Sebuah mobil berhenti di depan rumah Arjun. Dari dalamnya turun dua orang gadis yang terlihat sangat bertolak belakang dalam penampilan. Seorang gadis berambut sepunggung yang diikat rapi, nampak anggun dengan gaun coklat susu selutut bercorak batik tanpa lengan dan high heels, seorang lainnya nampak tomboy dengan rambut pendek dan celana blue jeans yang dipadankan dengan kemeja senada berlengan pendek dan sneaker.
"Arjun! Arjun." Suara Suheni dan ketukan pintu segera terdengar. Saka yang melangkah di belakangnya menghela nafas panjang melihat gadis itu.
Tadi di kampus dia memang sengaja ke fakultas kedokteran untuk mencari gadis ini. Walau itu berat dan menyakitkan, Saka menepis rasa itu semua, Arjun bilang yang ingin ditemui cowok itu ketika membuka matanya tadi pagi adalah gadis kedokteran ini dan bukan dia. "Ka, ini gimana? Pintu rumahnya dikunci. Kayaknya sih Arjun juga lagi tidur. Telpon aku nggak diangkat." Suheni menatap kembali layar ponselnya yang masih dalam posisi memanggil, entah untuk yang keberapa kalinya.
Saka melangkah menuju pintu rumah Arjun lalu merogoh saku jeans-nya untuk meraih kunci rumah cowok itu yang tadi dia terima dari Om Satria agar sehabis ke kampus dia bisa ke rumah Arjun dan memastikan kondisi cowok itu karena Om Satria ada sidang di pengadilan dan Tante Kamila juga punya kesibukan di rumah sakit walaupun keduanya berjanji akan pulang sebelum jam lima sore.
Saka membuka pintu itu. "Lo punya kunci rumah Arjun?" Mata Suheni menatap Saka dengan tajam.
"Baru tadi pagi dikasih Om Satria buat lihatin dan ngerawat Arjun." Saka melangkah masuk ke dalam rumah diikuti Suheni. Ruang tamu rumah Arjun nampak sepi. Namun sebelum Saka meraih kembali anak kunci itu, Suheni telah mengambilnya lebih dahulu.
"Aku rasa kamu nggak butuh kunci ini lagi. Aku yang bakal ngerawat Arjun." Saka menghela nafas dan membiarkan gadis kedokteran itu melakukan apa yang dia mau.
"Terserah." Saka memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah dan menuju anak tangga yang akan menghantarkannya ke kamar Arjun. Suheni yang mengikutinya dari belakang segera mengeluarkan protes saat tangan Saka bergerak membuka handel pintu kamar Arjun.
"Stop." Saka menatap gadis kedokteran itu sejenak, tapi memilih melanjutkan apa yang dia inginkan. Peduli amat. Arjun sahabatnya jauh sebelum gadis kedokteran itu memasuki hidup cowok itu. Kamar Arjun bersih, semua benda tertata rapi dan teratur. Ukurannya cukup besar dan didominasi warna hitam putih. Mata Saka segera menemukan sosok tampan itu. Arjun nampak terlelap di atas tempat tidur. Dia masih menggunakan baju kaos dan celana berbahan lembut di atas lutut yang tadi dia gunakan sepulang dari rumah sakit. Jug, gelas dan beberapa cemilan yang sengaja dia tinggalkan bersama cowok itu sebelum dia pergi ke kampus teronggok di permukaan nakas yang ada di sisi pembaringannya. Hanya jug air yang nampak mulai tandas selainnya Arjun sepertinya tak menyentuh cemilan-cemilan itu. Sebelah tangan cowok itu menjuntai ke lantai. Ada sebuah buku yang terjatuh di lantai, di sisi pembaringannya.
Kebiasaan orang pintar nggak bisa hidup tanpa buku, Saka membatin sinis sambil meraih tangan kanan Arjun yang menjuntai ke lantai ketika Suheni merebut tangan itu sampai dia jatuh terduduk di lantai. Gadis kedokteran itu meletakkan tangan Arjun di sisi pembaringan. Melirik hal itu Saka menghela nafas diam-diam, baru saja dia ingin meletakkan telapak tangannya di kening Arjun, tapi untuk sekali lagi gadis kedokteran itu lebih dahulu mendahuluinya.
"Arjun udah nggak demam lagi. Tapi bagusnya dicek lewat termometer sih." Saka tak menjawab, membiarkan gadis kedokteran itu meraih termometer di nakas yang ada di samping ranjang Arjun sementara dia beralih memungut buku di lantai. "Gue rasa sampai di sini gue bisa jagain dan rawat Arjun sendiri. Lo bisa pulang ke rumah lo buat istirahat atau balik ke kampus kalau ada jam kuliah."
"Tapi, Mama sama Papa Arjun nitipin ..."
"Gue bisa merawat Arjun. Gue anak kedokteran. Jelas gue lebih paham nanganin orang sakit daripada lo."
"Terserah lo. Gue panasin makan siang buat Arjun dulu baru gue balik ke rumah. Lo ingatin Arjun, dia harus makan siang terus minum obat."
