Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #49

Mimpi

Saka menghela nafas berat, memandangi wajahnya yang pucat dengan mata sembab di cermin kamar. Sekali lagi semalaman dia menangis untuk cowok itu. Arjuna Wissesa.

Saka melirik jam di ponselnya. Sudah hampir jam tujuh pagi, jika dia tidak bergegas dia akan telat kuliah. Dia tidak berniat untuk tak kuliah pagi ini. Kemarin dia sudah melewatkan dua mata kuliah karena Arjun. Sekarang dia hanya ingin cepat merampungkan kuliahnya agar tidak perlu terlalu malu pada papa lalu mengikuti keluarganya ke Paris. Menjauhi Arjun akan menyembuhkan luka hatinya.

Saka menuruni anak tangga rumahnya lalu melongok ke kanan dan ke kiri dari balik jendela rumahnya. Kayaknya aman. Dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Arjuna di luar sana.

Saka Putri, ayo jangan jadi pengecut. Jangan malu-maluin diri sendiri. Sampai kapan lo bakal menghindarinya kalau saban hari dia selalu berkeliaran di sekitar rumah lo, karena dia tetangga lo sendiri. Pergi kuliah dan segera tamat lalu pergilah sejauh yang lo bisa. Namun jangan jadi pengecut, hadapi dia, hati Saka bicara mengejek. Namun gadis itu mencoba tak acuh pada kata hatinya.

Saka menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Merapikan pakaiannya dan mencantolkan ransel hitam - kembaran ransel yang Arjuna gunakan, hadiah dari Arjuna di ulatahnya yang kesembilan belas tahun- setahun lalu. Saka melirik ranselnya. Haruskah dia melempar tas dan segala hal yang dia terima dari Arjun ke tempat sampah untuk bisa melupakan cowok itu?

Uhh, tapi dia suka tas ini. Warnanya, modenya, bahannya yang kuat dan karena mereka memakainya kembaran. Gimana coba dia nggak salah tangkap atas semua sikap Arjun padanya.

Nggak mau percaya kalau Arjun mencintainya, tapi sikap dan perhatian cowok itu buat dia melayang. Lalu saat dia merasa udah begitu pede dicintai ehh ... nyatanya dia hanya dianggap teman. Cowok emang makhluk yang paling tahu cara membuat cewek baper.

Saka melihat layar ponselnya yang berkedip. Sebuah telpon dari nomor tak dikenal. Saka mengangkatnya. "Mbak pesan ojek? Udah di depan, ya."

"Iya, Pak. Ini saya keluar." Buru-buru Saka membuka pintu dan menguncinya kembali dengan cepat lalu bergegas menuju ke boncengan tukang ojek online. "Cabut, Pak. Agak Cepetan ya. Udah mau telat sih."

"Saka!"

"Beres, Neng. Tapi ada yang ..."

"Nggak usah peduliin apa-apa, Pak. Cabut cepetan deh. Nggak pakai rem." Si pengemudi ojek tertawa kecil.

Saat ojek bergerak. Saka menarik nafas lega. Dia sukses menghindari Arjun. Tinggal mencari cara menjauh dari cowok itu di kampus nanti.

***

Sebelumnya.

Siang itu matahari bersinar terlalu terik, anak laki-laki itu melangkah terseok di jalanan Jakarta. Perutnya telah berbunyi sedari tadi, awalnya nyanyian itu tak terlalu mengganggu, tapi kini perutnya terasa sakit.

"Mama, Papa." Bocah laki-laki itu berjongkok di tepi jalan dan menangis. Tak ada seorang pun yang memberikannya uang hingga saat ini sementara dia sudah berada di bawah lampu merah sejak pagi tadi. Lapar dan haus menerjang makin keras.

"Kamu kenapa masih disini?! Kamu nggak lihat itu lampu merah?!" Suara seorang laki-laki baya terdengar menghardik. Bocah laki-laki itu mendongakkan kepalanya lalu berdiri dan mundur menjaga jarak dengan pandangan takut. Namun sesuatu di tangan pria itu membuat dia melangkah mendekat lalu menggapai benda itu:

"Itu handycamku."

"Kau bilang apa? Milikmu? Ternyata kecil-kecil begini kau punya nyali juga, ya?!" Mata pria itu menatap nyalang pada bocah laki-laki itu, tangannya berusaha meraih bocah itu, tapi bocah itu beringsut mundur dan menjaga jarak dengan pandangan mata takut. Namun sebuah tamparan keras tetap saja sukses menempeleng kepalanya hingga bocah itu terhuyung nyaris jatuh. "Lupakan handycam ini kalau kau tidak mau jadi seperti ini." Pria berewok itu menendang seekor tikus yang melintas di depan kakinya hingga terlempar ke jalan dan tertabrak mobil yang melaju pelan menuju ke posisi paling depan traffic light. Bocah laki-laki itu terbelalak kaget. Takut juga.

Beberapa anak jalanan menatap bocah laki-laki itu dengan iba. Namun saat mata mereka bersua dengan mata garang pria dewasa berwajah brewok itu, semua memilih pura-pura tidak melihat. "Udah dapat berapa kamu hari ini?"

Bocah laki-laki itu menggeleng. Tangan kasar pria brewok berkulit hitam itu menariknya dengan keras lalu merogoh saku celana dan bajunya. "Kamu sengaja menyembunyikan pendapatan kamu hari ini, ya?! Udah berani kamu, ya?! Mau mati?!"

"Nggak disembunyikan, Om. Arjun belum dapat apa-apa dari pagi. Om, Arjun lapar."

"Lapar? Ciuhhh. Kalau mau makan kamu harus kerja! Kerja!" Pria garang itu mendorong bahu bocah laki-laki itu ke badan jalan hingga nyaris membentur sebuah mobil yang mulai bergerak karena traffic light telah berganti warna dari merah menjadi hijau. Seorang bocah laki-laki yang nampak lebih besar berlari mendapati bocah laki-laki yang lebih kecil itu, membantunya berdiri diantara makian pengendara mobil.

"Mario, lo jangan coba ajarin anak itu yang aneh-aneh atau lo sendiri yang akan kena masalah!"

"Siapa juga yang mau ngajarin dia aneh-aneh, Bang Jago, aku mau ajarin dia cara ngamen yang baik kok."

"Bagus! Pokoknya sore nanti dia harus dapat uang atau dia bakal nggak gue kasih makan dan tempat untuk tidur lagi!" Bocah laki-laki itu mengeret si bocah laki-laki yang lebih kecil menjauh. Mereka berjalan di terotoar. Anak laki-laki yang lebih kecil itu nampak menangis.

"Jangan nangis."

Lihat selengkapnya