sangat menjaganya seakan-akan adiknya akan retak meskipun hanya lewat sentuhan kecil. Setelah itu, Annelise akan membalas perbuatan Damar dan cowok itu memilih melarikan diri, membuat mereka saling kejar-kejaran seperti sepasang kucing dan tikus.

Kakak mana yang tidak ikut bahagia melihat pemandangan tersebut?

Saat itu, Emima sama sekali tidak berpikir macam-macam. Alih-alih, dia merasa menjadi kakak paling bahagia saat melihat adiknya berteman akrab dengan sahabatnya. Dan semua prasangka baik itu menggiringnya pada kenyataan sebaliknya. Kenyataan yang ingin dia kubur dalam-dalam, atau kalau bisa, ingin dia lewatkan begitu saja. Menganggapnya mimpi buruk yang akan lenyap ketika dia terbangun.

  Namun, saat terbangun dari mimpi buruk yang terasa seperti nyata tersebut, dia harus menghadapi kenyataan yang lebih parah. Sore itu … Annelise mengetuk pintu kamarnya dengan wajah kuyu, meminta berkumpul bertiga di ruang keluarga bersama Damar. Tanpa tedeng aling-aling, Annelise menyebut kalau dirinya mengalami keterlambatan fase bulanan dan di sampingnya ada Damar dengan wajah pucat. Prasangka baik apa lagi yang harus Emima harapkan dari pengakuan tersebut?

  Detik itu, Emima tahu kalau di luar langit sangat cerah. Bahkan, dia merasakan selusup angin yang berembus lewat celah jendela, lalu melewati ke telinganya. Seketika itu dia membayangkan pemandangan yang indah; berada di ketinggian dengan pemandangan serbahijau; atau hamparan air laut yang jernih dipayungi semburat kuning kejinggaan di langit. Ramalan cuaca sore itu dikabarkan baik-baik saja seharusnya, langit akan cerah dan sedikit berawan. Tetapi sambaran petir tiba-tiba mengenai dirinya dengan telak lewat pengakuan Annelise.

***

KENYATAAN bahwa saat ini dia sedang berada di sebuah rest area yang masih tertutupi kabut, tengah menunggui barang-barang milik orang asing, merenggut kesadarannya.

Emima tahu kalau tubuhnya sudah terasa sangat lelah setelah menyetir semalaman dan hanya berhenti untuk mengisi bensin. Namun pikirannya yang sudah tersita pada satu hal mengenai adiknya terasa lebih melelahkan dari tubuhnya. Dia bahkan sudah merasa sangat cape hanya dengan membayangkan dia tidur barang sejenak di dalam mobil. Sementara itu, sekarang dia dititipi cowok asing untuk menjaga barang berharganya, yang membuat Emima harus mengecek per sekian detik hanya untuk memastikan benda-benda itu tidak raib.

Selama ini dia sudah lalai menjaga adiknya, lalu apa lagi yang bisa diharapkan orang lain dari dirinya?

  Mulutnya menguap, membuat tangannya refleks menutupinya dengan gerakan cepat seakan tidak ingin orang lain melihatnya dalam keadaan sekacau itu. Pada saat dia mengalihkan pandangan, dia mendapati cowok itu. Tengah berjalan dengan gerakan tenang di koridor, memasuki area parkir dan stan bersama dua minuman dalam gelas kertas yang mengepulkan uap ke udara.

Lihat selengkapnya