Friday Night Saturday Morning

Dion Rahman
Chapter #4

3

KEBODOHAN kedua yang dilakukan Emima pagi ini adalah lupa meminta pramusaji untuk tidak menambahkan bawang goreng pada supnya. Jadinya, setelah sarapannya tersaji di atas meja, dia hanya memandanginya tanpa minat. Ragu-ragu, antara ingin segera melahap karena perutnya yang belum diisi sejak kemarin terus keroncongan, tetapi tidak benar-benar ingin melakukannya gara-gara aromanya yang menyebalkan.

Kernyitan di kening Emima semakin kentara saat mendapati irisan tipis kecokelatan mengambang di antara kuahnya menyebar bersama genangan minyak yang sudah pasti menguarkan aroma tak sedap. Memesan kembali menu yang sama adalah kekonyolan yang berlipat ganda. Maka, untuk menghemat pengeluaran selama perjalanan tanpa rencana ini, setelah berdoa, dia mengambil sendok dan garpu. Dimulailah dia mengambil irisan bawang goreng dan daun bawang yang mengambang, memindahkannya pada piring yang menjadi alas mangkuk.

“Berharap bisa dapetin irisan daging sapi di sup ayamnya?” celetuk Sabda dengan mulut penuh.

Selain aroma bawang goreng yang membuatnya tidak tahan, tercium pula bau menyengat bawang mentah dalam acar pada menu sarapan cowok itu. Aroma yang tidak kalah membuatnya mual, menguar dari sate kambing dalam balutan bumbu kacang yang begitu dinikmati teman sarapannya tersebut. Emima bingung, kenapa dia bisa terjebak sarapan bersama dengan manusia pemakan segala di hadapannya ini?

“Nah, sekarang siapa yang kedengaran sinis?” Emima menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari kesibukannya memilah bawang goreng yang jelas-jelas butuh ketelatenan tingkat tinggi.

“Temen sekelas gue di kampus nggak makan bagian ayam selain dadanya. Jadi kalau nggak ada dada, dia lebih milih makan nasi doang sama sambelnya. Konyol, tapi beneran terjadi sama temen gue.” Cowok itu menyendok acar, lalu menggantung sendoknya di udara. “Kadang gue nggak ngerti sih. Dari sekian banyak makanan di dunia ini, kenapa gue bisa sampai menyukai semuanya.”

Satu-satunya hal yang Emima yakini mengenai cowok ini, selain memiliki keramahan di atas rata-rata orang asing setelah meminjamkannya charger, mentraktir cokelat panas, dan mengajaknya sarapan bersama, adalah pengakuannya barusan yang terdengar jujur.

“Semacam … karunia yang patut disyukuri, mungkin? Karena bisa saja lima tahun yang akan datang, saat lo tersesat di tengah gurun di Afrika, lo bisa berbagi rumput di atas pohon bersama jerapah.” Emima sama sekali tidak berharap lawan bicaranya terhibur atas kalimatnya barusan. Tetapi dia mendapati satu lekukan kecil di pipi sebelah kanan cowok itu, yang semakin kentara saat bibirnya tertarik ke atas.

“Selain bawang dan cewek jutek yang nggak minjemin lo charger tadi, apa lagi yang nggak lo sukai, Em?”

“Semua buah-buahan, kecuali jeruk,” jawab Emima tanpa ragu. “Dosen yang jarang masuk tapi kerjaannya tukang mukul rata nilai tanpa benar-benar mengetahui kemampuan mahasiswanya. Dan ... berbincang dengan orang asing tanpa kepentingan apa pun.”

“Waw,” respons Sabda dengan mata sedikit memelotot dan bibir mencebik. “Jadi, kira-kira, apa yang sedang kita lakukan sekarang, Emima? Bercengkerama dengan teman lama? Atau curhat dengan kakek kesepian yang muterin lagu-lagu Nat King Cole di sebelah rumah?”

“Gue tahu.” Emima buru-buru menanggapi sambil mengetuk-ketukkan sendok berisi bawang gorengnya pada piring, sedikit kesal karena rasanya dia sedang melakukan pekerjaan paling sia-sia. “Ini bukan yang pertama gue melakukan sesuatu yang nggak gue sukai.”

“Gue tahu,” respons Sabda menirukan gaya menjawab Emima barusan.

“Ha?” Kali ini, Emima menghentikan upaya membuang bawang yang tampak sia-sia hanya untuk menatap lawan bicaranya. Keningnya membentuk kernyitan kecil rapat.

“Heem,” dengan mulut penuh Sabda menanggapi, “karena yang pertama adalah takwa kepada Tuhan yang maha esa sementara yang kedua adalah cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.”

Kalau saja Emima sedang mengunyah supnya, sudah pasti dia akan tersedak dan memerlukan minum supaya makanannya tidak dimuntahkan kembali. Tapi karena mulutnya sedang kosong, mau tak mau malah sudut bibirnya yang terangkat. Hanya sedikit.

“Lumayan, Sab. Nggak ada kerupuk, jokes krenyes lo pun jadi.”

Kenyataannya, tidak ada lelucon yang akan benar-benar lucu di mata seseorang yang tengah dirundung keputusasaan. Cahaya matahari tidak akan berarti apa-apa saat berhadapan dengan awan hitam yang siap menjatuhkan butiran hujan.

Namun, Sabda tertawa. Seperti lelucon yang baru saja dilontarkannya, tawanya pun terdengar renyah. Seperti tanpa beban. Tawa yang Emima rindukan ada pada dirinya.

“Jadi apa yang pertama, Em?”

Emima tampak ragu untuk melanjutkan. “Bepergian sendirian…?”

Kini Sabda menghentikan suapannya, seakan baru menyadari bahwa inilah punchline dari semua kekonyolan yang sedang dihadapinya. Sepasang mata bulat sayunya menatap Emima dengan intens. Tatapan yang cukup sulit bagi Emima untuk menelaah maknanya. Apakah sebuah ketakjuban, atau barangkali hanya keheranan yang sebentar lagi akan diluapkan dalam bentuk cemooh atas pengakuan konyolnya barusan.

Congratulation, Emima. Itu memang yang pertama buat lo, tapi bisa jadi bukan satu-satunya bagi orang lain.”

Lihat selengkapnya