Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #32

Accident di Halte Bis

Awan sudah pekat beberapa menit setelah kepergian Arjun, seperti pekatnya perasaan hati Saka. Namun Saka masih memilih duduk di kantin untuk setengah jam lebih sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan kantin berharap Arjun akan berubah pikiran, nyatanya dia salah, Arjun tidak kembali buatnya. Sesaat setelahnya dia mengetahui baterai ponselnya habis dan dia tidak akan bisa memesan layanan driver online sekeras apa pun dia berusaha menghidupkan kembali benda elektronik itu. Itu berarti dia harus pulang dengan bis kota hari ini. Halte bus terdekat berada dua ratus meter dari gerbang utama kampus.

Saka baru saja melangkah melewati koridor antar fakultas ketika akhirnya bulir hujan turun dari langit. Percikan air hujan membuat koridor fakultas menjadi basah, licin dan diramaikan para mahasiswa dan mahasiswi yang berteduh. Saka menghela nafas panjang saat berdiri berhimpitan bersama mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Hujan bukannya makin reda, tapi makin deras. Hari sudah cukup sore dan warna langit yang makin kelam menandakan tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti dalam waktu dekat. Saka tak mau terjebak di kampus. Dia harus keluar kampus dan menunggu kenderaan di luar sana.

Saka memilih berlari dari naungan koridor fakultas yang melindunginya, membiarkan tubuhnya basah terkena hujan saat dia berlari melintasi jalanan kampus menuju ke gerbang utama. Saka sudah basah kuyup ketika tiba di halte dekat kampus. Halte sendiri sudah sepi, hanya ada dua orang pria dengan tampang yang membuat Saka tadinya berniat untuk tak jadi menyinggahi halte. Namun karena tak melihat tempat lain untuk berteduh, dia kemudian mengeraskan hati dan menenangkan diri bahwa kedua lelaki itu hanya berpenampilan seram. Bahwa sebagai anak fakultas hukum- akhirnya nanti di lapangan dia toh akan berhubungan dengan mahluk-makhluk menyeramkan seperti itu dan praduga tak bersalah tetap harus dia pegang, dia hanya wajib waspada pada kedua pria itu. Saka berlari kecil menuju halte bis itu.

Kemeja biru yang Saka kenakan telah basah kuyup dan mencetak jelas bagian dalam tubuhnya. Untungnya dia mengenakan tank top. Saka memindahkan ransel hitam yang tadinya dia pakai di punggung ke bagian depan tubuhnya saat menyadari dua lelaki itu memandanginya sedari dia melangkah memasuki halte. Sialan banget.

"Kehujanan, Dek?" Lelaki bertindik tiga di telinga kirinya itu mendekat dan menyapa Saka. Saka hanya mengangguk sambil berharap bus kota segera tiba.

Lelaki lain dengan kalung rantai sebesar rantai kunci ganda sepeda mendekati Saka dari sisi lain. "Nggak dijemput?"

"Ini bentar lagi datang. Papa bilang agak telat karena baru saja rapat dengan Kapolda," Saka sengaja bicara seperti itu agar kedua pria ini menyurutkan niat jahat mereka padanya- jika ada, karena menarik kesimpulan bahwa papanya adalah seorang polisi, tapi nyatanya nggak.

"Bilang aja sama Papanya nggak usah jemput, kita yang antarin." Saka tak menjawab, hanya tangannya yang terkepal.

"Dingin, ya?" Si berantai sepeda bertanya.

"Nggak."

"Ngepalin tangan gitu. Pasti dingin." Kekehan si bertindik terlihat. "Kita hangatin mau, ya?" Tangan pria bertindik terasa menyinggahi punggung Saka, gadis itu menggeser tubuh menjauh. Namun sialnya di sisi lainnya pria berkalung rantai sepeda berada dan menangkap pinggang Saka.

"Lepasin tangan lo dari gue!' Saka menepiskan lengan hitam itu dengan kasar. Namun sekali lagi pria itu mengulang kelakuannya.

"Santai, Cantik. Jangan marah-marah gitu nanti kita makin demen. Hahahaha." Kekehan kedua laki-laki itu terdengar. Saka menarik tangan pria berkalung itu dari pinggangnya dan segera meminting tangan itu sebelum mendorongnya mundur hingga terjatuh. Kejadian itu tentu saja mengagetkan pria bertindik yang tidak menyangka mendapatkan lawan yang cukup harus mereka perhitungkan. Merasa harga dirinya terlukai, pria itu segera menyerbu Saka. Saka mengibaskan tas ranselnya yang dipenuhi buku ke wajah pria itu sebelum melakukan tendangan berputar untuk menjatuhkan lawannya. Rasanya nggak sia-sia mengikuti Arjun latihan taekwondo selama sebelas tahun ini.

Tepat saat itu bis kota datang dan Saka buru-buru menaiki bis itu dan meminta si supir bis segera menjalankan bis meninggalkan dua pria itu yang tengah berusaha bangkit. Saat bis berjalan keduanya terlihat mengejar bis sambil berteriak-teriak mencaci maki Saka. Saka menatap itu dari tempatnya bergelantungan.

***

Saka tiba di rumah tepat pukul delapan malam karena jalananan macet akibat hujan dan juga karena dia harus mengganti bis. Ternyata bis yang dia naiki di halte dekat kampus bukan bis ke jurusan rumahnya.

"Kemana aja? Kok telat nyampek rumah?" Suara itu terdengar saat Saka menginjakkan kaki di depan rumahnya. Siapa lagi kalau bukan Arjun. Sejujurnya Arjun tak berniat mencemaskan Saka lagi. Saka harus belajar dewasa dan mandiri tanpa dia, tapi tadi mamanya memintanya untuk mengundang Saka makan malam di rumah mereka dan dia menyadari Saka belum pulang. Lalu walaupun awalnya tak ingin mencemaskan Saka lagi, tapi akhirnya dia memilih menghubungi Saka beberapa kali. Namun ia hanya mendapatkan nada panjang yang menandakan ponsel Saka tengah tak aktif. Antara cemas dan kesal dia menanti kepulangan Saka di sini.

"Lo nggak lihat gue kehujanan. Jalanan macet." Saka melanjutkan langkah memasuki rumahnya sementara Arjun mengekor di belakangnya.

"Bukannya gue suruh lo naik taksi online?" Arjun memprotes saat menyadari tubuh Saka yang basah kuyup karena kehujanan.

Saka membalikkan tubuhnya menatap Arjun tanpa menyadari pakaiannya yang basah kuyup mencetak jelas seluruh lekuk tubuhnya bahkan bagian dalam tubuhnya. Kali ini tanpa tas ransel yang menutupi bagian depan tubuhnya karena Saka telah meletakkan tas itu seenaknya di pojokan sisi pintu masuk dan kini setelah mengeluarkan seluruh isi dalam tas, dia berjalan menuju meja depan untuk meletakkan semuanya ke atas meja.

Arjun bisa melihat seluruh tubuh Saka. Tank top Saka membayang jelas. Bagian dada yang membusung dan perut Saka yang rata. Arjun merasakan wajahnya memerah dan memanas karena pemandangan itu. Saka nampak seksi. Bayangan saat Saka berganti pakaian di jok belakang mobilnya beberapa bulan lalu menyeruak kembali di labirin otak Arjun. Nafas Arjun tersengal seakan sebuah batu menyangkuti tenggorokannya. Menyesakkan dadanya yang kini berdegup begitu kencang karena semua hal mengenai Saka yang ada di otaknya. Hendak melepaskan diri dari cengkraman rasa sesak itu, Atjun menelan ludahnya keras.

Lihat selengkapnya