"Lo tau gue punya cerita lucu dan maluin gitu waktu praktek di rumah sakit, ada cowok waktu itu ke rumah sakit sementara kamu disuruh nyari pasien, waktu dia nyapa aku ... Aku minta dia buka kemejanya. Dia mandangi aku dong... tapi akunya nggak nyadar, aku maksa dia buka baju terus dia nanya kok dia harus buka baju? Gue bilang jadi kamu itu sakit apa? Rupanya bukan dia yang sakit tapi dia nolongin orang kecelakaan, pasiennya bahkan udah dikerubungi senior di brankar IGD. Hahahaha ..." Suheni terpingkal-pingkal. Lalu melanjutkan kisah lucunya lagi, "Lebih lucunya waktu praktek anatomi. Lo tau Dokter Gufron nyuruh kita bawain katak dan membedah tuh katak. Harusnya kan kataknya disuntik bius dulu, tapi namanya mahasiswa junior ... Hahahaha," Suheni tertawa ngakak. Arjun juga tertawa sambil melangkah menuju pintu kaca balkon kamarnya.
Berdiri di depan pintu balkon, Arjun menatap rumah Saka dari balik pintu balkon rumahnya. Rumah itu masih gelap dan sepi. Melirik ke jam dinding di kamarnya, dia menyadari jarum jam telah menunjukkan angka sembilan malam. Namun Saka jelas belum pulang. Kemana sih Saka?
"Jadi kamu nggak takut katak juga?" Arjun menyeletuk. Jadi kini Saka bukan satu-satunya gadis yang dia kenal yang tidak takut dan jijik pada katak.
"Aku?" Suheni ingat bagaimana dia melompat dan berteriak histeris saat hendak menangkap makhluk jelek yang hidup di dua dunia itu. Lab jelas jadi berantakan karenanya dan dia nyaris gagal pelajaran itu andai Alder nggak membantunya. Menangkap katak yang lolos dari tangannya dan mengajarinya menangkap makhluk lentur bak karet itu dan mengajarinya semua hal yang harus dia pelajari dalam praktek anatomi dari membius katak, memposisikan tubuh katak dan kemudian menggunakan scalpel dan gunting bedah dalam pembedahan katak. Bantuan Alder membuatnya mendapat nilai A pada ujian pengulangan praktek. Dari saat itulah mereka menjadi akrab. "Takut. Jijik juga."
Uhhh, ternyata predikat itu masih menjadi miliki Saka, Arjun terkekeh.
"Kamu ngetawain aku? Ihhh ... Jahat."
Saka tidak takut apa pun. Satu-satunya yang Saka takut hanya kegelapan, ketakutan yang sama seperti yang dia alami. Walau kini ketakutan itu tak lagi mencengkeramnya karena dia harus berani menghadapi kegelapan agar dia bisa menjaga Saka di saat gadis itu ada dalam kegelapan.
Arjun ingat saat itu mereka masih SD kelas enam. Ketika itu papa dan mama Saka serta Kak Andrea belum juga tiba di rumah, hujan deras banget malam itu. Mereka terjebak banjir, mama dan papanya juga. Dia dan Saka berada di rumah mereka masing-masing ketika tiba-tiba lampu mati dan Saka berteriak kencang sekali. Dia berlari sekencang mungkin ke pintu depan rumah Saka yang ternyata terkunci dengan membawa sebuah senter di tangannya. Menggedor pintu itu dengan begitu cemas. Namun Saka tak juga membukakan pintu buatnya. Lari kembali ke dalam rumahnya, dia memilih masuk ke dalam kamar dan memanjat pohon mangga untuk menggapai balkon rumah Saka. Untungnya saat itu dia tidak jauh tergelincir dan untungnya balkon Saka tak terkunci. Namun sialnya senter yang dia pegang jatuh dan terbanting ke tanah. Kepalang tanggung, dalam kegelapan Arjun ingat dia mengambil keputusan untuk masuk ke rumah Saka dari pintu itu. Suasana begitu gelap. Sejenak langkahnya terhenti. Membeku di depan pintu balkon kamar tidur Saka. Ketakutan menghantamnya.
Kegelapan yang membawanya kembali pada masa yang dia takuti. Terkurung di ruang sempit dan pengap bersama anak-anak lain di atas usianya, dengan makanan dan minuman minim. Setiap malam di kegelapan, dia akan mendengar suara langkah kaki seorang pria dewasa. Lalu saat cahaya muncul di ambang pintu dan seorang pria dewasa berdiri di sana, satu persatu anak-anak itu dibawa untuk kemudian menghilang dan tak kembali.
