Acara bakti sosial fakultas kedokteran telah selesai sedari dua jam lalu. Kini seluruh mahasiswa dan mahasiswi fakultas kedokteran telah meluncur di jalanan antara Bandung dan Jakarta. Beberapa teman Suheni tadinya menawarkan Suheni ikut dalam bis pariwisata yang mereka carter. Namun tentu saja Suheni lebih memilih berada di jeep Wrangler tua bersama sang pemilik.
Arjun sedang melajukan mobilnya ketika kelebatan sebuah kejadian menghantam pikirannya ...
Dua orang bocah terlihat berlari di sebuah lapangan berumput yang sunyi. Mereka masih terus berlari walaupun kaki mereka terasa ingin lepas. "Ayo lari lebih cepat lagi. Orang itu bisa menemukan kita." Bocah laki-laki yang lebih besar itu menarik tangan anak laki-laki yang lebih kecil, memaksa bocah kecil itu berlari kembali sementara bocah laki-laki yang lebih besar itu juga terlihat tengah menahan rasa sakit yang berat.
Kelelahan membuat bocah laki-laki kecil itu kini terjerembab jatuh menghantam bebatuan di tepi rel kereta api. Makin memucatkan wajah bocah yang lebih besar. "Kau tak apa-apakan?" Bocah laki-laki yang lebih besar itu menarik tangan si muda untuk membantunya berdiri, saat itu anak laki-laki yang lebih muda itu tengah menangis, ada luka lebar yang mengeluarkan darah di lututnya.
"Jangan menangis atau orang jahat itu akan mendengarnya lalu menemukan kita. Ayo, cepat kita harus lari sejauh-jauhnya." Anak laki-laki yang lebih besar itu menarik tangan anak laki-laki yang lebih kecil, nyaris seperti menyeretnya sementara dia sendiri melangkahkan kakinya dengan tertatih menahan rasa sakitnya sendiri. Baru sesaat melangkahkan kaki kembali melintasi real kereta api yang sepertinya tak ada akhir itu, mereka melihat dari seberang rel kereta api seorang pria tersenyum pada mereka dari jendela mobilnya yang terbuka lebar. Keduanya seketika nampak panik. Tanpa menanti apa pun lagi, bocah laki-laki yang lebih besar itu segera menggendong bocah laki-laki yang lebih muda di punggungnya lalu mencoba berlari sebisa yang dia mampu walaupun jelas pergerakan itu tak bisa dibandingkan dengan gerakan sebuah mobil.
Mobil itu nyaris melaju mendekat menyebrangi rel kereta api ketika dari kejauhan suara kereta api terdengar, memaksa pria itu menghentikan laju kendaraannya hingga kereta melintas. Menarik nafas lega, bocah laki-laki yang lebih besar itu berlari lebih kencang sambil menggendong anak laki-laki yang lebih kecil, melupakan rasa sakitnya yang makin parah diantara suara kereta api yang kini serasa bagai musik penyelamatan.
Mereka tiba di sebuah daerah dengan perut lapar. Memandangi keramaian di pusat pasar rakyat, anak yang lebih besar itu menemukan sebuah kertas yang ditempel ke dinding sebuah pertokoan. Foto dua orang bocah terlihat di kertas itu. Fotonya dan foto anak laki-laki lain. "Itu apa?" Bocah kecil itu bertanya, "Wuih, wajahmu ada di sana, Kak. Kau terkenal."
"Suster Catherine mencariku." Dia berkata dengan wajah berbinar. Anak laki-laki yang lebih kecil itu memperhatikannya, melihat bagaimana anak laki-laki yang lebih besar itu- yang tadinya melangkah tertatih sambil memegangi bagian antara kedua pangkal kakinya, mendekap erat kertas itu. Kemudian mengajak anak laki-laki yang lebih kecil melangkah kembali, keduanya berhenti di depan beberapa orang penjual makanan pinggir jalan. Memandangi penjual makanan pinggir jalan sambil menelan ludah. Dia lapar. Sedari tadi perutnya telah berbunyi dengan cukup keras.
