"Lo ngerti enggak privasi? Gue butuh privasi, Saka."
"Gue-kan cuma bantuin lo jawab telp ..."
"Gue nggak mintakan?" Sungut Arjun kesal,
"Perlu, ya, lo semarah itu? Biasanya juga nggak ada masalahkan kalau gue angkat telpon lo? Lo kenapa?" Saka menatap Arjun tak mengerti.
"Lo yang selalu berpikir nggak ada masalah. Seribu kali gue bilang ketuk kamar gue kalau lo mau masuk. pernah lo dengar? Nggak," Arjun menjawab sendiri pertanyaan yang dia ajukan. "jadi kapan lo ngerti apa yang lo lakukan itu masalah buat gue?" Arjun memutar tubuhnya membelakangi Saka dengan kesal, menyugar rambutnya tepat saat ponselnya yang telah dimatikan berbunyi lagi. "Bisa nggak lo ngasih gue privasi?" Tatapnya pada Saka.
Saka menatap sekilas ponsel yang ada di genggaman tangan Arjun. Menelan ludahnya yang terasa nyangkut di tenggorokannya. Ucapan Arjun terasa pedas seakan Arjun ingin membuat jarak padanya. "Maksud lo ... Gue ngeganggu gitu?" Suara Saka terdengar kecewa. Namun dia mencoba tetap tersenyum. "Oke. Sorry kalau gue ngeganggu lo. Ya, udah gue balik ke rumah gue." Saka melangkah ke pintu kamar Arjun saat cowok itu tengah menerima telpon dari seseorang. Sejujurnya Saka ingin tahu, tapi yakin Arjun akan makin kesal- dia menyimpan saja keingin tahunannya dan sejujurnya Saka berharap Arjun memanggilnya, menahan langkahnya. Namun sekali lagi dia harus menelan kekecewaan. Arjun tidak memanggilya apalagi menahan langkahnya. Cowok itu sibuk bertelepon di belakang tubuhnya. Entah dengan siapa. Arjun belum bicara apa pun selain mengucapkan selamat malam tadi di awal pembicaraannya dengan seseorang di seberang sana.
Langkah Saka yang telah tiba di depan pintu kamar Arjun terhenti. Dia tadi tak sengaja mendengar kecemasan Tante Kamila soal apakah dia dan Arjun tengah bertengkar ... Saka tidak mau menambah pikiran tante Kamila. Berubah pikiran, Saka membalikkan tubuh kembali. Bola matanya dan Arjun bersua saat dia membalikkan tubuhnya. Pandangan mata itu masih tampak kesal.
"Gue rasa gue lebih baik lewat sana." Saka menunjuk pda pintu balkon yang tertutup rapat. Kemudian di detik selanjutnya Saka mendengar, Arjun bicara- menyebut namanya, tapi jelas bukan menjawab pertanyaannya. Namun pertanyaan seseorang di seberang sana. Sejenak perasaan Saka dihinggapi rasa melow.
Gadis itu memilih pergi dari pintu balkon kamar Arjun. Memanjat pohon mangga yang berada diantara kedua rumah mereka. Beberapa saat kemudian, Arjun juga melangkah menuju ke balkon rumahnya yang terbuka, memandangi semua itu. Menatap Saka yang telah tiba di depan pintu balkon kamar tidurnya sendiri dan kemudian berdiri tercenung sebelum menendang pintu balkon kamarnya karena sepertinya dia telah mengunci pintu itu dari dalam rumah sebelum main ke rumah Arjun dan melupakan hal itu. Kini dia tidak bisa masuk dari balkon kamarnya.
Ceroboh, batin Arjun berceletuk. Itu memang sifat Saka. Arjun masih mengawasi Saka menuruni dahan-dahan pohon mangga dan turun ke halaman samping rumahnya yang nampak gelap. Saka jelas lupa menyalakan lampu teras samping rumahnya. Kecerobohan kedua yang dilakukannya gadis itu. Arjun menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dan brukk ...
Suara itu keras. Sepertinya Saka salah memilih pijakan kaki dan menjejakkan kaki pada dahan pohon mangga yang terlalu kecil dan tak sanggup menyangga beban tubuhnya alhasil akibatnya dahan itu patah. Sejenak suara pekikan Saka terdengar walau tidak keras. Arjun nyaris meloncati balkon saat itu, tapi entah kenapa kemudian menahan dirinya. Arjun meletakkan kembali ponsel di telinganya.
"Arjun, kamu dengar akukan?"
"Mmmm. Tapi udahan dulu ya, Heni. Mama manggil aku. Kita bicara besok lagi." Arjun menutup ponselnya bahkan sebelum Suheni menjawab.
***
Saka meringis saat menggerakkan kakinya yang terluka untuk naik ke sofa. Dia hanya membersihkan lukanya karena ternyata tidak ada obat luka sedikitpun di kotak P3K yang ada di rumahnya. Hanya alkohol, sepertinya mama dan Bik Narsih lupa menyediakan hal itu. Uhh, kalau begini dia rindu keluarganya. Kalau papa ada, papanya akan menyetir menuju apotek terdekat dan mamanya akan sibuk mengomel namun sambil membersihkan lukanya dengan perintah pada Kak Andrea atau Bik Narsih untuk mengambil baskom berisi air dan washlap buat membersihkan lukanya. Dia bakal duduk bagai ratu di sofa.
Saka menghidupkan televisi saat pikirannya mulai berpikir biasanya kalau dia terluka Arjun akan berlari menghampirinya dan menjadi orang nomor satu yang akan menggendongnya. Selalu begitu. Namun sudah sepuluh menit berlalu, Arjun tak juga datang. Menenangkan diri, Saka mengatakan pada dirinya bahwa Arjun tidak tahu dia terluka. Arjun sedang menelepon seseorang saat dia tinggalkan. Arjun pasti merasa dia telah tiba di kamarnya dan tertidur lelap.
Tapi sebagian hatinya menampik pikiran itu, seharusnya Arjun mendengarnya terjatuh. Dia jatuh cukup keras dan dia bisa melihat siluet Arjun berdiri tidak jauh dari pintu balkon. Arjun seharusnya melihat bagaimana dia terjatuh dari pohon mereka. Namun karena kesal, Arjun jelas tidak mau menolongnya. Saka menyeka air matanya yang entah bagaimana mengalir pelan namun pasti membasahi pipinya. Berkali-kali dia mencoba menghapus air mata itu, namun cairan bening itu tetap jatuh. Saka benci menjadi cengeng karena Arjun.
Mencoba menepis bayangan Arjun, Saka memainkan remote control televisi dan membiarkan acara di televisi berpindah dengan cepat dari stasiun televisi satu ke stasiun televisi lainnya untuk menepis kesedihan di hatinya. Namun makin dia mencoba melupakan kesedihan ini, Saka malah makin hanyut pada arus deras kesedihan. Apa dia yang terlalu sensitif jika mengenai Arjun? Entahlah. Namun dia bisa merasakan Arjun berubah. Entah karena apa. Arjun yang tidak pernah marah padanya bahkan marah besar hanya karena dia masuk ke dalam kamar cowok itu tanpa mengetuk pintu.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu itu membuat Saka menoleh lalu bergegas menuju ke pintu. Entah bagaimana dia yakin seratus persen orang yang ada di balik pintu itu adalah Arjun. Saka membuka pintu. Mata keduanya saling bertatap. Saka tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya.