"Dari mana aja? Kok baru balik malam-malam begini? Suara itu mengagetkan Saka yang baru saja menjejakkan kakinya di halaman rumahnya yang gelap gulita.
Apa-apa ini? Buat apa Arjun duduk dalam kegelapan ini untuk menungguinya? Mereka tidak sedekat itu hingga cowok itu perlu menunggui dan mencemaskannya. Bukannya Arjun mengatakan itu beberapa jam lalu? Saka membuka satu earphone dari telinganya dan memasang lampu senter dari layar ponselnya tanpa mengacuhkan omongan Arjun.
"Lo tau Jakarta bukan kota yang aman buat perempuan apalagi lo pergi sendirian gini."
Dia memang kabur usai kejadian di toilet itu. Dia bahkan tidak memberitahu Vano dan yang lainnya yang pastinya menunggunya dengan cemas di restoran.
"Aku rasa kita enggak sedekat itu hingga aku harus melapor kemana aku pergi sama kamu." Arjun tercenung. Saka membalas ucapannya. "Sekarang gue mau masuk ke rumah gue sendiri. Bisa minggir?" Saka menyorot sekitarannya dengan senter ponselnya. Namun sengaja berpura-pura tak melihat keberadaan Arjun. Itu lebih mudah buatnya. Memandang wajah cowok itu membuat dia terluka dua kali. Karena cintanya yang kandas dan karena ucapan Arjun yang pedas melebihi kepedasan cabe habanero yang dinobatkan sebagai cabe terpedas di dunia itu.
"Saka, gue tahu ..."
Saka tak memperdulikan ucapan Arjun, dia memilih memasang earphone berisi lagu-lagu untuk menyumbat telinganya kembali. Niatnya membuka dan menutup pintu dengan cepat tanpa mengucapkan apa pun lagi. Tanpa memberi Arjun kesempatan menyelesaikan ucapannya. Namun niat itu kandas saat cowok itu tiba-tiba mencengkram lengannya, menarik earphone di telinganya.
"Apa-apa sih lo?!"
"Lo ngerasa nggak lo, itu nggak adil sama gue. Lo marah karena gue pacaran sama Suheni, karena gue lebih dahulu dapat pacar dari lo-kan? Pa ..."
Saka terkekeh kasar. "Lo pikir lo ganteng banget, ya? Lo pikir gue benar-benar suka sama lo sebagai lelaki?" Saka berujar sinis. "Dan lo pikir karena lo memilih Suheni gue bertindak seperti ini sama lo? Lo pikir gue sepicik itu?" Pekik Saka sambil merampas kembali earphone-nya yang berada ditangan Arjun. Seberapa pun cintanya dia pada Arjun, dia juga punya harga diri. Berpura-pura tak pernah mencintai cowok itu adalah cara terbaik untuk mengkamuflase lukanya seakan tidak pernah ada.
"Jadi kenapa lo marah sama gue?" Dada Saka terasa sesak, Atjun bahkan tidak menyadari sedikit pun luka yang dia torehkan. Saka tahu mencintai Arjun-lalu memupuk mimpi bersama cowok itu adalah kesalahannya sendiri, tapi menyadari Arjun menganggap remeh perasaannya itu lebih dari menyakitkan. Arjun bisa mencari kalimat lain untuk menolaknya:
Kamu terlalu sempurna buat aku, Saka - hanya kalimat singkat itu walau itu jelas omong kosong- soalnya siapa sih yang tak ingin mendapatkan kekasih yang sempurna, tapi kalimat itu mungkin akan menyembuhkan luka hatinya atau kalimat apa saja selain yang Arjun ucapkan. Namun seperti tadi sore di Potret restoran, Arjun kini juga memilih kalimat yang menyadarkannya bahwa dia bukan siapa-siapa buat cowok itu.
Tumpukan air mata menyusup naik hingga rongga hidung Saka dan dia tak yakin bisa menahan tangisnya jika sedikit lagi lebih lama berdiri di hadapan cowok ini.
"Pikir aja sendiri." Saka membuka dan menutup pintu dengan cepat tanpa mengucapkan apa pun lagi. Tanpa memberi Arjun kesempatan membela diri lagi.
"Saka!" Arjun menggedor pintu itu. Saka tak peduli. Satu persatu kakinya melangkah menaiki anak tangga. Dia memasang kembali earphone berisi lagu untuk menyumbat telinganya. Menetralisir perasaan melow yang mendekapnya hingga ia nyaris sesak. "Saka gue mau bicara!"
Dug! Dug! Dug! Arjun menggedor pintu rumah Saka dengan kencang.
"Gue minta maaf! Oke, apa pun itu gue salah!"
Dug! Dug!
"Berisik woi! Ini udah malam!" Pekikan Pak Hose, seorang tetangga beradu dengan suara teriakan Arjun. Pria tua berusia sebaya papa Arjun itu keluar dari dalam rumahnya dengan hanya mengenakan sarung dan singlet. Arjun tahu pria yang bekerja di salah satu BUMN negara itu tetkenal galak. Tidak satu dua anak yang habis dia marahi jika membuat kebisingan di sekitar rumahnya, tapi kali ini Arjun bahkan tidak perduli.
"Saka!"
"Woi, gue laporin lo ke polisi karena bikin keributan di tengah malam gini baru tau rasa lo!"
"Oh ... ya udah laporin aja, Om! Kalau per ..."
"Arjun!" Pekikan papanya terdengar membuat Atjun tak melanjutkan ucapannya. "Masuk, ini udah malam. Saka juga pasti udah tidur." Arjun melangkah menuruti perintah papanya walau dengan wajah dongkol. Ketika masuk ke dalam rumah, dia masih sempat mendengar suara papanya yang minta maaf kepada Pak Hose. Arjun tak memperdulikan hal itu, dia masih berusaha bicara dengan Saka. Kali ini dia beralih ke panggilan suara pada hape Saka. Namun sialnya sahabatnya itu bahkan tidak mengangkat panggilannya. Tak putus asa Arjun terus menelpon Saka walaupun gadis itu mengacuhkannya.
Di kamarnya Saka membaringkan tubuhnya tanpa mengganti pakaiannya, menarik earphone dari telinganya saat suara panggilan di telepon selulernya bergema lagi. Dari Arjun. Ini sudah panggilan kelima. Saka melepas colokan earphone dari ponselnya lalu memasukkan ponselnya ke dalam laci meja yang berada di sisi pembaringannya kemudian bergulung menutupi seluruh dirinya di bawah selimut. Sedari tadi dia telah menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi kali ini dia membiarkan beningan itu membobol tanggulnya dan merembes membanjiri pipinya.
***
Banner besar terlihat menggantung di lapangan outdoor basket universitas.