"Rencana lo nggak bakal berhasil. Gue nggak pandai bohong, kemarin waktu kabur dari rumah ke rumah Arjun biar Papa ngizinin gue buat nggak ikut ke Perancis, gue dan Arjun malah jadi dikibulin Papa dan Mama plus Tante Kamila dan Om Satria."
"Maksud lo?" Saka menceritakan kisah pelariannya dari rumah untuk melawan arogansi papanya. Sesekali Saka melepaskan tawa pada hal-hal lucu yang dia dan Arjun alami. Alfandy menatap hal itu lekat-lekat. Kebahagiaan yang bukan berasal dari dirinya. "Kenapa lo nggak kabur ke apartemen gue aja waktu itu. Gue bakal terima lo dengan tangan terbuka."
"Isshhh lo kira buat apa gue kabur ke rumah Arjun? Karena rumah Arjun di samping rumah gue jadi gue bisa mengawasi keluarga gue. Rasa kehilangan mereka karena ketidak adaan diri gue. Sialnya malah ketauan."
"Oh, gue kira lo berniat menjebak Arjun."
Buk! Saka memukul punggung Alfandy keras hingga cowok itu meringis dan mengusap-usap punggungnya. "Lo kira gue sepicik itu? Gue cewek baik-baik tau."
"Iyaa iya. Gue tau lo cewek baik-baik. Btw, thank buat kesediaan lo nolongin gue."
"Gue capek dengerin permohonan lo." Tawa Alfandy terlihat. "Gue tau lo orangnya nggak tegaan."
"Isshhh lo manfaatin kelemahan gue. Ya, udah gimana?" Saka meraih jus jeruk dihadapannya dan menyeruputnya pelan. Jelas keengganan terlihat di wajahnya.
"Mama gue suka gadis feminim."
"What ...? Kalau gitu lo tau lo minta tolong sama orang yang salah. Gue nggak feminim." Saka beranjak dari meja restoran yang tengah mereka duduki. Namun tangan Alfandy segera mencekalnya.
"Semua wanita itu feminim. Lo tau KBBI bilang apa tentang feminin? Mengenai perempuan, bersifat perempuan, menyerupai atau seperti perempuan. Itu mengartikan bahkan banci yang berdandan kewanita-wanitaan aja masuk kata itu. Lo itu perempuan tulen dan lo feminin." Alfandy udah kayak ahli bahasa saja. Cowok itu meletakkan selembar uang merah di meja restoran lalu menarik Saka.
"Lo mau bawa gue kemana?"
"Katanya lo mau nolongin gue. Lo harus ikhlas dan total dong. Naik." Alfandy memerintah saat mereka telah berada di depan sepeda motor cowok itu.
"Ini karena lo temen gue kalau enggak gue habisin lo," geram Saka membuat tawa Alfandy terlihat. Saka menggeplak kepala cowok itu dengan kesal, "ketawa lagi. Gue lagi kesal, ya. Semua cowok kayaknya ngeribetin hidup gue."
"Lo mau curcol atau gimana? Kita balik ke dalam lagi? Tadi gue minta lo cerita tentang Arjun lo nggak mau, tapi kalau sekarang lo mau curhat ayo deh."
"Nggak. Curhat sama cowok itu kayak bicara sama tembok." Wajah gadis itu manyun. Alfandy jelas tahu itu didapat Saka dari empiris bersama Arjun. Bisa-bisanya Arjun tidak menyadari perasaan Saka padanya, coba kalau dia jadi Arjun -mungkin dia dan Saka sudah pacaran sedari SMP. Bego banget memang Arjun. Alfandy mengelus ubun-ubun kepala Saka dengan lembut.
"Gue nggak gitu tau." Cowok itu berkata dengan intonasi paling lembut. "Kalau lo nggak mau nolongin gue ya, udah. Gue antarin lo pulang."
Saka menatap wajah Alfandy lekat-lekat, Alfandy jelas terlihat serius dengan ucapannya. Setelah mendengar pernyataan cinta cowok itu beberapa waktu lalu, Saka merasa tak adil jika dia malah curhat tentang Arjun pada Alfandy. Dia jelas tahu rasanya cinta yang tak terbalas dan dia tidak sekejam itu dengan memeras asam di luka yang menganga. "Kenapa lo mandangi gue? Baru nyadar kalau gue ganteng?"
Saka terkekeh kecil sejenak tanpa membalas omongan Alfandy. Cowok itu memang ganteng, nggak kalah dengan Arjun, tapi cintakan bukan hanya soal paras. Kalau soal paras orang ganteng dan cantik bakal nikah sepuluh kali dan yang jelek atau berwajah pas-pasan bakal nggak laku seumur hidup. Namun nyatanya ada juga orang ganteng yang nggak nikah-nikah dan cowok/ cewek bertampang biasa aja yang nikah dengan cewek cantik atau cowok ganteng banget. Bukankah itu keajaiban dari cinta. "Gue udah janji nolongin lo-kan? Ya udah, ayok. Cepetan." Saat itu sudah jam lima sore.
Alfandy tersenyum lebar sambil memandangi punggung Saka. "Nanti gue bakal traktir lo." Ucapnya saat Saka menaiki sadel sepeda motornya dan dia mulai menghidupkan mesin.
"Yang enak. Eh, nggak ... yang mahal. Gue mau lo beliin yang mahal," Saka berujar dari sisi telinga cowok itu. Lagi-lagi gadis itu tak tahu apa yang bisa terjadi karena hembusan nafasnya di sisi telinga Alfandy. Jantung Alfandy berdegup kencang.
***
"Mama aku suka gadis feminim." Seharusnya Saka tahu kalimat itu akan membuatnya berada dalam masalah besar. Setelah berkendara nyaris dua puluh menitan, mereka berhenti di depan sebuah salon yang cukup besar dan bukannya di apartemen mewah Alfandy si anak pemilik tambang batu bara di Kalimantan itu.
"Eh, nih ngapain kita ke salon? Bukannya mau nemuin Mama kamu?" Saka bertanya bingung saat Alfandy menarik tangannya menuju pintu kaca salon ber-AC itu.