Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #45

Menemani di Rumah Sakit

Bruuk ...

Suara kencang itu membuat mama Arjun yang masih bersahut-sahutan dengan Saka berlari ke lantai atas sambil meneriakkan nama putranya itu. Langkah Saka yang telah tiba di teras rumah Arjun juga seketika terhenti. Kakinya berlari kencang tanpa diperintah mendahului teman-teman mapalanya dan juga om Satria menaiki anak tangga dan menemukan Arjun tersungkur di lantai lebar tempat perhentian tangga bersama Tante Kamila yang terisak di sisinya.

"Udah, Ma. Jangan nangis. Arjun nggak apa-apa cuma terpeleset dikit. Arjun bisa kok bangkit sendiri." Arjun mencoba berdiri. Namun sepertinya mamanya memang benar, ada yang tergeser di tulang pergelangan kakinya rasanya membuat tubuh Arjun seketika limbung. Saka yang tiba di hadapan cowok itu tepat waktu segera menahan tubuh itu, mendekapnya.

Dada mereka bertemu dan menempel. Saka bisa mendengar detak jantung Arjun yang mengalun lembut menyanyikan sebuah lagu cinta, lagu cinta yang mirisnya bukan teruntuk buatnya, gumam batin Saka. Namun walaupun begitu sekali saja, dia ingin waktu berhenti sebentar. Biarkan dia merasakan perasaan semu ini bahwa Arjun hanya miliknya. Hanya untuknya.

"Ceilee yang mesra mesraan mulu."

"Masih pagi woi!"

Arjun tersentak, menyadari bahwa tangannya mengalung di leher Saka, dia segera melepaskannya begitu juga Saka, tapi melihat Arjun kembali terhuyung Saka buru-buru menangkapnya.

"Biar Om saja." Papa Arjun yang ada di anak tangga bawah melangkah naik dan memindahkan lengan Arjun pada bahunya. "Lebih baik kalian semua turun ke lantai bawah agar Arjun bisa turun." Tanpa menunggu perintah teman-teman Arjun dan Saka dari Mapala segera turun ke bawah.

"Papa gendong Arjun, ya," Suara Tante Kamila terdengar meminta sang suami menggendong putranya itu. Namun segera mendapatkan protes dari Arjun.

"Nggak perlu, Ma. Arjun masih bisa jalan sendiri."

"Kamu itu jatuh dari tangga."

"Hanya tergelincir di beberapa anak tangga, Ma. "

"Walaupun hanya beberapa anak tangga. Kita belum tahu bagaimana kondisi kaki kamu sekarang, bisa saja-kan tulang pergelangan kaki atau ligamen kamu jadi bergeser karena kejadian ini dan sangat tidak disarankan dalam kondisi seperti itu kamu menggerakkan kaki kamu. Itu bisa memperparah keadaannya."

"Naik saja ke punggung Papa." Papa Arjun berjongkok di depan sang putra yang nampak ragu-ragu.

"Papa yakin?" Sekali lagi papa Arjun mengangguk. "Arjun berat, Pa." Arjun mencari alasan. Jujur dia malu digendong di depan Saka. Dia sudah cukup besar bukan bocah tiga atau lima tahun. Uhh, ini memalukan. Semua gara-gara Saka. Coba saja Saka tidak merajuk dan lari seenaknya, dia tidak perlu mengejar gadis ini.

"Coba saja dan kamu bakal tahu bagaimana kuatnya Papamu ini." Arjun masih terdiam.

"Atau mau aku saja yang gedong?" Saka menggoda membuat Arjun mendengus.

"Kayak kamu sanggup aja." Liriknya sewot.

"Iya sudah sama Papa saja." Mau tak mau Arjun menurut. Sebentar kemudian mereka telah melangkah menuruni anak tangga. Arjun dan papanya di depan sementara Saka dan Tante Kamila mengiringi mereka di belakangnya.

"Langsung saja ke mobil, Pa, Arjun harus dibawa ke rumah sakit."

"Nggak perlu, Ma. Arjun hanya butuh istirahat, sebentar juga sembuh sendiri.

"Sekarang mungkin kamu merasa nggak apa-apa, tapi Mama nggak mau kamu merasakan dampaknya setelah usia kamu sedikit lebih tua lagi. Kamu nggak bisa lari agak lama atau bahkan bermain basket dengan Saka karena kaki kamu selalu sakit apabila digerakkan sedikit lebih lama."

"Ma ..."

"Kamu bukan lagi bocah kecil, tulang-tulang kamu tidak bisa menyembuhkan diri hanya dengan istirahat. Seusia kamu, kami butuh pertolongan medis untuk penyembuhan. Dengarkan Mama, Mama ini seorang dokter dan Mama tahu apa yang terbaik buat kamu. Mama mau kita ke rumah sakit dan kamu dirontgen untuk menentukan jenis penanganan yang harus dilakukan."

"Ma ..."

"Kalau hasil rontgen bilang kaki kamu baik-baik saja, kita tentunya tidak perlu melakukan penanganan khusus dan kamu bisa istirahat di rumah."

"Arjun, turuti Mamamu," Papa Arjun akhirnya mengambil keputusan akhir yang mengakhiri perdebatan antara anak dan isterinya itu. Sebagai seorang suami, papa Arjun tahu bahwa isterinya itu tak akan bisa didebat kalau sudah menyangkut penanganan medis di saat mereka tengah sakit. Memprotes hal itu hanya sebuah kesia-siaan. Lagi pula dia juga ingin memastikan keadaan putranya itu baik-baik saja.

Arjun merasa tak bisa lagi menolak perintah sang mama. "Terserah Mama. Mama akan lihat kakiku baik-baik saja. Buang-buang uang saja," dengkusnya sewot. Jujur sejak mengetahui dia bukan putra kandung papa dan mamanya, ada sesuatu yang terasa berbeda dalam cara pandang Arjun. Dia tidak ingin berhutang budi dan harta terlalu banyak.

"Jadi kamu dari tadi memikirkan uang?" Mama Arjun terkekeh. "Untuk memastikan kesehatan orang yang kita kasihi tidak ada yang disebut buang-buang uang. Masak kamu nggak tahu itu. Betulkan, Saka?"

"Betul banget, Tan." Saka mengacungkan jempol. "Tapi yah bagi anak Tante ini uang segalanya sih. Arjun makin pelit loh, Tan. Perhitungan banget.

"Gue perhitungan bukan karena pelit. Masih banyak yang harus dipersiapkan buat kehidupan mandiri, memang kayak kamu yang maunya nggak mandiri-mandiri? Lagian kapan aku pelit sama kamu?" Arjun memprotes.

"Dengerin tuh, Ka. Anak Tante nggak pelit. Dia mikirin masa depan kalian biar bisa hidup mandiri."

Lihat selengkapnya