Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #29

Saksi Mata Yang Menyakitkan

"Gimana lo ketemu Suheni?" Saka memecah kesunyian yang tercipta lama banget diantara dia dan Arjun hanya karena tadi saat berberes di rumahnya sebuah accident terjadi. Benar-benar accident yang tidak dia niatkan. Accident yang membuatnya tanpa sengaja mencium pipi sahabatnya itu saat tersandung. Walaupun itu benar-benar accident. Arjun mengingatkannya bahwa mereka adalah sahabat dan lelucon seperti yang biasa dia lakukan nggak lucu sama sekali.

"Jangan kwatir, ini beneran accident. Lo juga bukan tipe gue." Saka membalas cowok itu dingin. "Bahkan kalau pun lo telanjang di depan gue nggak bakal terjadi apa-apa diantara kita." Namun cowok itu malah ngambek. Bukannya harusnya dia yang marah? Arjun bicara seenaknya tanpa memikirkan perasaannya andai dia mendengar kalimat dari bibir cowok itu, tapi kini kenapa malah cowok itu yang marah padanya? Saka benci kalau Arjun bertindak kekanak-kanakan dan egois.

Saka ingat dia mengejar Arjun ke rumah cowok itu, meminta maaf berulangkali, tapi sikap Atjun berubah dingin sedingin es di kutub Utara. Arjun bahkan tak mengajaknya naik ke mobil cowok itu agar mereka bisa berangkat kuliah bersama, papa dan mama Arjun yang meminta cowok itu menunggunya agar berangkat kuliah bersama dan dia yang kemudian duduk seenaknya di sisi Arjun tanpa mendapat jawaban Arjun.

"Kok diam? Masih marah sama gue?" Arjun tak menjawab. "Gue minta maaf, Arjun. Swear gue nggak akan lakuin itu lagi. Bahkan kalau pun gue jatuh lain kali, gue bakal lebih milih jatuh nimpuk aspal atau lantai dan tembok daripada nubruk tubuh lo yang hanya milik Suheni itu. Uhh ..." Menghela nafas panjang Saka menatap wajah Arjun kesal, "Lo mau berapa kali gue minta maaf biar lo bicara lagi? Gue minta maaf, Arjun. Gue minta maaf. gue minta maaf. Gue minta maaf. Gue minta maaf. " Saka sewot sampai ke ubun-ubun, tapi malah ingin menangis. Kenapa sih permpuan seperti itu? Marah, tapi bukannya mukul orang yang jahat padanya. Namun malah menangis. Saka benci kenyataan aneh pada diri wanita. Dia menahan tangis itu. Ini menyakitkan. Bukan karena dia harus minta maaf pada Arjun, tapi karena Saka menyadari banyak hal yang akan berubah pada hubungan mereka. Arjun tidak akan pernah menjadi Arjunnya yang dulu. Cowok yang bisa dia usilin dengan ribuan kata cinta. Kebiasaan itu terlarang baginya kini. Saka menundukkan wajahnya menyembunyikan lukanya di balik topi biru yang dia pakai lalu diam-diam mengusap air matanya.

Arjun melirik hal itu dengan ekor matanya. Tangannya mencengkram erat stir mobil lalu menghela nafas panjang. "Waktu itu gue dan Heni jumpa di jalan. Mobilnya mogok. Gue bantuin dia ..." Saka mengangkat wajahnya, tak ada air mata di pipi dan mata Saka walaupun, mata gadis itu terlihat masih merah- jelas bekas menangis.

"Bukannya kejadian itu baru beberapa Minggu lalu? Tapi kamu bilang kamu dan Suheni udah pacaran ...." Mata Saka menatapnya penuh selidik.

Sial, Arjun membatin. Saka jelas ingat ceritanya tentang membantu anak kedokteran beberapa minggu lalu. Arjun benci menemukan mata Saka yang penuh selidik dan harap. Harapan yang akan melukai gadis itu.

