Arjun menunduk menekuri lantai ruang tamu rumah Saka. Di hadapannya ada mama, papa Saka dan si ceriwis Kak Andrea. Arjun ditanya-tanya banyak hal, udah kayak penjahat di hadapan interogasi polisi.
"Awas lo kalau berani ngapa-ngapain adek gue dan nggak mau bertanggung jawab."
"Ngapa-ngapain apa sih, Kak Dre. Nggak bakal deh. Arjun bakal jagain Saka, nggak mungkin ngerusak Saka. Tapi ..., Om." Arjun beralih menatap papa Saka, "menurut Arjun, Saka lebih baik tetap tinggal disini. Hukum Perancis dan Indonesia nggak sama, Om. Kalau Saka ke Paris semua kuliah yang udah dia jalani disini kan bakal sia-sia."
"Kuliah Saka itu tetap bakal sia-sia. Kamu tahu kenapa?" Papa Saka menatap Arjun tajam. Entah kenapa Arjun merasa papa Saka membencinya. "Karena Saka sebenarnya tidak tertarik pada fakultas hukum. Dia masuk ke fakultas hukum karena kamu."
"Ehhhh, kok Om bisa mikir gitu? Nggak kok, Om. Serius. Nilai-nilai Saka bagus kok, kalau debat juga dia keren. Om jangan melecehkan pengetahuan Saka seperti ini. Saka pasti kecewa mendengar ucapan Om."
"Kecewa? Kamu nggak tahu apa itu ..." Mama Saka menepuk paha suaminya itu, mencoba menenangkan amarah sang suami. Papa Saka jelas akan ngamuk pada Arjun yang tak tahu apa-apa.
"Papa, sabar. Biar Mama aja yang bicara." Mama Saka mengalihkan pandangannya dari sang suami ke Arjun. "Om sama Tante cuma nggak bisa yakin meninggalkan Saka sendirian di Indonesia. Kamu lihatkan gimana Saka? Gimana makannya? Masak air aja dia bisa kelupaan sampai tempat air gosong."
"Kalau cuma gitu, Arjun bisa jamin Saka enggak akan mati kelaparan kok, Tan. Arjun juga jamin rumah ini nggak bakal ludes karena Saka lupa matiin kompor saat masak. Izinin Saka tetap tinggal di sini, ya, Om-Tan. Cuma dengan cara ini Saka mau balik ke rumah."
Papa Saka menghela nafas berat. Raut kesal jelas tergambar di wajahnya. "Bilang sama dia nggak usah pulang kalau gitu."
"Pa!" Selanjutnya pekikan suara mama Saka terdengar. Antara kaget dan nggak rela mendengar ucapan papa Saka. Lalu pertengkaran ... Lebih tepatnya amarah mama Saka terdengar pada papa Saka, memprotes kediktatoran pria itu. Arjun jelas merasa tak nyaman. Saat mama Saka memilih naik ke lantai dua diikuti Kak Andrea, Arjun buru-buru minta diri pada papa Saka.
"Arjun." Panggilan itu menghentikan langkah kaki Atjun yang baru saja tiba di teras rumah. Arjun membalikkan badannya menatap wajah Om Andre. "Apa arti putri saya buat kamu?"
"Maksud Om: Saka?" Papa Saka mengangguk.
"Definisikan arti Saka buat kamu dengan satu kata saja agar saya yakin meninggalkannya di sini bersama kamu."
Arti Saka buat aku, Arjun membatin:
Sahabat.
Teman bicara paling menyenangkan.
Tangan kanan.
Friend in crime.
Setengah jiwaku.
"Segalanya."
Papa Saka menatap mata Arjun lekat-lekat seakan mencari sesuatu di mata hitam itu.
***
"Saka! Saka!" Arjun menggedor pintu kamar tidurnya dengan malas. Kalau bukan karena Om Andreas memintanya tak usah bercerita pada Saka kalau sebenarnya seluruh keluarga mereka sudah tahu dimana Saka berada- Arjun jelas akan mengatakan hal itu pada Saka, juga memaksa sahabatnya itu pulang ke rumahnya saat ini juga. Namun yang ingin dia ceritakan adalah setelah pernyataan kak Andrea, dia akhirnya bicara dari hati ke hati dengan Om Andreas dan Tante Nita dan tebak apa jawaban Om Andres pada keinginan Saka untuk tetap stay di Indonesia? Akhirnya Om Andres mengizinkannya!
Arjun rasanya ingin secepatnya mengabarkan itu. Namun sialnya setelah diketuk-ketuk seribu kali dan akhirnya setelah Arjun membuka paksa kamar tidurnya setelah menghubungi sang mama untuk mencari tahu dimana keberadaan kunci cadangan, dia menemukan kamar tidurnya kosong melompong. Pantas saja Saka tidak menyahutinya sedari tadi. Tapi kemana gadis itu? Ini Sabtu pagi. Kuliah libur dan terlalu pagi untuk hang out ke mall. Apa Saka ke dokter? Apa lukanya kemarin begitu sakit? Tapi dokter mana yang buka sepagi ini? UGD? Jantung Arjun berdegup kencang seketika. Seberapa parah luka Saka sebenarnya?
Tapi tunggu dulu ... Arjun membuka lemari pakaiannya mencari sesuatu. Lalu melihat ke penjuru kamar. Ransel, buku-buku kuliah dan pakaian-pakaian Saka nggak ada.
Dering ponsel Arjun berbunyi mengagetkan cowok itu. "Saka," panggilnya tanpa melirik nama sang penelepon. Ucapannya segera disambut tawa ngakak dari teman-temannya.
"Apa suara gue kedengarannya kayak suara cewek? Bangun loh, Jun. Mentang-mentang nggak ada kuliah molor terus. Udah pagi masih ngigau Saka aja lo."
"Makanya jangan jual mahal."
"Jual murah juga Saka bakal terima lo apa adanya."
"Berengsek. Gue nggak molor. Dari tadi gue udah bangun. Saka hilang tau."
"Hilang? Bercanda kamu. Dia udah gede tau. Paling juga pergi entah kemana. Mungkin ke Indomaret depan perumahan lo buat beli bedak atau pembalut. Nanti juga pulang sendiri. Sekarang lo udah dimana? Kita udah nungguin lo buat latihan basket. Lo kan yang kemarin nantangin mereka?"
"Emang Vano udah sembuh? Suruh dia sembuh dulu."
"Dia udah ada disini. Siap main kok."
"Dengan wajah seperti itu? Dengan kaki seperti itu? Cinta boleh bikin lo buta, tapi jangan bego. Gue dorong dikit dia bakal jatuh pingsan. Sok-sokan mau main basket. Kalau dia merasa dirinya sehebat Superman, suruh aja dia menghadapi anak Fakultas kedokteran sendiri. Gue harus nyari Saka."
"Dan gue peringatkan lo semua kalau Saka sampai luka parah gue habisin lo semua!"
"Eh, luka parah gimana? Bukannya dokter kemarin bilang ..."
Arjun tak perduli. Dia memotong ucapan Alfandy. "Berapa kali gue bilang kalau ada masalah kayak gini, lo jangan buat Saka sampai tahu ..."
"Ehh, bukan gue yang kabarin Saka. Si Devano tuh."