"Ka, lo bilang Arjun bakal ikut latihan kali ini. Nyatanya?" Vano bertanya saat para sahabatnya telah menyelesaikan latihan akhir menjelang pertandingan Sabtu besok. Mereka tengah duduk ngaso di pinggir lapangan basket.
"Nggak tau gue." Saka yang juga duduk di pinggir lapangan menatap layar ponselnya. "Dia cuma nge-read pesan gue. Lo semua lihatkan tingkah Arjun aneh." Kelima cowok yang ada itu saling melirik satu sama lain. Dan tanpa sengaja Saka melihat lirikan itu. "Fandy, lo tau sesuatu?"
"Nggak. Lo sama Arjunkan dekat banget. Kalau lo nggak tau gimana gue bisa tau?"
"Tul tuh, Ka. Nggak mungkin kita tahu sementara lo nggak tau," Devan mendukung ucapan Alfandy.
"Andra, lo ..."
"Apa lagi gue, Ka. Gue nggak tau dan gue nggak mungkin juga bohongin lo. Lo kan yang kasih gue makan sekarang."
"Awas lo kalau bohong. Gue anggap utang semua yang gua kasih."
"Isshhh lo nggak tulus."
"Nggak. Yang tulus tuh penyanyi gajah. Kalau gue Saka." Tawa yang lain terdengar.
"Garing lo, Ka."
"Udah deh ngomongin Arjun mulu. Sekarang yuk, cabut. Kita ke road star kafe. Gue mau kasih lo semua pudding biar besok menang."
"Ngomong dong dari tadi. Lama banget gue nunggunya," Andra menyambut antusias.
"Lo sih mikirnya makan mulu," pekikan yang lain terdengar.
"Lo semua juga nungguin ini, cuma pura-pura jual mahal. Gue tau. Nggak usah banyak cincong." Keempat sahabat itu langsung tertawa terbahak-bahak dan merangkul Andra.
"Jangan vulgar lo. Dia masih sohib kita, kalau sadar untung kalau nggak sadar kita anggap amal."
"Gue sadar kok," Vano menyambut. "Thank for all." Mereka segera menaiki kendaraan masing-masing tanpa mengganti pakaian. Saka duduk di kursi tengah, tepat di samping Irene, kekasih Vano yang diam-diam kabur dari pengawasan sang kakak untuk menemui pujaan hatinya. Sementara Vano duduk di sisi supir pribadinya. Ya, semenjak kejadian tawuran yang mengakibatkan kakinya terluka dan hal itu ketahuan ortunya, Vano terpaksa menggunakan supir pribadi.
***
Mereka tidak jadi ke road star kafe karena kafe itu ternyata tutup dan dalam masa renovasi. Ketujuhnya memilih menuju ke Potret Kafe yang posisinya tak terlalu jauh dari tempat itu. Suasana kafe Potret nampak ramai sore ini. Kafe yang aman buat kantong mahasiswa itu memang jadi tempat teraman buat para mahasiswa untuk kongkow-kongkow. Dari kejauhan Andra melangkah memasuki kafe itu tepat ketika Vano, Irene, Saka turun dari mobil dan yang lain turun dari kenderaan mereka.
"Woi, Andra! Lo mau kemana?"
"Ke kafe dong. Kalau jalan lo kayak keong gitu kita bisa nggak kebagian tempat tau."
"Gue nggak mau ajak lo semua ke sana."
"Tapi ..."
"Jadi ....?" Seluruh mata menatap bangunan lain sekitaran lima belas meteran dari kafe. Potret tidak hanya murah buat kantong mahasiswa, kalau yang punya uang lebih bahkan bisa tetap nyaman dan bergengsi dengan adanya restoran Potret. Menu dan desain tempatnya jelas berbeda dengan kafe Potret yang lebih sederhana.
"Gila lo, my twins. Nggak kaleng-kaleng deh tawaran lo!" Pekikan Devan terdengar girang. Panggilan Devan pada Vano- my twins bukan karena mereka benar-benar kembar, tapi karena nama mereka sama Devano tanpa embel-embel apa pun lagi, jadi para sahabat mereka membagi nama itu: satu hanya dipanggil Vano satu lagi Devan. Cowok itu merangkul pundak Vano dengan girang.
"Oke, cupcus. Serbu deh, ya?!" Suara Alfandy terdengar menyambut. Itu bukan pertanyaan, tapi ajakan. Keempat cowok itu segera berlari ke restoran Potret. Walau kemudian setelah tinggal beberapa langkah menghentikan laju lari mereka dan berlagak berwibawa saat beberapa saptam menatap mereka.
Tawa Saka terdengar keras sebelum dia dan Irene melangkah melewati sahabat-sahabatnya itu. "Pura-pura jaga image lo semua?" Godanya tanpa menghentikan langkah. Seorang satpam segera membukakan pintu kaca restoran itu buat Saka dan Irene juga keempat lelaki itu yang segera berlari saling mendahului menyusul Saka dan Irene.
Bruk.
Dorong-dorongan ketiga lelaki itu membuat sebuah meja restoran tergeser. Saka dan Irene menoleh menatap ketiganya.
"Pelan-pelan dong," Irene berceletuk. Dia nyaris saja tersungkur jatuh kalau tangan Saka tidak menangkapnya.
"Parah, ya, lo semua." Vano terdengar protes. Pria itu melangkah menghampiri kekasihnya dan menanyakan keadaan Irene. "Jangan kampungan gitu deh lo semua, kayak nggak pernah masuk resto aja."
"Ehhh, gila lo. Bilang kita kampungan. Lo yang nggak nyadar kondisi. Lo liat ke depan sana. Anak fakultas kedokteran tuh di sana semua."
Vano segera tersadar dan menatap sekeliling mereka. Beberapa meja nampak penuh oleh para mahasiswa yang berpakaian putih hitam dan mata Vano segera menatap sesosok yang sengaja mereka hindari. Kakak Irene: Adler.