Saka mengepalkan tangannya erat. Dia tidak tertidur. Seharusnya dia tertidur saja tadi hingga dia tidak perlu menjadi saksi mata yang menyakitkan hati karena melihat bagaimana Suheni mencium Arjun. Namun bukan itu yang paling menyakitkan, tak mendengar keberatan sama sekali dari bibir Arjun mungkin itu yang paling memukulnya. Beda banget saat dia yang melakukan hal itu. Bahkan walaupun itu hanya sebuah accident tanpa kesengajaan, seperti beberapa hari lalu -Arjun begitu marah padanya seakan bibirnya mengandung kuman berbahaya yang mematikan dan bisa membunuh cowok itu. Dia bahkan harus minta maaf berulangkali pada cowok itu.
Ada melow yang menyusup pelan di relung-relung hati Saka. Namun sekuat tenaga dia menahan butiran air mata yang bergerak perlahan menuruni cerukan matanya lalu meluncur jatuh ke pipi. Dia tidak akan membiarkan Arjun melihatnya menangis lalu menanyakan alasan tangisnya. Semua percuma. Arjun jelas sudah tahu perasannya, mengakui kebenarannya hanya membuat Arjun dan dia makin jauh. Bukankah Arjun sudah mengatakan posisinya di hati cowok itu? Hanya teman. Just only friend nothing more.
"Saka, kita udah sampai." Suara lembut itu menusuk langsung perisai hati Saka. Rasanya sakit. Menyadari bahwa cowok yang ada di hadapannya itu tak akan pernah menjadi miliknya.
Saka tak menjawab bahkan tetap tak membuka matanya, hanya tangannya yang bergerak meraih topi di dalam tasnya saat suara Arjun dari depan sana terdengar lagi mengingatnya. Kemudian Saka memasang cepat topi itu dalam-dalam sebelum turun begitu saja tanpa kata.
"Ka, lo mau kemana?!" Saka mengacuhkan teriakan Arjun. "Saka! Woi! Lo mau kemana?! Bareng sama gue!"
"Gue mau ke toilet! Mau berak! Perut gue sakit sedari tadi! Lo mau ikut?!" Suara ketus bercampur judes dari bibir Saka keluar sebelum dia benar-benar berlalu tanpa memperdulikan pandangan mata dan tanggapan rekan mahasiswanya atas ucapannya pada Arjuna.
"Ihhh, Saka ngomong nggak pake attitude banget. Pusing gue Arjun kok malah suka sama dia."
"Mentang-mentang sahabatan sama pacar ngomongnya gitu banget." Saka menghentikan langkahnya sejenak lalu mengedarkan tatap pada teman-teman sefakultasnya yang kemudian balik menatapnya. Sama seperti hatinya, semua orang juga salah paham atas hubungannya dan Arjun. Sekarang, seperti dia yang tidak paham bagaimana menjelaskan pada semua orang bahwa dia bukanlah kekasih Arjun- bahwa mereka hanya sebatas sahabat, dia juga tidak tahu bagaimana menjelaskan pada hatinya tentang keadaan ini- bahwa Arjun bukan miliknya, bahwa mereka hanya sekedar sahabat ... Dia sudah mengajari hatinya selama lebih dari tujuh tahun ini untuk mencintai Arjun- lebih dari sekedar sahabat.
Air mata Saka nyaris jatuh, buru-buru di ia membalikan tubuhnya. Dia harus pergi dari hadapan rekan-rekannya. Langkah Saka terlihat tergesa. Dia harus tiba di kamar mandi fakultas sebelum siapa pun menyadari tangisnya.
Arjun menatap kepergian Saka lekat-lekat, hela nafasnya terlihat berat sebelum dia turun dari dalam mobilnya dengan sama tergesanya. Arjun melangkah menyusuri koridor-koridor fakultas hukum menuju ke toilet.
***
"Lo nggak apa-apa, Ka?" Saka mendongak menatap sosok yang baru saja menyapanya. Alfandy nampak berjalan menghampirinya. Sepertinya cowok itu telah menantinya cukup lama di depan toilet wanita. Ransel bahkan masih dicantolkan dipundaknya.
"Kok lo disini? Bukannya kuliah."
"Gue denger dari Intan lo sakit perut jadi gue kesini. Lagian gue juga udah telat sepuluh menit, di jam Miss Chelsea itu sama dengan absen, ya sekalian nggak usah masuk," Alfandy berujar santai. Matanya menatap Saka serius, "sakit banget, ya, Ka?" Saka menatapnya dalam diam. Menimbang haruskah dia menceritakan apa yang terjadi tadi di mobil Arjun pada Alfandy. "Perut lo sakit banget, ya, sampai lo nangis gitu." Ucapan Alfandy membuat Saka buru-buru menyeka sisa air mata di pipinya. "Kita ke rumah sakit, yuk. Gue antar."
"Nggak usah. Udah mendingan kok." Saka memilih berdusta sambil melangkah keluar dari lorong toilet, Alfandy menjejal langkahnya dan meraih ransel di pundak Saka.
"Gue bawain."
"Gue belum mau mati, Fandy. Gue masih sanggup bawain ransel gue." Saka menolak. Mereka melangkah di koridor fakultas hukum dalam diam. Bukan Arjuna yang menunggui dia di depan toilet, tapi Alfandy padahal dia jelas mengatakan alasan dia pergi ke toilet pada Arjun. Walaupun itu alasan dusta, seharusnya Arjun mengkhwatirkan dirinya. Seharusnya ...
Saka menghela nafas panjang. Dulu Arjun selalu mengkhwatirkannya ...
"Lo tunggu gue disini," Alfandy berujar sesaat setelah Saka menghempaskan tubuhnya di bangku taman fakultas menanti akhir kuliah kriminalistik.
***
Saka meletakkan ranselnya di atas meja. Suara hiruk-pikuk para mahasiswa dan mahasiswi fakultas hukum masih meramaikan suasana usai perkuliahan kriminalistik dan melanjutkan ke mata kuliah berikutnya. Mata Saka menjelajah ke seluruh penjuru ruang kuliah, dia tak menemukan Arjun.
"Saka! Woi, Saka!" Suara panggilan Imam dari ambang pintu ruang kuliah membuat Saka melangkahkan kakinya menemui cowok itu di sisi ruang kuliah.
"Apaan sih, Mam?"
"Dua bulan lagi Mapala mau camping. Lo ikutan rapat deh. Udah lama juga lo nggak ke tempat Mapala," cowok itu berujar sambil menatap Arjun yang masuk ke dalam kelas dengan tergesa tanpa melirik keberadaan Saka. Begitu juga Saka. "sibuk mulu lo sama Arjun dan basketnya."
"Nggak karena itu juga, gue aja yang lagi mager nih. Emang mau kemana nih?"
"Belum fix sih. Ada yang minta ke gunung Salak, ada yang minta ke Bromo, minta Rinjani juga ada. Makanya kita buatnya sesudah UAS biar lebih afdol."