"Darius kehilangan orang tuanya dalam usia yang masih sangat muda. Ibunya baru beberapa bulan lalu tiada akibat kebakaran. Kau pasti dengar, beritanya masuk di televisi. Rumah kontrakan mereka terbakar, lalu seorang pengurus Gereja membawanya kemari. Dia tidak punya keluarga lain." Arjun menghela nafas panjang mendengar kisah dari suster kepala. Wanita itu menggandeng lengan Arjun. Bergelayut agar tidak terjatuh.
Wanita itu telah cukup tua. Jalannya tertatih walaupun tanpa sebuah tongkat. Namun dia masih kelihatan penuh wibawa. "Saya bahagia kalian mengunjungi kami. Perhatian ini membuat hati kami menghangat dan ada sesuatu yang ingin saya berikan. Saya melupakannya tadi. Bantu saya ke kantor saya. Di sana." Suster kepala menunjuk sebuah ruangan tertutup beberapa meter dari mereka. Arjun membukakan pintu itu buat mereka berdua.
Ketika suster kepala mencari barang yang dia maksud, Arjun sibuk mencermati foto-foto para anak panti dari berbagai tahun yang terpampang di dinding. Ada beberapa foto wisudawan dan wisudawati bahkan.
"Itu foto-foto anak-anak kami dari sejak panti asuhan ini berdiri. Beberapa bahkan sudah sukses menamatkan kuliah dan bekerja di beraneka perusahaan," Suster Catherine memberitahu. Arjun mengangguk paham. Matanya berhenti pada sebuah foto seorang anak laki-laki berusia tiga belas atau lima belas tahun berdiri seorang diri. Foto anak itu berbeda dengan foto lain yang sendiri karena menjadi wisudawan-anak itu bukan wisudawan. "Dia Mario. Dia tampan bukan?" Suster Catherine mengusap foto seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar ke arah kamera. Arjun mengangguk. Anak laki-laki itu memang terlihat sangat tampan. "Ayo, kita kembali ke teman-temanmu dan anak-anak panti. Saya menemukan bingkisan yang saya ingin berikan pada kalian." Arjuna mengangguk dan menggandeng lengan suster Catherine keluar dari ruangan itu.
***
Saka membuka ponselnya yang sedari tadi sengaja dia nonaktifkan karena mengikuti ibadah di Gereja bersama kedua orang tua Arjuna. Seketika beberapa pesan muncul di layar ponselnya. Kebanyakan dari Alfandy. Saka membaca bagian atas pesan dan melupakan bagian bawah.
Saka, gue jemput lo sekarang. Gue punya dua kabar.
Gue meluncur nih.
Saka, gue udah di depan rumah lo.
Panggilan tidak terjawab
Panggilan tidak terjawab
Panggilan tidak terjawab
Saka, ehhh, lo nggak di rumah? Bukannya lo bilang tadi bakal di rumah seharian? Lo dimana?
Menghela nafas panjang, Saka menutup kembali ponselnya. "Saka, nanti kita singgah di mall dulu, ya. Ada yang mau Tante beli." Saka yang duduk di jok belakang mobil Om Satria hanya mengangguk.
"Kata Arjun mereka hanya mengikuti bakti sosial ke Panti Asuhan. Seorang teman Arjun dari fakultas kedokteran mengajaknya ikutan. Dia bukan nggak mau ngajak kamu. Iyakan, Pa." Om Satria mengangguk mengiyakan ucapan sang isteri. "Tapikan kalau kita diajak agak susah, ya, mengambil keputusan mandiri untuk mengajak orang baru."
Saka membisu. Bakti sosial ke panti asuhan. Om Satria dan Tante Kamila bakal punya menantu terbaik: seorang dokter yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Tentu saja Arjun lebih memilih Suheni dari dirinya yang tak bisa diandalkan. Kapan dia ikut bakti sosial? Uhhh, nggak pernah kayaknya, papanya tidak mengizinkannya untuk ikut acara itu saat diselenggarakan di penjara bersama para napi. Sekarang dia bahkan nggak tahu kapan fakultas hukum membuat acara bakti sosial? Dia harus bertanya pada anak-anak pengurus pemerintahan mahasiswa fakultas hukum .., tapikan Arjun salah satu pengurusnya. Gubernur mahasiswa fakultas hukum yang mulai saat diceramahi papanya soal nggak usah mengikutkan Saka pada acara bakti sosial-tidak pernah lagi bicara tentang bakti sosial padanya.
"Jangan marah, ya, sama Arjun." Saka mengangguk pelan. Mobil melaju pelan memasuki areal mall yang sudah dipastikan setiap hari Minggu akan padat.
Butuh lebih dari sepuluh menit bagi Om Satria untuk mendapatkan parkiran di basment mall. Kemudian dari basment dengan tangga eskalator mereka naik menuju lantai atas. Mereka menyusuri mall lalu menuju sebuah hipermarket. Saka melangkah di sisi Tante Kamila dan Om Satria sambil memandangi isi rak demi rak yang mereka lintasi.
