"Mamaku bilang apa sama kamu, Ka?" Keheningan antara Saka dan Alfandy ditepis dengan pertanyaan yang meluncur dari bibir Alfandy.
Saka yang sedari tadi memandang jalanan dari balik kaca jendela mobil yang tertutup, beralih menatap Alfandy yang tengah menyetir sedan BMW X5 keluaran terbaru yang biasanya digunakan mama Alfandy. Dia ingat jelas bagaimana mama Alfandy bertanya tentang segala hal pribadinya. Alfandy tidak ada di sana. Cowok itu saat itu tengah kembali ke unit apartemen yang dia diami untuk mengambil kunci mobil mama Alfandy untuk dipakai mengantarnya pulang.
Ya, tadi ketika Alfandy hendak mengantarkannya kembali, mama Alfandy bersikukuh mengantarkan mereka ke lantai bawah apartemen dan mengetahui kalau Alfandy akan mengantarnya pulang dengan sepeda motor-mama Alfandy protes keras lalu meminta Alfandy mengambil kunci mobilnya dan mengantarnya pulang dengan mobil.
Saka ingat ucapan mama Alfandy saat itu, "Saka udah cantik-cantik begini kamu ajak dia naik motor? Pacar kamu ini memang keterlaluankan, Saka?"
"Keterlaluan apanya, Ma? Alfandy nggak Mama kasih mobil, kasihnya motor," Alfandy memotong ucapan mamanya cepat membuat sang mama tersipu malu sambil berceletuk:
"Oh, iyaya ... Mama lupa." Wanita itu terkekeh sementara Alfandy mencibir sang mama.
"Lupa atau pura-pura lupa. Udah berapa kali juga aku mintain mobil nggak juga dikasih."
"Nggak apa-apa kok, Tan. Aku udah biasa kok. Naik motor itu menyenangkan sih menurut aku, kita nggak kelamaan terjebak macet soalnya bisa belok kanan belok kiri, nyempil diantara mobil-mobil cuma biasanya pas nebengkan pakai celana panjang. Belum biasa aja pakai gaun kayak gini." Saka nyengir.
"Terus sekarang kok kamu pakai gaun gini?" Mata mama Alfandy beralih menatap Alfandy sebelum menatap Saka kembali, "Alfandy maksa kamu berpakaian seperti ini, ya?" Tebaknya. Saka mengusap rambutnya sambil mengangguk pelan dan melirik pada Alfandy yang terlihat keki. "Kamu itu ..."
Saka ingat bagaimana mama Alfandy menjewer telinga cowok itu dan dia berusaha keras agar mama Alfandy tak makin marah. Saka memegangi tangan wanita baya itu diantara ringisan Alfandy. "Nggak apa-apa kok, Tan. Fandy nggak salah kok, Tan. Aku paham kok maksud Fandy baik. Fandy cuma mau aku kalau ketemu orangtua harus dengan penampilan rapi bukan asal." Tangan mama Alfandy terlepas dari telinga cowok itu. Saka bisa melihat bagaimana Alfandy mengelus telinganya yang memerah sambil meringis kesakitan. Sementara tangan mama Alfandy telah beralih merangkul punggung Saka.
"Sekali lagi kalau Fandy ngajak kamu ketemu Tante, kamu boleh kok pakai pakaian apa saja yang kamu rasa nyaman. Jangan dengerin, Fandy kalau dia memaksa kamu pakai ini itu."
"Iya, Tan." Saka menjawab walau kemudian dalam hati bersyukur bahwa mereka tidak akan bertemu lagi atau paling tidak akan bertemu dengan kondisi yang berbeda tanpa kebohongan seperti ini .. dan itu dalam jangka waktu yang masih lama.
"Fandy, sana kamu ambil kunci mobil Mama di meja samping tempat tidur Mama. Antarin Saka pakai mobil Mama. Ini udah malam. Udara malam nggak baik buat kesehatan, apalagi Saka pakai gaun kayak gini."
"Iya .. iya." Fandy menyahuti mamanya singkat sebelum beralih pada Saka, "Ka, bentar, ya. Kalau Mama aku bawel kamu mode silent aja."
"Fandy! Kamu tuh, ya, orang tua sendiri dikatain!" Gelegar suara mama Alfandy terdengar menyambut omongan Alfandy. Cowok itu terkekeh kecil sambil menjauhkan diri dengan langkah mundur sebelum tangan lincah sang mama menangkapnya dan menjewer kembali telinganya, Alfandy memilih kabur dari pelataran parkir apartemen.
"Nanyain aku anak ke berapa, saudaraku laki atau cewek, papa kerja dimana, mama kerja dimana, aku tinggal dimana. Terus Mama sama Papa aku udah kenal kamu belum. Gimana tanggapan mereka sama kamu. Gitu deh," Saka menjawab pertanyaan Alfandy.
"Terus kamu jawab?"
"Ya, iya lah masak nggak."
"Jujur."
"Mmm." Saka mengangguk lalu memilih menatap ke jalanan di luar sana.
"Soal tanggapan orang tua kamu sama aku, kamu bilang apa?"
"Baik. Emang tanggapan Mama sama Papa selalu baik dan nerima kalian semua kan?" Saka bicara diplomatis banget padahal kan bukan itu yang dimaksud Alfandy. Mata Saka masih menatap jauh ke jalanan di luar sana sebelum kemudian kembali menatap sahabatnya itu.
"Lo bilang kita hanya pacaran bohongan untuk kali ini saja-kan?"
"Iya. Iya. Gue ingat kok. Besok juga mama gue bakal berangkat balik ke Kaltim. Lo nggak perlu kwatir." Alfandy menenangkan hati Saka. Cowok itu tersenyum cerah. Saka bukan tak tahu harapan yang berkubang di hati Alfandy. Dia hanya tak mau memberi cowok harapan yang bakal menyakitinya. "Thanks, ya, Ka undah mau bantuin gue."
"Gue jadi kriminil gara-gara lo." Saka memasang wajah pura-pura cemberut. Tawa Alfandy terlihat. "Terus setelah ini, lo bakal bilang apa kalau Mama lo datang lagi ke Jakarta dan nanyain gue? Mungkin minta lo bawa gue ke apartemen lo buat jumpa beliau."
"Santai. Gue bakal bilang kita udah putus. Lo selingkuh dari gue."
"Enak aja lo." Saka memukul punggung Alfandy keras. Cowok itu meringis dan protes.
"Lah kan bohongan, Ka."
"Bohongan-bohongan, tapi lo ngerusak image gue! Enak di lo rusak di gue dong. Gue nggak rela."
"Yayaya. Gue bilang gue selingkuh dari lo, terus ke gap lo terus lo minta putus dari gue. Puas lo?" Saka manggut-manggut. Alfandy membuang wajah dongkol. Saka cuek saja dan memilih kembali memandangi jalanan di luar sana yang masih nampak ramai.