Ada seorang anak laki-laki berusia lima atau enam tahun lebih tua darinya yang saat itu baru berusia empat tahun. Anak laki-laki itu menjaganya bagai seorang saudara laki-laki. Mario, dia berjanji akan selalu ingat nama yang tersemat di seragam putih merah itu walaupun kini sepertinya dia berdusta untuk itu. Mario. Seberapa pun kerasnya ia mencoba mengingat anak laki-laki itu, dia seakan hanya bertemu dengan kabut gelap yang tak tertembus dalam benaknya.
Bayang Arjun kembali kepada Saka. Dia memanggil nama Saka dan menemukan Saka yang meringkuk sambil menangis di sudut tangga. Kaki Saka terluka, dia terjatuh saat ingin menuruni anak tangga setelah mendengar panggilannya dari pintu depan. Saka memeluknya dengan linangan air mata. Saat itu dia, berjanji akan menjaga Saka. Dia berjanji tak akan takut apa pun termasuk kegelapan.
"Arjun, kok diam? Kok kamu nggak ngejawab aku?"
"Ngg ... Apa?"
"Aku tanya kamu: kalau kamu apa yang kamu takuti?"
"Kehilangan orang-orang yang aku sayangi."
"Kehilangan aku maksudnya?" Suheni terkekeh kecil. "Kamu romantis abis ihh. Beneran kamu belum pernah pacaran? Atau jangan-jangan mantan kamu dimana-mana. Nggak yakin aku cowok seperti kamu nggak pernah pacaran."
"Beneran. Kamu pacar pertama aku." Arjun menatap cahaya di depan rumah Saka. Dua mobil berhenti di sana.
Kekehan Suheni terdengar lagi. Gadis itu benar-benar bahagia. "Arjun, lo emang bukan yang pertama buat gue, tapi gue janji gue akan perjuangin cinta kita. Gue nggak akan pernah ninggalin elo."
***
"Parah lo, Ka. Kalau bawa mobil pastiin dulu dong semua oke. Jangan rajanya mogok lo bawa ke kampus. Dah hujan, malam, ngadat lagi ..."
"Mobil Bokap gue nggak pernah ngadat. Baru ngangkut lo aja tiba-tiba ngadat. Keberatan dosa lo," kesal Saka pada Devano yang mengatai mobil papanya raja mogok. Rajanya ngadat itu mobil Arjun, bukan mobil papanya.
Sejenak Saka melirik pada pakaian cowok itu yang memang terlihat basah kuyup sama seperti Alfandy. Keduanya menebeng di mobil Saka saat mereka akan melakukan makan bareng untuk merayakan kemenangan tim basket fakultas hukum di pertandingan siang tadi. Namun mereka bukan hanya berakhir makan, mereka memilih bermain di arena permainan di mall dan terakhir nonton film di bioskop sebelum pulang kemalaman dalam kondisi hujan di luar sana. Lalu dipertengahan jalan usai mengantar Zain, mobilnya mogok. Alfandy mencoba memperbaiki mesin, tapi gagal. Mereka mencoba menstater dan membantu menghidupkan mobil dengan dorongan hingga untuk meringankan beban isi mobil, Devano terpaksa ikutan mendorong mobil dan Saka memegang stir.
Akhirnya mereka harus menelpon Vano untuk membantu mereka menarik mobil Saka dengan mobil Vano. Seperti itulah mereka tiba di rumah Saka, tentunya setelah mengantar Irene ke kosannya.
"Enak aja lo bilang gue keberatan dosa."
"Rumah lo gelap banget, Ka."
"Bukain pintunya cepat, Ka. Perut gue mules, nih," Alfandy mengaduh sambil memegangi perutnya. Saka buru-buru membuka pintu dengan bantuan pencahayaan dari ponsel Vano. Pintu terbuka dan Alfandy berlari ngacir masuk.
"Tunggu gue. Jangan pulang sebelum gue selesai melapor!" Pekiknya. Itu bahasa sopan sekali dari Alfandy yang memperlakukan toilet seperti kantor polisi. Mau melapor apa coba dia sama kakus?
"Nggak ada orang di rumah. Gue tinggal sendiri sekarang." Saka mengajak teman-temannga memasuki rumahnya.