Suasana kantin fakultas hukum yang awalnya nampak sepi berangsur memadat. Di pintu kantin terlihat tiga cowok ganteng yang melangkah bersamaan menuju ke dalam kantin. "Saka!" pekikan salah satu dari mereka membuat Saka yang tengah menyantap makan pagi plus makan siangnya melongok dari mejanya dan menghela nafas. Lalu melanjutkan makannya lebih cepat lagi. Lebih cepat makan akan lebih cepat selesai.
"Gimana semalam? Arjun nganterin lo pulangkan, Ka?" Suara Vano terdengar saat ketiganya tiba di meja panjang tempat Saka duduk. Andra segera memesan makan siang bagi mereka bertiga. Saka tak menggubris omongan Vano dan terus mengunyah soto Betawi yang ada di hadapannya dengan lahap. Malas menceritakan kejadian semalam.
Untungnya pagi tadi Arjun ada tugas rnenggantikan Pak Rudiart di mata kuliah Pengantar hukum Indonesia hingga dia punya alasan untuk tidak perlu berangkat kuliah bersama Arjun. Persetan lah jika kemudian gadis kedokteran itu sukses mencium Arjun dengan hot pagi tadi. Ada di sisi Arjun tidak akan membuatnya bisa merubah apa pun hanya membuat hatinya makin terluka dan kemarin malam dia sudah mengambil keputusan untuk menjauh dari Arjun dan orang-orang disekitar Arjun.
"Santai, Ka. Lo tuh lapar atau rakus sih?" celetukan ringan Andra yang baru tiba di sisi Vano membuat kedua cowok kembar dalam nama itu tertawa. Saka memutar matanya malas lalu meraih segelas jus jeruk di hadapannya, tapi gagal karena keduluanan Andra. Menghela nafas Saka meraih tisu di atas meja dan melap bibirnya. "Gue duluan." Ucapnya singkat jelas hanya sekedar bersopan santun sebelum melangkah pergi dari meja itu.
"Ka, lo marah? Gue bakal ganti deh minuman lo!" Saka tak menjawab hanya melangkahkan kaki lebih cepat lagi.
"Lo sih, Dra. Resek lo."
"Saka ngambek kan jadinya."
"Bukannya lo udah dapat uang bulanan? Ngapain lo malak minuman Saka?"
"Biasanya juga Saka nyantai aja. Nungguin sebentar terus ikut minum atau pesan minum baru. Arjun tuh biang keladinya," Andra mencoba membela dirinya, "pasti berantem lagi sama Saka. Makanya tuh Saka datang kuliahnya telat terus milih duduk di pojokan depan padahalkan kita udah sediain kursi buat dia. Sampai lambaian tangan gue dikacangin tadi. Terus lepas kuliah Bu Ayu langsung keluar tanpa nungguin kita-kita. Pasti berantem sama Arjun."
"Gue setuju," Devano menimpali, "jangan-jangan kemarin Arjun nggak jadi nganterin Saka pulang malah pacaran dengan cewek kedokteran itu ... Gue udah bilang: goblok banget untuk setia pada satu orang."
Mata kedua sahabat itu melirik Devano yang sarkas. Namun tak menyambung ucapan sang sahabat, semua juga tahu sifat Devano dan alasan dibelakang sikap sarkasnya pada cinta dan hubungan.
"Kalau itu kejadiannya ... Parah emang tuh anak."
"Serius, gue bingung apa susahnya sih buat Arjun jatuh cinta sama Saka. Saka tomboy, tapikan cantik, enak diajak ngobrol terus nggak nge-boringin. Paling nggak Arjun nggak bakal ngerasain lumutan karena nunggu cewek dandan. Dielukin karena bawa bidadari kagak- encok .. iya."
"Issh, Mas Andra ngomongnya jahat. Kalau pacarnya dengar Mas nya bisa diputusin." Suara pelayan kantin membuat pembicaraan ketiga cowok itu terjeda.
Andra menatap si cantik di hadapannya. "Kita bukan ngehina cewek, Nin. Cuma emang kebiasaan buruk cewek sih gitu."
"Kan dandan lama biar makin perfect, Mas. Niatnya biar Mas-mas yang jadi pacar nggak malu sama teman-teman, Mas."
