Arjun melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumah, menuju ke ruang makan dan menyapa sang papa yang tengah sibuk membuat omlet di depan kompor.
"Pagi, Pa."
"Pagi, Sayang."
"Mama belum balik juga?" Arjun bertanya sambil melirik benda berukuran tiga puluh kali empat puluh centimeter dengan cover keras berwarna biru teduh yang tergeletak di atas meja makan.
"Langsung tugas pagi kayaknya, ada pasien butuh penanganan. Jadi Mama bilang bakal pulang sore nanti," jelas papa tanpa jeda sambil membalik omlet dengan lemparan sempurna ke udara sebelum telur dadar itu jatuh kembali ke permukaan teplon. "Papa buatin kamu omlet."
"Mmm." Arjun menggumam pelan sambil meraih album foto yang tergeletak di atas meja makan. Membuka lembar demi lembar foto masa kecilnya. Foto masa bayi hingga usia tiga tahun yang sedikit dan selalu berada pada posisi seakan menjadi foto model. Sendiri tanpa siapa pun. Baru pada usia ke empat tahun dia punya foto cukup banyak dengan didampingi oleh papa dan mama- maksudnya orang yang nyatanya harusnya dia panggil Om dan tante. Arjun menghela nafas panjang. Menyimpan hal itu selama setahunan ini nyatanya menyesakkan dadanya. Kenapa dia harus mengetahui kebenaran itu? Padahal tidak tahu akan membuat hidupnya lebih bahagia.
"Papa agak kesiangan tadi bangunnya jadi cuma buat ini aja, ya. Abis Saka nggak bangunin. Tumben dia nggak ke rumah pagi-pagi." Papa meraih dua buah piring dari dalam kitchen set lalu sibuk meletakkan omlet di atas piring. "Ehh, tadi Papa denger kamu manggil dia. Kok nggak nampak juga?" Papa Arjun celingak-celinguk sebentar. "Saka nggak sarapan bareng kita?"
"Udah ke kampus."
"Nggak nungguin kamu?" Arjun menggeleng. "Kalian ribut lagi?" Sekali lagi Arjun menggelengkan kepalanya. "Beneran?"
"Bener, Pa. Nggak ada yang ribut."
"Ya, sudah. Ayo sarapan bareng." Arjun memandangi papa yang meletakkan piring omlet dan roti panggang di atas meja, menatanya menjadi roti isi ala kadarnya ala papa atau harus dia bilang apa kadarnya Om Satria?
"Duduk. Kamu lagi mikirin apa? Katanya nggak lagi bertengkar dengan Saka, tapi kamu udah kayak orang linglung kebanyakan mikirin negara. Biasanya itu artinya lagi perang sama Saka." Papa meyodorkan sebuah piring berisi roti isi buatnya. "Kalau kamu mau cerita, Papa siap mendengar."
"Nggak ada yang harus Arjun ceritain, Pa. Arjun beneran nggak ribut sama Saka kok." Arjun menarik kursinya. Mereka duduk berhadapan. Namun tak ada yang bicara lagi sampai papa Arjun angkat suara kembali,
"Pagi ini kamu yang buat doa sebelum sarapan." Arjun menurut.
"Amin." Tepat setelah Arjun selesai membuat doa dia melihat sang papa meraih album foto yang tergeletak di atas meja makan, lalu membuka tas ranselnya dan jelas berniat memasukkan album itu ke dalam tas kerjanya itu. "buat apa Papa bawa album foto ke kantor?" Arjun menyeletuk sambil meraih roti isinya dan menggigitnya dalam gigitan besar.
"Cuma mau memperbaiki beberapa foto yang rusak."
"Semua masih bagus menurut aku."
"Masak sih? Kemarin Papa lihat ada yang udah rusak."
Arjun tak menanggapi ucapan sang papa. Dia beranjak dari duduknya menuju ke kulkas dan meraih sekotak susu dalam kulkas lalu membawanya ke meja makan. "Sejujurnya setiap aku memandang album foto itu, ada satu pertanyaan yang mengganjal terus di pikiranku."
Menuangkan susu ke gelasnya dan sang papa, Arjun mengacuhkan tatapan serius papanya atas ucapannya. Mereka pernah membicarakan hal ini dan Arjun masih mengingat dengan jelas semua alasan yang diucapkan papa saat itu. Namun kini alasan itu terasa kosong.
"Papa mau menceritakan kembali dengan jujur padaku kenapa pada usia satu hari hingga tiga tahun aku hanya berfoto sendiri? Tak ada satu foto pun yang menggambarkan kebersamaan kita bertiga. Papa, Mama dan aku. Tapi di usia empat tahun, kita punya banyak foto itu. Seakan kita baru jadi keluarga disaat itu." Satria mencoba setenang mungkin menghadapi pertanyaan yang keluar dari mulut Arjun. Menatap sang putra atau harus dia katakan keponakannya yang tengah mengguncang kotak susu untuk memastikan isi dalam kotak. Jelas susu di dalam sana tinggal sedikit,
"Kan kamu sendiri sudah tahu penyebabnya. Kesibukan Papa dan Mama saat itu. Mama yang sedang mengejar spesialisasinya dan papa yang juga mendapatkan beasiswa. Papa benar-benar minta maaf untuk semua waktu yang hilang saat itu."
Arjun memilih meletakkan gelas berisi susu dihadapan sang papa sambil berpura-pura tidak melihat sikap aneh pria itu. Kebohongan pria itu.