"Saka nggak mau ke Paris, Pa. Saka bukan seperti Kak Andrea yang udah lulus kuliah. Saka masih kuliah, Pa. Kalau Saka ke Paris gimana dengan kuliah Saka? Hukum Perancis nggak sama dengan hukum Indonesia." Saka mencoba menjelaskan alasannya menolak ikut serta ke Paris. Mereka tengah duduk di ruang keluarga saat itu dengan acara televisi yang menayangkan lagi lagi berita pembunuhan paling spektakuler yang melibatkan aparat kepolisian.
"Kamu bisa ambil jurusan lain yang ada di universitas yang ada di Paris. Design interior, desain busana seperti kakak kamu atau yang lainnya." Papa berkata sambil mematikan acara televisi, "ayolah, Saka. Papa cemas kamu memilih fakultas ini. Papa nggak mau anak gadis Papa kenapa-kenapa karena bekerja di bidang ini!" Papa memekik keras sambil berdiri dari duduknya. Jelas tak ingin dibantah lagi. Tak mau tinggal diam, Saka juga melompat dari duduknya dan segera bergelayut manja di lengan sang papa.
"Papa ... Saka bakal baik-baik saja. Kejahatan ada dimana saja, Pa. Peluang kita menjadi korban sama, jika kita membiarkan kejahatan terus merajalela.Papa taukan hal itu yang buat Saka mau jadi abdi hukum ... Memastikan semua orang bisa merasa aman jika tidak melanggar hukum."
"Teori. Lagi-lagi teori. Ya, Tuhan kau begitu naif dan itu membuat Papa semakin cemas." Papa mencengkram lengan Saka dengan sedikit keras. "Ikut Papa ke Paris. Papa janji kau bisa minta apa saja atau oke, kalau kamu tetap ingin di sini .... Pindah universitas ..."
"Pa?! Aku sudah semester lima. Bahkan pertengahan tahun depan aku yakin akan lulus .."
"Ganti fakultas."
"Papa malah makin aneh." Saka mendumel kesal sambil bergerak hendak berlalu. Namun tangan papa menahannya.
"Jangan pikir Papa nggak tidak tahu kalau kamu memilih fakultas hukum juga karena Arjun," Papa berkata sewot. "Semua ini hanya tentang Arjun ... juga alasan kamu mau tetap di sini bukan karena mau kamu mau serius belajar, tapi karena kamu nggak bisa ninggalin Arjun-kan?"
"Nggak, Pa. Saka memang mau jadi jaksa."
"Jangan bohong sama Papa. Sejak kapan kamu mau jadi jaksa?"
"Saka nggak bohong! Terserah Papa kalau mau melihat ini dengan kaca mata Papa sendiri. Mungkin Papa benar ... karena sejak awal yang punya cita-cita menjadi jaksa Arjun, tapi Papa lupa kalau ada yang telah mengetahui cita-citanya dari kecil dan ada yang mengetahui cita-cita setelah sedikit dewasa, Pa dan itu aku. Sekarang Arjun hanya motivasi buat Saka. Semua orang perlu motivasi untuk belajar, Pa. Nggak ada yang salah kalau Arjun jadi motivasi Saka belajar- toh yang penting Saka buktikan kalau nilai-nilai Saka bagus." Saka berkata kesal.
"Kamu udah pandai ngeless," papa berujar kesal.
"Terserah pendapat Papa mau bilang Saka ngeles atau apa ... Pokoknya Saka nggak mau ikut Mama dan Papa juga Kak Andrea ke Paris. Saka mau di Indonesia aja!" Saka memilih berlari pergi dari ruang keluarga itu diantara suara panggilan papa yang keras karena merasa tingkah Saka tidak sopan. Namun Saka tidak berniat kembali.
Tiba di lantai atas Saka membanting keras pintu kamarnya.
"Astagaaa. Anak itu, ya ..." Kini giliran mama yang mengelus dada karena terkejut. Andrea segera membelai punggung mamanya. Sejenak sang mama menghela nafas panjang lalu beralih menatap sang suami yang masih nampak berdiri di depan televisi layar datar- tempat dimana Saka meninggalkan papanya tadi.
