"Gue sama Andra udah tanya semua teman kampus yang ke kampus pagi ini. Nggak ada yang lihat dia di kampus." Devano membetikan informasi usai menemui Arjun di rumahnya yang diangguki oleh Andra. Arjun jelas sedikit kaget menemukan ke empat sahabatnya berkumpul di halaman rumahnya saat dia kembali dari berkeliling kompleks perumahan mereka dan tidak menemukan Saka.
"Gue jelas ngerasa bersalah kalau Saka sampai hilang, Jun .. kalau bukan karena masalah cinta gue dan Iren, Saka juga nggak bakal kena tendang kemarin. Mungkin Saka lagi ngambek dan sembunyi. Gue iklas deh kalau hari ini kita singkirin latihan, yang penting bisa menemukan Saka." Vano mengeluarkan uneg-uneg.
"Gue udah cari dia di warung bakso Pak Tarno. Nggak ada juga, Jun. Warung bakso Pak Tarno aja belum buka." Arjun rasanya ingin menempeleng kepala Alfandy. Ngapain anak itu nyari Saka ke sana di jam warung bakso tutup? Jelas nggak ada lah, tapi Saka memang nggak punya tempat tongkrongan lain selain tempat yang mereka tongkrongin; rumahnya, lapbas kampus dan lapbas perumahan ... Arjun berlari memasuki mobilnya.
"Arjun! Mau kemana lo?!" Arjun tidak memperdulikan teriakan sahabat-sahabatnya.
***
Saka melompat senang lalu menari-nari di lapangan basket itu saat sukses menyarangkan kembali lemparan jarak jauh. Empat orang anak laki-laki berusia dua belas tahunan yang menjadi lawannya menatap putus asa.
"Ahh, nggak asyik ahh. Udahan aja yuk."
"Eeh .., kok udahan? Babak ke dua belum selesai loh." Saka mengejar.
"Abis yang masukin bola pasti terus Kak Saka, Kakakkan yang lebih besar dari kita-kita. Itu namanya nggak imbang."
"Apanya yang nggak imbang? Kakak izinin kalian empat orang melawan Kakak yang cuma sendiri."
"Tetap aja nggak imbang."
"Kurang imbang apa itu?!" Saka nggak terima, tapi keempat anak itu tetap keukeh pada pendiriannya. Keempat anak laki-laki itu menaiki sepeda mereka dan siap mengkayuhnya meninggalkan Saka di lapangan basket perumahan.
"Aryo! Jeremy! Arjun!" Saka memekik kesal sambil mengejar bocah-bocah itu, dia meraih bagian belakang sepeda Arjun- bocah lelaki yang bernama sama dengan sahabatnya itu. "Gue nggak akan lepaskan lo! Lo wajib main sampai selesai sama gue! Lo yang nantangin gue-kan?" Saka mendumel pada bocah ganteng itu. Namun teman-teman Arjun yang tadinya telah keluar lapangan basket kembali memutar sepeda mereka masuk kembali ke dalam lapangan dan malah menolong bocah itu dengan melemparkan bola basket yang ada di tangan Aryo pada Saka. Saka melepaskan pegangannya pada bagian belakang sepeda Arjun kecil saat bola basket membentur punggungnya yang kemarin terkena tendangan. "Aduh, sakit tau." Ringis Saka dan menyadari sepeda keempat bocah itu telah melesat meninggalkannya.
"Tunggu gue sepuluh tahun lagi, Kak Saka!" Bocah laki-laki bernama Arjun itu berteriak, menolehkan wajahnya dengan mata mengerling nakal pada Saka. Salah satu tangannya terangkat ke atas seakan mengatakan bye pada Saka. Saka mendelik tajam menatap Arjun yang tertawa terbahak-bahak bersama teman -temannya sambil mengkayuh sepeda mereka. "Gue bakal jadi teman main basket Kakak atau bahkan jadi teman hidup kakak!"
"Arjun sinting! Gue sandera bola basket lo! Gak akan gue balikin sampai kiamat!"
"Aku aduin Kak Saka sama bokap aku baru tau rasa!"
"Gue nggak takut! Kalau lo berani ngaduin gue, nanti Bokap lo- gue goda! Kalau gue jadi ibu tiri lo abis lo!"
Teriakan Saka disambut keempat bocah laki-laki itu dengan nyanyian lagu ibu tiri yang memilukan itu walaupun mereka menyanyikannya dengan tertawa keras. Saka yang tengah berlari mengejar keempat bocah nakal itu menghentikan langkahnya lalu melemparkan salah satu sepatu canvas yang dia kenakan, sialnya hanya mengenai ruang kosong.