"Denger tuh, Ndra. Positive thinking dong kalau pacar lo dandan lama, semua juga biar lo puas," Vano menimpali
"Makanannya, Mas-mas." Ketiganya segera membantu mengambil pesanan mereka dari nampan yang dibawa Nina, pelayan kantin fakultas hukum yang mereka kenal cukup ramah. Nina merupakan keponakan Pak Darso, salah satu penjual di kantin fakultas hukum. Nina bekerja membantu-bantu Pak Darso dan isterinya berjualan. Usianya masih cukup muda. Nina berniat melanjutkan pendidikan di universitas, tapi karena gagal di ujian masuk PTN. Jadi dia terpaksa menunda niatnya dan memilih membantu-bantu sang paman dan isterinya berjualan di kantin fakultas hukum sambil menunggu ujian masuk kembali. Saka dan teman-temannya sering melihat Nina berjaga sambil membaca buku-buku sekolahnya.
"Terus Nin kalau kamu dandanya lama enggak?" Nina tersenyum kecil malu-malu atas pertanyaan yang diajukan Devano.
"Mau lama gimana, Mas, make up aja nggak punya. Nina cuma pake bedak tabur terus berbagi lipstik sama Bude."
"Pantas lipstik lo agak tuaan." Nina menyentuh permukaan bibirnya malu. Sekali lagi gadis itu menundukkan wajah. Tingkah Nina tidak pernah lepas dari pengamatan Devano, cowok itu tersenyum kecil melihat tingkah gadis itu. "Tapi gitu aja lo cantik, Nin apalagi kalau pakai Estee lauder." Wajah Nina memerah, mengangkat wajahnya- dengan ragu Nina bertanya:
"Es teh apa, Mas?" Pertanyaan lugu Nina disambut tawa ngakak ketiga cowok itu membuat Nina menekuk wajah kembali. Benar-benar menggemaskan di mata Devano. Setelah menguasai diri barulah Devano angkat suara lagi,
"Bukan es teh, Nin. Estee Lauder. Tuh merk kosmetik asal Prancis gitu." Gadis itu manggut-manggut.
"Yah, Nina orang kampung, Mas mana tau yang gituan." Gadis itu meremas pinggiran rok panjang yang dia gunakan. Pipinya merah merona. "Tapi Revlon Nina kenal. Di plaza Dewi Sri ada." Nina menyebut nama satu plaza di kabupaten tempatnya pernah mengenyam pendidikan.
Hari ini gadis berusia sembilan belas tahun itu menggunakan baju bunga-bunga dengan rok hitam panjang. Rambut hitamnya yang sepunggung di bun rapi menampakkan lehernya yang jenjang. Penampilannya anggun dan feminim walau sederhana selayaknya gadis desa membuat Devano gemas sendiri melihat gadis lugu itu. "Pernah ada yang bilang enggak kalau pipi kamu yang merah bikin kamu makin cantik? Kalau nggak berarti gue yang kasih tahu kamu." Devano menatap gadis itu dan membuat samburat merekah merona tanpa bisa disembunyikan di pipi Nina makin merah. "Pasti hati kamu sedang berbunga-bunga ya, bajunya kayak taman bunga gitu."
Gadis itu menundukkan wajahnya. "Jelek, ya, Mas?"
"Bagus kok. Gue malah jadi pengen jadi kumbang yang hinggap di taman hati kamu." Jiwa playboy Devano kumat.
"Uhhuukk ..." Batuk terdengar dari bibir Vano yang tengah menegak teh botol miliknya. "Jangan percaya, Nin. Dia suka bohong tuh."
Setelah menguasai diri Nina beralih menatap Vano. "Maksudnya ... Nina nggak cantik gitu, Mas?" Gadis itu bertanya lugu. Semburat kecewa terlihat di wajahnya saat menatap wajah Vano.
"Nggak. Bukan gitu. Kamu cantik, tapi dia playboy. Lo jangan terpengaruh omongan dia. Jangan suka sama dia. Cewek dia banyak dimana-mana."
"Jangan dengerin teman gue yang satu ini, Nin. Dia tuh yang suka bohong," Devano kembali menyambar saat berdiri dari kursinya untuk meraih jus dari nampan Nina. "Kamu emang cantik apalagi kalau bibir kamu pakai lipstik yang lebih mudaan jangan maroon gitu makin cantik pastinya. Warna merah semerah jus jambu merah gue cocok kayaknya. Kalau diisep makin manis." Devano meneguk jus yang dia pegang sambil melirik nakal pada gadis lugu itu yang tanpa sadar menyentuh bibirnya.