Perlahan mama berdiri dan menghampiri papa. "Saka kini membangkangku."
"Dia akan dua puluh satu tahun sebentar lagi. Tentu saja dia mulai memiliki pemikiran sendiri. Kebenarannya sendiri."
"Seharusnya aku tidak pernah mengizinkannya memasuki fakultas yang sama dengan yang Arjun memasuki." Papa Saka memilih melangkah meninggalkan ruang keluarga menuju ke lantai atas. Sang mama menepuk paha putri sulungnya.
"Udah malam. Tidur sana. Soal Saka kita omongin besok-besok lagi. Mana tahu dia berubah pikiran?"
"Kapan sih Saka merubah keinginannya, Ma," Andrea berujar sambil bangkit dari duduknya. "Sifatnya sama kerasnya sama Papa apalagi kalau soal Arjun." Mama terkekeh. Keduanya berjalan menaiki anak tangga sambil bergandengan tangan- masih membicarakan Saka. "Arjun selalu bakal jadi nomor satu di hati Saka. Sedari dulu. Mama sadarkan itu? Andrea ingat waktu itu Saka mengalami kecelakaan bareng Arjun karena Arjun membawa Saka main sepeda di jalan raya. Dia sampai pingsan, ehhh, bangunannya bukan nanyain Mama, Papa atau aku atau nangis karena sakit, tapi nanya keadaan Arjun. Parah nggak itu, Ma? Masih kecil aja dia udah bucin sama Arjun." Tawa sang mama terlihat.
"Mama ingat. Tapi Mama nggak keberatan. Abis Arjun anak baik kok. Kamu ingat nggak gimana Arjun melarikan diri dari kamar rawatnya buat ketemu Saka waktu itu padahal dia juga luka-kan?" Andrea mendengus mengingat kenangan itu- saat Arjun membuka pintu kamar rawat Saka dengan keras dan nyelonong masuk sambil berlari menuju ke ranjang Saka dengan tongkat tempat menggantung kantongan cairan infus hanya buat nanyain: kamu nggak apa-apa kan, Saka? Udah tahu kecelakaan- ya kenapa-kenapa dong. Andrea juga ingat bagaimana Arjun memperhatikan lengan kanan Saka yang dibalut kain kasa karena luka dan bagaimana kemudian Arjun menjadi tangan kanan Saka sementara kakinya sendiri masih terluka.
"Mama yakin dia nggak bakal pernah nyakitin Saka." Mama berkata bijak lalu merangkul pundak putri sulungnya."Terus kalau kamu kapan bucin nya? Udah ada yang buat kamu bucin belum?"
"Sorry, ya. Andrea sih nggak sudi jadi bodoh karena cinta." Tawa mama terlihat lagi.
"Itu artinya kamu belum pernah benar-benar jatuh cinta tau?" Mama mencubit lembut pipi Andrea dengan penuh kasih. "Kamu nggak bisa mengatur apa yang akan terjadi saat cinta menyapa kamu."
"Lama-lama Mama udah kayak Saka." Mama tertawa. "Emang Mama pernah bucin sama siapa?"
"Ya, sama siapa lagi kalau bukan sama Papa kamu?" Tawa Andrea terdengar menyambut ucapan sang mama. "Sebelum Papa kamu menyadari dia sama bucinnya ke Mama." Andrea terbahak membuat sang mama menepuk punggung anak gadisnya itu dengan keras. "Isshhh nggak percayaan. Sudah sana tidur." Sang mama mendorong tubuh Andrea tepat ketika mereka tiba di depan kamar utama milik mama dan papa.
"Ceiilehh yang mau bucin-bucinan," Andrea berseru dengan suara berbisik menggoda sang mama yang kemudian menyambar:
"Kacian yang jomblo mau bucin-bucinan sama siapa?"
"Mama, nyebelin deh!" Tawa sang mama terlihat sebelum menutup pintu kamar meninggalkan anak sulungnya yang keki sendiri.