"Ohh, lo jelas salah sangka. Ini kisah yang berbeda, anak kedokteran yang gue tolong beberapa Minggu lalu anak kedokteran yang lain. Bukan Suheni lah."

Saka merasa cahaya yang baru saja bersinar langsung padam di depan matanya.

"Setelah pertemuan pertama itu kami ketemu lagi di rumah sakit. Dia nampak lucu ... Berdiri di pojokan padahal kan dia dokter, kayak takut gitu ngelihat pasien. Lalu seorang dokter yang dikelilingi para mahasiswa meminta agar para mahasiswa mencari pasien yang harus diobservasi. Waktu aku ajak bicara, dia langsung menarikku dan memintaku membuka kemejaku ... Hahahaha..." Arjun terkekeh sekuat-kuatnya saat mengisahkan kisah yang baru saja diceritakan Suheni padanya kemarin malam. Untungnya Suheni menceritakan kisah itu sehingga dia punya jawaban buat pertanyaan Saka saat ini. "Lalu dia melihat aku yang kebingungan dan bertanya ke aku: kamu sakit apa? Padahal waktu itu bukan aku yang sakit. Aku cuma nolongin orang di jalan yang kecelakaan. Terus akhirnya aku tahu dia anak universitas yang sama dengan kita, kami jadi akrab. Kadang telponan kalau ada waktu senggang. Biasanya sih malam-malam." Arjun tak paham bagaimana bisa dia berdusta selancar ini walaupun itu melegakannya.

'Biasanya sih malam-malam.' Ucapan Arjun barusan terngiang kembali di kepala Saka. Kayaknya itulah yang membuat dia tidak tahu Arjun sudah memiliki Suheni di hatinya.

"Suheni suka cerita banyak hal. Waktu dia praktek anatomi. Lo tau itu kan pakai katak, dia udah bayarin orang buat nyediain tuh katak, tapi waktu prakteknya dia bahkan nggak berani ambil tuh katak. Hahahaha. Aku keringat kamu saat itu. Kalau katak sih kecil buat kamu." Saka menatap wajah Arjun yang tengah tertawa. Bahagia banget sepertinya. Namun maafkan dia, Tuhan karena dia bahkan tidak bahagia melihat kebahagiaan di wajah itu.

"Tapi aku nggak akan membedah katak." Saka memprotes. Dia tak ingin sedikit pun dibandingkan dengan gadis kedokteran bernama Suheni itu.

"Ya, kamu kan bukan dokter," Arjun menjawab singkat dan dangkal.

"Bukan karena itu. Emang apa untungnya buat mereka membedah katak? Memang mereka bakal jadi dokter katak gitu yang tugasnya mengobati katak? Nggak kan? Terus buat apa menyilet tubuh katak, memplototi dan mengobok-obok tubuh bagian dalamnya? Emang setelah itu mereka bakal jahit kembali si katak dan melepaskan si katak biar bisa hidup bebas tanpa kenangan buruk? Apa karena mereka katak ... mereka nggak punya hak untuk hidup bebas tanpa rasa takut? Apa karena mereka hanya katak, mereka harus menerima takdir dianiaya ciptaan yang lebih tinggi kodratnya gitu? Benar-benar unfaedah."

Saka mengomel udah kayak anggota pencinta makhluk hidup sedunia yang posisinya setara organisasi pencinta alam dunia sekaliber Green Peace. Arjun bahkan sampai melongo dibuatnya.

"Kan anak kedokteran bukan ..."

"Cerita yang lain aja," Saka berceletuk jenuh. Arjun menatapnya sejenak sambil menghela nafas panjang. Memutar pikiran untuk menepiskan kebisuan yang mencengkram keduanya kemudian.

"Kamu tahu? Aku tahu tempat makan bakso yang enak selain tempat Pak Tarno." Mata Arjun berbinar menemukan bahan pembicaraan lain. "Kapan-kapan aku bawa kamu ke sana. Tau nggak pas ngerasain baksonya aku sampai mikir: dimana aja aku selama ini, kok bisa nggak tahu ada tempat bakso seenak ini."

Lihat selengkapnya