Dari seberang jalan, Alder yang berdiri di balik dinding kaca laundry terkekeh. Sedari tadi dia mengamati permainan antara Saka dan keempat bocah laki-laki itu dan kini dia tidak bisa menahan tawanya saat melihat tingkah Saka sampai kemudian mata keduanya tanpa sengaja bertemu. Saka menatapnya dengan lototan sementara dia memilih tetap tertawa. Sebentar saja sebenarnya karena kemudian Alder berniat keluar dari gedung laundry yang ada di depan lapangan basket untuk menemui Saka. Mungkin dia bisa menyenangkan gadis itu sedikit dengan menawarkan diri untuk bermain basket bersama gadis itu. Sepengamatannya permainan gadis itu sangat baik.
Namun langkahnya yang baru saja bergerak terhenti ketika sebuah mobil Jeep Wrangler berhenti di jalan depan lapangan basket dan seorang pria turun dari mobil itu lalu membungkukkan badan meraih sepatu Saka yang berada di badan jalan perumahan lalu melangkah mendekati gadis itu dan memakaikannya ke kaki gadis itu yang telah berlari menghampiri lelaki itu. Sebentar kemudian Alder melihat gadis itu telah bercakap-cakap dengan cowok itu. Kekasih gadis itu, pikir Alder. Pria yang kemarin tampak sangat mencemaskannya saat terkena tendangan tak disengaja oleh kakinya.
"Ngapain kamu disini? Kenapa kamu nggak ngomong kalau mau pergi kemana? Kamu nggak tahu kalau aku nyariin kamu dari tadi?!" Arjun memberondong Saka dengan pertanyaan. "Kamu bikin aku cemas tau!"
Saka terkekeh kecil lalu membekap pipi Arjun dengan telapak tangannya, "Cup. Cup. Ada yang takut kehilangan, ya? Makanya halalin dong."
"Emang sekarang kamu mengandung minyak babi gitu?" Saka memanyunkan bibirnya. Arjun selalu punya cara buat ngeles. "Tapi memang sih gue sedikit takut kehilangan lo, Ka." Arjun terlihat serius membuat bibir manyun Saka berubah tersenyum. Mereka tengah berjalan kembali ke lapbas. Ransel Saka tertinggal di tepi lapbas. "Gue belum bisa beli mobil baru dan Wrangler gue butuh lo kalau lagi ngadat."
"Ihhh, Arjun jahat! Lo cuma anggap gue tukang dorong Wrangler lo?! Gue sumpahin Wrangler lo mogok nggak bisa jalan selamanya!" Saka bergerak hendak menghajar Arjun. Namun cowok itu dengan sigap menghindarkan diri.
"Nanti kalau gue udah bisa beli mobil bagus yang baru, gue izinin lo menghilang ke ujung dunia!" Arjun tertawa sambil berlari. Cowok itu bahkan nggak sadar bagaimana Saka keki sendiri. Tadinya dia sudah begitu berharap ucapan Arjun adalah pernyataan hatinya yang sebenarnya. Bahwa Arjun telah menyadari perasaannya sendiri. Nyatanya ..? Salahkah dia jika berharap?
Saka meraih bola basket yang masih terkapar di sisi lapangan basket yang dia lintasi lalu melemparnya ke arah Arjun. Berharap bola itu berhasil mengenai kepala cowok itu. Sekali saja dia mau otak cowok itu hag, mana tahu kemudian ada namanya di sana. Bola merah bata itu bukannya mengenai kepala Arjun, cowok itu malah berhasil menangkapnya dengan mudah. Lalu menjulurkan lidahnya mengejek Saka sebelum kemudian berputar-putar mendribble bola.
"Mau main basket?!" Arjun berteriak tanpa menghentikan gerakannya mendribble bola merah bata itu, "siapa yang lebih dahulu mencapai angka dua puluh dia pemenangnya dan yang kalah wajib jadi assiten yang menang selama satu bulan. Jadi wajib angkatin ranselku, kalau aku mau minum wajib ambilin air minum aku-kalau kita berada di tempat yang sama maksudnya dan kalau dipanggil asisten wajib datang. Nggak boleh bilang nggak. Gimana?"
"Nggak mau."
"Takut?" Ejek Arjun sambil terkekeh. Cowok itu bahkan sudah memasukkan satu lemparan jarak jauh. Lalu berlari ke bawah ring untuk mengambil bola merah bata yang terkapar di lantai.
"Aku nggak takut!"