Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #39

Dasar Beruang Kutub

Papa Arjuna duduk dengan lesu di meja makan, saat itu mama Arjuna yang tengah sibuk memasak omlet melirik sang suami sementara Arjuna baru saja memasuki dapur, menyapa ayah dan ibunya lalu membuka kulkas tepat saat sang mama mengucapkan selamat lagi.

"Tumben bangun cepat? Ada ngajar pagi?" Arjun menggeleng. Tangannya membawa keluar sekotak besar susu lalu menuangkannya ke dalam gelas. Meletakkan segelas di hadapan sang papa dan segelas lagi buatnya. Mama minum susu hanya pada malam hari tidak pada pagi hari.

"Mau Mama buatin omlet juga?"

"Nggak usah, Ma. Mau ke rumah Saka nih. Sarapannya nanti aja. Mama sama Papa mau kemana? Ini Sabtu loh."

"Ada pasien yang harus dioperasi sekitaran jam sebelas pagi ini." Arjun manggut-manggut. "Saka udah lama nggak ke sini? Kalian bertengkar, ya?" Mama berkata sambil menghidangkan omlet dalam piring ke hadapan papa Arjun. Mama selalu berpikir dia dan Saka bertengkar tiap kali Saka tak muncul di rumah mereka.

"Nggak lah, Ma. Ini mau ke rumah Saka, dia agak sibukan aja kayaknya."

"Sibuk apaan?"

"Ini juga kau nanya dia. Terus mau bilangin supaya dia jangan sok sibuk sampai dia nggak sempat ke sini. Kan dia anak kedua Mama."

"Issh. Kamu ini." Mama menepuk punggung Arjun sebelum mengambil kursi di sisi sang suami. Arjun terkekeh kecil sebelum melirik sang papa yang nampak diam seribu bahasa.

"Terus Papa mau kemana?"

"Papa mau ketemu klien."

"Di penjara?"

"Penjara?" Papa Arjun bergumam kaget.

"Papakan pengacara ..."

"Tidak. Bukan," ujarnya lalu menggeleng cepat. "Bukan seperti itu."

"Papa butuh bantuan Arjun?" Papanya kembali menatap Arjuna dengan wajah tak paham. "Menyelesaikan berkas kasus yang ada .... Tukar pikiran atau apa saja yang Papa butuh?"

"Tidak. Papa bisa menyelesaikannya sendiri kali ini." Arjun mengangguk. Menegak hingga tandas susunya lalu berpamitan pada kedua orang tuanya.

"Arjun ke rumah Saka dulu, Pa-Ma." Arjun baru akan meninggalkan kedua orang tuanya dan melangkah gontai ketika suara sang papa terdengar memanggilnya. Langkah Arjun terhenti. "Iya, Pa?"

Tak ada jawaban. Arjun menatap papanya yang bangkit dari kursinya lalu melangkah meninggalkan meja makan. Dia menanti sang papa yang melangkah ke arahnya. Arjun sedikit tersentak saat papanya memeluknya pagi ini. Sudah lama sekali papanya tak lagi memeluknya. Papa ... Atau sebenarnya dia harus memanggil Om ...? Dada Arjun terasa sesak, tapi dia mencoba tersenyum. Sejak menemukan handycam itu, dia mencoba menyembunyikan semua rahasia itu sendiri dan sampai sekarang sepertinya semua aman. Selamanya dia ingin tak ada yang berubah antara dia, papa dan mamanya. "Tumben Papa meluk aku? Papa nggak kenapa -napa kan?" Papanya melepaskan pelukan.

"Ingatlah satu hal ini: apa pun yang terjadi, Papa mau kamu tahu kamu selalu punya Papa dan Mama. Papa menyayangimu."

Perasaan haru segera menyelimuti hati Arjun. Namun dia mencoba menepiskan rasa haru itu. Bukankah dia tak boleh meneteskan air mata, jika tak ingin rahasia itu terbongkar? Dia tak mau semuanya menjadi canggung. Pasti ada alasan baik jika omnya mengaku sebagai papanya. Bahwa dia jelas tidak punya papa dan mama kandung lagi. Seingatnya terakhir kali dia bertemu dengan papa dan mama kandungnya itu ... Arjun mencoba mengingat. Namun tak menemukan kenangan itu dalam ingatannya. "Tuh makin aneh kan?" Arjun mengalihkan pandangannya menatap sang mama. "Ma, Papa bikin merindingkan? Nggak biasa-biasa meluk, tapi pagi ini meluk. Pakai pesan-pesan lagi. Papa perlu diperiksa nih Ma, apa sehat atau ..." Kedua orang tua Arjun bertatapan. Tangan sang papa segera terarah pada telinga Arjun. Menjewernya. Suara ringisan Arjun terdengar.

"Kamu mau mengejek Papamu ini sinting atau apa?Papa nggak meluk kamu lagi itu karena kamu yang minta dengan seribu alasan ... yang sudah besar lah. Yang malu dilihat Saka lah. Kalau tidak Papa peluk kamu tiap hari." Ringisan Arjun terdengar. Dia berusaha keras melepaskan jeweran di telinganya dan untungnya akhirnya sukses. Sedikit lebih lama lagi pasti telinga kirinya lebih tinggi dari telinga kanannya. Telapak tangan Arjun terlihat mengusap daun telinganya.

"Iya deh, Boss. Ngaku salah deh, tapi tetap aja Arjun memang udah besar, Pa. Kalau orang nggak tahu kalau Papa itu Papa aku terus meluk gitu bisa jadi gossip di media sosial kita. Take linenya: kaum gay selangkah makin berani." Tawa mama terdengar. Sang papa cemberut. "Mmmm ... Setelah Arjun pikir-pikir seorang anak laki-laki ternyata juga butuh pelukan papanya sesekali." Arjun balas memeluk papanya sejenak. "Arjun pergi ke rumah Saka, ya, Pa-Ma keburu bocah tengil itu kabur lagi." Tawa mama dan papa Arjun terlihat sebelum putranya itu memilih pergi.

Namun baru saja akan membuka pintu depan rumahnya langkah Arjun memaku saat melihat Saka telah menaiki sebuah mobil yang muncul di depan rumahnya. BMW hitam yang sama dengan kemarin. Menghela nafas Arjun memilih berpamitan sekali lagi pada kedua orang tuanya:

"Ma, Pa, Arjun nggak jadi ke rumah Saka, mau olah raga keliling kompleks! Kunci taruh di tempat biasa aja!" Arjun bergegas mengambil sepeda di garasi rumah lalu menggenjot sepeda itu dengan cepat mengejar BMW hitam yang membawa Saka berada jauh di depan sana.

Lihat selengkapnya