"Kau lapar, Jun?"
"Jika kita mengambil makanan itu, kita akan ditangkap polisi kan? Tuhan juga akan marah karena kita jadi pencuri itu kata Mamaku."
"Pergilah ke sana."
"Kau tidak akan mencurikan? Aku tidak mau Tuhan marah." Anak laki-laki yang masih sangat muda itu menggoyang-goyangkan lengan anak laki-laki yang lebih besar. Matanya menatap anak laki-laki yang lebih besar itu seakan memastikan bahwa ucapannya itu sangat penting.
Bocah laki-laki yang lebih besar itu menatapnya. Tangannya terjulur pada bahu anak laki-laki yang lebih kecil itu. "Aku akan meminta pada Ibu itu," Dia berjanji akan meminta, tapi dia tidak yakin dia akan diberi. Enam bulan pergi dari panti dan terdampar di jalanan membuatnya tahu bahwa hati manusia telah mendingin. Orang kaya akan berhitung untuk uang yang mereka keluarkan diluar investasi dan tabungan, apalagi orang miskin. Maka dia melanjutkan, "Tuhan tidak akan marah. Dia tahu kita lapar. Tunggu aku disana." Dia menunjuk sebuah gedung pertokoan yang nampak lebih lengang dan mendorong tubuh anak laki-laki yang lebih kecil itu menuju ke sana. Anak itu menurut tanpa banyak tanya. Ia yakin anak laki-laki yang lebih besar darinya itu tidak akan mencuri: anak laki-laki yang lebih besar itu telah berjanji untuk meminta dan bocah kecil itu yakin setiap orang yang meminta, kepadanya akan diberikan. Bukankah itu yang dikatakan Tuhan dalam Alkitab?
Dari pertokoan itu dia melihat apa yang akan dilakukan bocah laki-laki yang lebih besar itu. Bocah itu berbicara dengan penjual nasi bungkus, entah membicarakan apa. Lalu wanita penjual nasi bungkus mengayunkan tangan mengusirnya dan melangkah melayani pembeli lain. Anak laki-laki itu berpindah ke penjual lain, tapi kembali diusir lalu si penjual menuju ke depan kuali besar tempat dia memasak cakue. Saat itulah anak laki-laki yang lebih besar itu meraih dua potong cakue lalu berlari pergi diantara suara teriakan si penjual.
Kejadian itu terjadi begitu cepat, teriakan sang penjual cakue membuat orang-orang di pasar mengejar anak laki-laki yang lebih besar itu lalu menggebukinya. Anak laki-laki yang lebih kecil itu berlari memeluk anak laki-laki yang lebih besar.
"Dia pasti komplotannya!" Suara berat seorang pria yang bertampang sangar membuat anak laki-laki yang lebih besar itu memeluknya. "Kecil-kecil udah mencuri, mau jadi apa besarnya?!" Pria itu menjewer telinga bocah kecil itu, tapi matanya malah tertuju pada potongan cakue yang jatuh di tanah, terpijak-pijak dan tak berbentuk lagi.
"Jangan memukulnya. Dia adikku. Kami lapar. Kau boleh menelpon nomor ini. Suster akan menggantinya." Bocah laki-laki yang lebih besar itu menyodorkan kertas yang tadi dia ambil dari dinding toko. Saat seorang lelaki berperawakan tinggi besar menarik bangkit kedua bocah itu, jemari anak laki-laki yang lebih kecil itu meraih potongan cakue di tanah yang dipenuhi pasir dan tanah berdebu. Bocah itu menggosokkan cakue itu ke permukaan bajunya yang dekil dan robek. Dia lapar. Benar-benar lapar. Bocah laki-laki yang lebih kecil itu baru akan memasukkan potongan cakue itu ke dalam mulutnya ketika sebuah tangan memukul tangannya dan mengakibatkan cakue di tangannya jatuh tergelincir ke tanah kembali.