"Kacang telur?" Tante Kamila bertanya pada Saka saat mengambil lima bahkan enam bungkus jenis kacang itu. Dia tidak akan pernah makan snack itu lagi bersama Arjun di ranjang atau di dapur dan depan televisi seperti dulu. Saling beradu menangkap kacang telur yang terlempar di udara. Ada Suheni diantara mereka. Saka menghela nafas. "Keripik?" Saka membiarkan Tante Kamila mengambil beberapa jenis kripik kesukaan Arjun. "Mau apa lagi, Saka?" Saka menggelengkan kepalanya. "Ada yang sudah habis dan perlu dibeli di rumah kamu?" Saka menggeleng. Sejujurnya banyak- mulai dari kelengkapan mandi sampai kebutuhan perut, tapi dia tidak mau menyusahkan Tante Kamila dan Om Satria, dia akan membeli kebutuhannya sendiri nanti. Kalau beli bersama Tante Kamila dia pasti dapat gratisan dan dia tidak mau kini .., dulu sih sering, bahkan Arjun pernah menanyainya ketika mereka berdua ikut belanja bersama mama Arjun apa dia mau sekalian membeli mall ini. Memalukan. Dia tidak mau mengulangi kejadian itu lagi. "Kamu yakin?"
"Yakin, Tan. Masih banyak."
"Ya, udah. Kita ke rak sayuran dan ikan, yuk." Saka dan Om Satria mengikuti Tante Kamila. Mengikuti ibu -ibu kalau belanja melelahkan, Tante Kamila berada cukup lama di tempat sayuran, ikan dan makanan beku.
"Capek?" Om Satria bertanya pada Saka yang menggerakkan kakinya depan belakang. "Kita tinggalin Tante kamu itu saja, ikut Om."
"Kemana, Om?"
"Ada deh." Saka mengikuti Om Satria menyusuri rak lain beberapa baris diantara kawasan sayur mayur dan ikan-ikanan. Mereka tiba di kawasan dengan pendingin lebih tinggi berisi es krim dan yogurt aneka merk. "Mau yang mana?"
Saka tersenyum menatap Om Satria. Sama seperti papanya, Om Satria adalah pria paling is the best di dunia ini. Saka memilih satu cup besar sebesar ember McD- es krim coklat kesukaannya. "Saka pilih ini. Bolehkan, Om?" Papa Arjun mengangguk penuh senyum. Lalu mengambil cup sedikit lebih kecil buatnya.
"Ini buat Om."
"Om juga suka es krim?" Saka bertanya saat mereka melangkah kembali ke bagian ikan dan sayuran.
"Siapa sih yang nggak suka es krim? Emang ada, ya?"
"Anak, Om. Dia sukanya makanan yang hangat, minuman hangat. Bahkan es krim hangat. Om nggak tahu? Arjuna bahkan masak es krim biar hangat. Jadinya dia makan es cair deh."
"Oya?" Saka mengangguk. Dia tidak akan lupa kenangan itu. Saat Arjuna dan dia sepuluh tahun, itu pertama kali dia berbagi es krim yang dibelikan mamanya bersama Arjun dan anak laki-laki itu malah memasaknya. Jadi setiap kali dia makan es krim, Arjun dia berikan makanan atau minuman lain. Namun memang dia sering memergoki Arjun memandanginya saat makan es krim. Gara-gara risih dan kasihan ke Arjun, dia jadi memilih makanan atau minuman lain.
"Tapi sama Om, dia makan es krim kok. Tanya saja Tante."
"Ya, ampun! Kalian ini kemana sih. Mama telpon nggak diangkat," Tante Kamila muncul entah dari mana dengan wajah emosi. Sepertinya dia telah selesai dengan urusan ikan-ikan dan sayuran. Namun om Satria menyambut dengan senyum manis.
"Baru beli es krim, Ma. Saka kepengen katanya." Dengan kerlingan mata om Satria memberi kode agar Saka mengambil tanggung jawab. Saka mengangguk. " Mama tahu enggak kata Saka, Arjun enggak suka makan es krim dingin. Es krim nya dimasak. Padahal dengan kita dia makan es krim dinginkan?"
Mama Arjuna menatap Saka serius. "Serius gitu?" Saka mengangguk. "Hmmm ... Emang dia nggak pernah cerita, ya?" Mama Arjun menatap Saka serius. Saka balik menatap dengan kepo "Dia cuma mau ngerjain kamu, biar kamu nggak rajin-rajin minta beli es krim. Dia pernah kok cerita itu, kayaknya pas kalian SD. Kamu hobby beli es krim. Makan es krim bisa lima kali sehari. Kamu ingat enggak kamu bentar-bentar batuk, flu gitu terus. Terus Mama kamu minta bantuan Arjun, jadi dia mikir gimana biar kamu enggak makan es krim keseringan. Jadi dia pura-pura nggak bisa makan es krim. Kalau makan es krim depan kamu dipanasin dulu, kalau kamu nggak bagi ea krim kamu ke dia- dipandangin mulu, biar kamu kasihan sama dia dan nggak mau makan es krim lagi. Gitu deh caranya." Wajah Saka memerah diantara tawa Tante Kamila, Arjun membohonginya sampai sekarang. "akhirnya kamu nggak sering-sering makan es krim lagikan? Karena kalau Arjun lihat, es krim kamu- bakal dimasak dan kamu dikasih es krim cair yang hangat."
"Arjun jahat ihhh." Saka memukul kakinya ke ubin mall. Mama Arjuna masih tertawa.