"Gue bisa ngelakuinnya, Saka. Lo bukan pacar Arjun. Gue yang pacarnya." Suara bip dari termometer terdengar. Suheni melirik pada layar termometer, begitu juga Saka. Tiga puluh enam koma delapan derajat Celcius. Artinya suhu tubuh Arjun memang telah normal.
"Gue sahabatnya."
"Karena itu berlakulah sebagai sahabat. Hanya sebagai sahabat." Saka menatap Suheni tajam, tak mau kalah gadis cantik itu juga menatap Saka sama tajamnya. Tangannya terkepal menahan amarah di hatinya. Kalau tidak mengingat Arjun, dia akan menghajar gadis itu sekarang juga hingga gadis itu tak berani lagi mengusik kekasihnya.
"Baiklah. Aku pulang. Jangan lupa bangunkan Arjun dan ..."
"Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mahasiswi fakultas kedokteran." Sepuluh kali Suheni mengingatkan atas status kebanggaannya itu. Mahasiswi fakultas kedokteran.
Saka mengangguk, mengulum senyum tipis yang getir. "Ya, kamu mahasiswi fakultas kedokteran," ujarnya singkat sebelum melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar itu.
***
Suheni menatap kepergian Saka menuju ke rumahnya dari ambang pintu rumah Arjun sebelum mengunci kembali pintu itu. Dia melangkahkan kakinya menuju ke dapur, meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser sambil memandangi areal dapur rumah Arjun yang modern.
Ada dua panci yang masih nangkring di atas tungku kompor gas. Suheni mengintip isi di dalam panci itu dan menemukan sup ikan seadanya, yang jelas hanya cukup untuk satu dua orang dan panci satunya yang berisi bubur nasi. Di atas meja makan ada perkedel dan beberapa potong ayam goreng bumbu lengkuas.
Suheni menggeleng-gelengkan kepalanya melihat hal itu. Meletakkan gelas di genggamannya, gadis itu lalu meraih satu persatu panci di atas kompor dan membuang isinya ke dalam tempat sampah.
"Apa lo pikir gue bakal izinin Arjun makan masakan lo? Lo pikir gue nggak tau niatan lo? Sahabat ...? Menjijikkan." Suheni meletakkan kedua panci itu dengan kasar di washtafel hingga gemerincingnya terdengar memekakkan telinga saat membentur permukaan stainless steel washtafel lalu melangkah pergi keluar dari dapur.
Suheni tiba di kamar Arjun kembali. Berjongkok di sisi tempat tidur Arjun, dia mengamati Arjun lebih seksama lagi. Dari samping begini, hidung Arjuna terlihat jauh lebih mancung lagi, tulang pipinya tinggi, rahangnya tegas, alias matanya hitam dengan bentuk yang bagus- kalau dalam novel-novel biasanya bagai semut beriring. Bulu matanya ... Suheni nyaris tak percaya kok ada, ya, cowok yang memiliki bulu mata selentik itu. Bibirnya ... Kalau cowok lain di usia Arjun jelas kebanyakan memiliki bibir yang lebih gelap, perubahan warna akibat gaya hidup tak sehat semacam merokok, termasuk seorang cowok fakultas kedokteran yang sangat dia kenal ..., tapi Arjun tidak. Dia bahkan tidak butuh lips balm untuk memiliki warna pink di bibirnya.
"Aduh, gantengnya cowok aku," Suheni berbisik di telinga Arjun berharap membangunkan cowok itu, tapi nyatanya nggak. Iseng dia mencopot satu lembar bulu kemoceng yang tergeletak di atas meja belajar Arjun lalu menggelitik telinga cowok itu. Cowok itu jelas terusik, tangan Arjun bergerak mengusir gangguan itu. Suheni terkekeh pelan.
"Gue masih mau tidur." Arjun memutar tubuhnya memunggungi Suheni. Tak mau menyerah, Suheni memilih menaiki ranjang itu dan kembali mengganggu ketenangan tidur Arjun. "Saka!" Arjun memekik sambil menarik tubuh gadis yang ada di belakang punggungnya itu, pekikan Suheni terdengar keras. Tubuhnya dan tubuh Arjun bertindihan. Lalu mata mereka bertemu.
"Hai, Arjun." Suheni ingin melambaikan tangan, tapi karena tangannya terangkat dan berada di cengkraman tangan Arjun tentu tak bisa. Keterkejutan jelas tergambar di wajah Arjuna.
"Heni?" Arjun bergerak menegakkan tubuh. Ada kekikukan yang kemudian terasa di sikap cowok itu. "Kok kamu ada di sini?" Tak menjawab pertanyaan itu Suheni mengulurkan tangannya.
"Bantuin aku bangun."
"Sorry." Arjun menarik lengan Suheni. Niatnya Arjun akan segera bergerak turun dari ranjang setelah itu. Namun balasan tarikan tangan Suheni yang tak dia sangka-sangka membuat tubuh Arjun mencondong nyaris membentur tubuh gadis itu lagi andai dia tidak menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Posisi mereka kini begitu intim.
"Kamu mau kemana?" Tangan Suheni mengalung di leher Arjun. Memupus jarak diantara mereka. "Aku kwatir loh sama kamu."