"Aku mencurinya, kau tidak boleh memakannya," beritahu bocah lebih besar.
***
"Arjun, hujan udah turun." Suheni menatap rintik hujan yang mulai jatuh membasahi seluruh jalanan dan apa saja yang mereka lintasi. Tangan Suheni bergerak mengusap permukaan jendela mobil yang di basahi air hujan. Kalau cuaca sudah seperti ini, di luar sana jelas lebih dingin dari di dalam mobil. "Gue suka hujan. Kalau kamu?"
....
Bocah laki-laki itu menatap empat wanita dengan kostum yang sama, para wanita itu mengenakan gaun putih di bawah lutut. Rambutnya diikat dan bagian belakangnya ditutup kerudung putih. Di lehernya tergantung sebuah kalung berwarna silver dengan salib di sana. Biarawati yang biasanya ada di Gereja, pekik hatinya. Dua orang wanita ada di belakangnya.
"Mario," wanita itu berseru saat menemukan anak laki-laki yang lebih besar. Tangannya menangkup wajah bocah laki-laki itu dengan panik saat melihat wajah bocah itu yang babak belur. "Kamu kenapa? Apa mereka memukulimu?"
"Aku mencuri dua potong cakue dan Tuhan menghukum ku, suster Catherine, "Tapi itu karena aku lapar dan mereka tidak mau memberiku." Suster Catherine mengigit bibirnya mendengar kalimat polos itu.
"Bagaimana bisa kalian melakukan ini padanya hanya karena dia mengambil dua cakue? Berapa harga cakue itu? Berapa?" Suster Catherine mengeluarkan dompet dari tasnya dan segera meletakkan seratus ribu di depan pemilik cakue. "Kami kehilangan dia beberapa bulan ini, dia pasti kelaparan dan kehausan. Bagaimana bisa kalian tidak memberikan dua potong cakue untuk mengganjal perutnya? Bagaimana aku menjelaskan padanya bahwa Tuhan mengasihinya dan manusia diciptakan secitra dengan Tuhan termasuk dengan sifat-sifat adiluhung dari Tuhan. Jadi semua orang adalah baik?" Dua wanita yang datang bersama suster Chaterine membelai punggung suster Catherine, mencoba menenangkannya. Sejenak suster Chaterine menutup matanya lalu meraih tangan bocah yang lebih besar. "Kita pulang Mario. Kau akan baik-baik saja di panti. Kita akan menemukan Roni."
"Kakak tidak akan meninggalkan akukan?" Suara anak laki-laki yang lebih kecil itu terdengar. Tangannya memegang lengan Mario yang terduduk di lantai.
"Siapa dia, Mario." Seorang suster lain buka suara.
"Dimana orang tuanya?" Mario menggeleng. Suster lain yang melangkah mendekati anak laki-laki yang lebih kecil itu bertanya pada bocah laki-laki yang lebih kecil itu- yang kemudian menggelengkan kepalanya juga.
"Namanya Arjuna Wissesa, Suster Bernetta." Lirih bocah laki-laki yang lebih besar itu berkata.
***
Ciiitttt .... Arjun merem keras saat sebuah cahaya dari lampu sein depan sebuah mobil yang ada di lajur berlawanan dengan mobilnya menerpa wajahnya. Suara teriakan Suheni terdengar keras saat itu. Menepi ke bahu jalan, Arjun menghentikan laju mobilnya.
"Ya, ampun Arjun! Kamu mau kita mati atau apa?" Suheni memegang dadanya yang berdegup kencang. Coba kalau keberuntungan tidak berpihak pada mereka, dia dan Arjun pasti sudah terjun ke bawah jurang sana dan tewas.
"Maaf."