"Untuk persamaan diferensial lo harus kerjain yang ini dulu baru itu." Devano menggores bagian yang dia maksud di bawah tatapan mata bundar Nina yang menatapnya tanpa henti. "Ngerti?" Tanyanya membuat gadis itu mengangguk dan dia menatap gadis itu. "Kok ngerti? Jangan bohong." Suara Devan terdengar tak percaya. Dia bukan tak tahu kalau gadis itu memandanginya sedari tadi ... Oh ralat, bukan sedari tadi, tapi sedari kemarin-kemarin lalu ketika dia mengajari gadis ini. Awalnya diam-diam melirik, kini bahkan tampak lebih terang-terangan. "Kalau gitu kerjain soal yang gue buat. Gue nggak suka lo nggak jujur sama gue. Bukannya sedari tadi lo ngelihati gue?"
"Ngg ... Itu ... Nganu, Mas ... Eh ... Kak ..." Nina berbicara tersendat-sendat dengan wajah merona merah menahan malu karena ucapan Devano yang frontal.
"Gue tau gue ganteng, tapi gue nggak suka kalau gue ngajarin lo, lo malah sibuk mandangin muka gue. Kerjain." Devano menjulurkan kertas yang ada di hadapannya ke hadapan Nina lalu memilih mundur dan duduk di sofa lusuh yang ada di belakang mereka.
Pak Darsono yang tadi mencuri lihat dan dengar pembicaraan Devano dan sang keponakan bernafas lega. Setelah nyaris dua Minggu ini memperhatikan cara Devano mengajar Nina, pria berusia empat puluh delapan tahun itu yakin bahwa Devano memang berniat membantu keponakannya untuk lulus ujian masuk PTN. Agaknya dia yang terlalu cirigaan pada anak muda itu.
"Gimana?" Sang isteri bertanya usai sang suami memasuki kamar mereka. "Nak Devano baikkan? Nggak macam-macamkan?"
"Sepertinya sih memang aku yang sedikit berprasangka pada anak itu, tapi itu karena Nina itu lugu sekali, Bu. Dia belum kenal banyak lelaki."
"Jadi ini gimana? Kita jadi ke kondangan Bu Ruminah atau aku saja? Nggak enak aku nggak datang, kita belanja barang jualan ke beliau. La wong kita diundang lewat undangan bukan cuma dari mulut, Pak. Paling nggak walau agak sorean, karena bapak nggak mau rugi nutup dagangan- kita datang." Si isteri yang telah berpakaian kebaya Kartini- yang kini membooming lagi di masyarakat dan telah mempermak kebaya lamanya ke tukang jahit tiga hari lalu itu menatap penampilannya yang terpantul di cermin lemari tua yang ada di kamar tidur mereka. Dia jelas masih cantik seperti ketika dia pertama kali memakai kebaya itu di kondangan perkawinan anak dekan fakultas hukum kenalan Pak Darsono lima belas tahun lalu. "Gimana penampilan aku toh, Pak? Ayu tenan?"
"Iyo. Ayu tenan." Pak Darsono yang tak tahu cara merayu bicara singkat tanpa peduli wajah sang istri yang manyun karenanya.
"Jadi gimana nih? Bapak ikut tidak ke kondangan?"
"Nggak ah. Aku di rumah aja. Kamu saja yang ke kondangan."
"Masih curiga sama Mas Devano?"
"Bukan curiga, cuma kamu tahu sendiri kan kalau laki-laki dan perempuan berduaan, yang ketiga ..."
"Ya, kamu, Pak." Isteri Pak Darsono memotong cepat dengan ketus. "Ya, udah aku yang ke kondangan. Ayook."
"Ayook gimana maksudnya?"
"Anterin."
"Tapikan ... Kamu naik ojek aja."
"Emoh. Bapak mau aku minta anterin sama Kang Gusman?"
"Jangan toh. Kamu nggak tau apa Gusman itu laki-laki genit."
"Udah tau gitu. Punya isteri kok nggak dijaga."
"Iya. Uwes. Ayook." Pak Darsono meraih jaket yang tergantung pada paku di balik pintu kamar tidurnya yang hanya selebar dua kali dua meter itu. Memang hari sudah agak sore menjelang malam juga sih. Dia segera menghampiri si isteri yang menanti di depan pintu kamar, tangannya menyusup pada jemari sang isteri. Perlakuan simple itu membuat wajah isteri Pak Darsono yang manyun tersenyum. Wanita memang simple bukan? Bisa bahagia sesederhana itu.
"Nina."
"Ehh, iya, Bukne." Nina berdiri seketika dari tempatnya duduk di ambal lusuh dan menghampiri isteri pamannya itu. Memaksa Devano juga bangkit dari duduknya dan mengantar keduanya ke depan rumah dengan alasan sopan santun yang bahkan tidak pernah dilakukan di rumahnya yang mewah.
"Bukne mau kondangan, Pakde kamu mau nganterin bentar, kamu belajarnya yang benar, ya." Nina mengangguk patuh. "Mas Devan jagain Nina, ya? Kalau dia kurang ngerti, harap dimaklumi, yo, Mas. Maaf saja karena sekolahnya dari kampung." Isteri Pakdenya itu memberi penekanan pada kata 'kampung', seakan semua yang dari kampung pasti lebih buruk dari kota. Devano mengangguk paham. Setelah Pak Darsono pamit dengan pesan-pesan dan tak lama setelah suara knalpot dari sepeda motor Supra keluaran terlama iru menghilang dari pendengaran, Devano dan Nina kembali ke dalam rumah.
"Aku ambilin Mas .. Ehh Kak Devan minum dulu, ya?"
"Gue pikir lo nggak sadar-sadar, Na. Gue nyaris mati kehausan di sini."
"Maaf, Mas ... ehh Kak." Nina terlihat menyesal. Hal simpel gitu saja langsung bisa buat gadis itu merasa bersalah sesalah-salahnya. Devano mengalihkan tatapnya, meraih hasil pekerjaan Nina. Devano mau tahu berapa banyak soal yang gagal dikerjakan cewek itu. "Kakak mau minum apa?"
"Emang ada apa aja?" Devano bertanya tanpa mengalihkan mata dari membaca hasil perkerjaan Nina.
"Ada beberapa jenis minuman yang dijual di kantin, minuman botol, kopi, susu .." Devano mengangkat wajah saat kata 'susu' meloncat dari bibir Nina. Mata keduanya bersua. "Maksud Nina ..." Wajah gadis lugu itu memerah lucu saat melihat mata usil Devano turun pada dadanya. Ia mendekap tubuhnya.
Devano terkekeh geli tanpa rasa berdosa. "Susu. Kopi susu maksud aku, Nin." Nina mengangguk paham dan segera beranjak diantara gemuruh kencang di jantungnya. Lama-lama ditatap Devano membuat bukan hanya jantungnya yang lemah, kakinya juga.
Devano kembali disibuki memeriksa tugas yang dia berikan pada Nina. Dia harus mengatakan bahwa gadis itu cukup pintar. Pelajaran eksakta Nina sempurna, tapi kenapa gadis itu malah memilih fakultas ekonomi dan bukan fakultas ilmu eksakta seperti teknik atau kedokteran?