"Ka." Alfandy meraih lengan Saka dan menghentikan gerak gadis itu. "Lo nggak apa-apa?"
"Ngapain lo ngikutin gue? Bukannya lo harusnya lanjut ke kuliah Prof. Candra? Makan sana terus lanjut ke kuliah Prof Candra." Saka kembali melanjutkan langkah. Alfandy mengikut tepat di belakangnya.
"Gue udah titip presensi sama Vano."
"Kebiasaan deh," Saka menyambut dan Alfandy membalasnya dengan tawa sambil berlari kecil mensejajarkan langkah mereka.
"Abis salah lo sih. Lo taukan motivasi gue kuliah biar bisa ngelihatin lo, eh ...lo -nya yang ngejar SKS kencang banget."
"Lo cari motivasi yang lebih berbobot deh. Mama lo bisa ngamuk ke gue kalau tahu anaknya cabut kuliah."
"Lihat siapa yang ngomong. Yang ngomong kayaknya nggak sadar diri." Alfandy memutar matanya seakan-akan jengah mendengar perkataan kosong dari Saka.
"Karena gue sadar maka gue nasehati lo biar nggak berakhir kayak gue."
"Mama nggak bakal tahu. Tenang aja dan kalau lo mau gue nggak berakhir dengan konsep ..." Alfandy membuat isyarat tanda kutip. "Cinta sendiri. Lo bisa nolong gue." Sekali lagi Alfandy memaksa langkah mereka terhenti di koridor fakultas hukum. Saka menatap wajah ganteng itu lekat-lekat. "Jadi pacar gue ... Kali ini yang sebenarnya bukan pura-pura."
Alfandy menggelengkan kepalanya. "Bukan. Bahkan ucapan gue tadi di kantin bukan bagian dari April foolish. Gue sungguh-sungguh dengan omongan gue, Ka."
"Lo udah janji sama gue, kita bakal menyelesaikan sandiwara ini." Saka kembali melangkahkan kaki. Tak ingin mendengar apa pun lagi dari bibir Alfandy. Berkeras kepala, Alfandy memburu.
"Iya, kita selesaikan sandiwara ini. Kita tinggal berhenti berpura-pura dan sekarang benar-benar saling mencintai. Kita udah coba pacaran satu bulan ini loh, Ka. Gue harap lo berani jujur sama diri lo sendiri kalau lo enjoy kan?" Beberapa teman mahasiswi yang melintas melirik keduanya. Lalu saling berpandangan lalu berbisik tentang hubungan Saka dan Arjun dan Alfandy. Saka menatap mereka dan membuat keempat mahasiswi itu melanjutkan langkah mereka.
"Ya, gue enjoy, lo teman yang baik ..."
"Teman? Buka hati lo, Ka. Kasih gue kesempatan masuk di sana. Gue bakal buat lo jatuh cinta sama gue dan melupakan Arjun. Lo bilang Devano pengecut karena nggak berani membiarkan cinta datang dalam hidupnyakan? Gimana dengan lo?" Saka tak menggubris. Dia melangkah lebih cepat lagi. Namun Alfandy masih juga mencercar langkahnya. "Saka! Saka! Gue cinta lo!" Teriakan keras kepala Alfandy membuat para mahasiswi yang tadi melintasi mereka menoleh pada keduanya. Bahkan bukan hanya keempat mahasiswi itu, beberapa mahasiswa lain yang agak jauh berhenti melangkah dan menatap mereka, Saka membalikkan badannya dan menarik tangan Alfandy dari tempat itu. Dia benar-benar tak suka menjadi pusat perhatian.
"Ikut gue."
"Pasti. Kemana pun lo mau, gue ikut." Alfandy membiarkan diri ditarik oleh gadis berambut sepundak itu
"Jangan drama."
"Gue serius, Saka Putri."
Mereka berhenti agak jauh dari fakultas apa pun. Menghela nafasnya Saka menatap wajah Alfandy lekat-lekat. "Kasih gue kesempatan, Ka. Biarkan cinta gue nyentuh hati lo yang luka. Gue yakin suatu hari nanti lo bakal lupain Arjun dan menerima gue."
"Masalah kita bukan hanya Arjun, Fan. Kita beda."
"Lo mau gue gimana? Gue ikut lo." Alfandy menyugar rambutnya. Tertawa miris dan kecut, "Lo nggak taukan Minggu kemarin gue ke Gereja."
"Apa?" Celetukkan kaget terdengar dari mulut Saka.
"Iya. Gue masuk Gereja lo. Gue duduk dan dengerin ibadah." Mata Saka membulat tak percaya. "Kalau lo bilang masalah kita karena kita beda ... gue akan menyamakannya."
"Terus gimana dengan agama lo? Tuhan lo? Orang tua lo?" Saka menggelengkan kepalanya. "Gue nggak akan pernah ngajarin lo selingkuh. Gue nggak mau jadi alasan lo meninggalkan agama dan Tuhan lo. Nggak karena gue .. itu nggak akan adil buat siapa pun termasuk buat Tuhan gue dan Tuhan lo. Kalau lo akhirnya nanti milih agama gue, gue mau itu karena lo nemuin Tuhan di situ bukan karena lo nemuin gue. Fandy, lo selalu punya tempat di hati gue. Lo selalu jadi sahabat terbaik buat gue. Thank karena udah mencintai gue sebesar ini ..." Saka melemparkan senyum termanisnya pada Alfandy yang nampak kaku di tempatnya berdiri. Patah hati. "Udah sana ke kelas. Pak Candra pasti udah masuk tuh. Lo taukan buat Pak Candra lebih baik telat dari pada absent pada mata kuliahnya." Saka memutar tubuh Alfandy menuju ke arah fakultas hukum kembali lalu mendorong punggung cowok itu agar berjalan.
"Ka, gue nggak mau masuk hari ini. Gue sedang broken heart .. walau lo nggak nerima cinta gue, paling tidak ngerti hati gue kek."
"Nggak. Lo harus masuk. Lo harus dapat IPK empat semester ini terus ngejar gue. Biar kita bisa foto wisuda bareng. Gue bakal nungguin satu semester."
"Untuk membuat hati gue lebih patah lagi maksud lo?" Saka terhenyak. Sorotan mata Alfandy yang penuh luka menggores hatinya. Dia jelas mengenal luka itu. Luka yang dia juga rasakan karena penolakan Arjun. "Lo jelas lebih tahu perasaan ini. Setelah ditolak mentah-mentah melihat wajahnya bakal melukai hati lo lebih parah lagikan? Gue juga bukan malaikat, Ka. Gue mau bilang hati gue baik-baik saja, tapi itu bohong ... Gue nggak baik-baik saja. Mungkin beberapa bulan lagi bakal sembuh, tapi sekarang gue butuh menata hati gue dan menjauh dari lo ... Itu hal pertama yang harus gue lakuin." Saka berdiri terdiam. Matanya mengikuti langkah Alfandy yang bergerak menjauh darinya. Fandy benar, menjauh memang adalah jalan terbaik buat mereka berdua kini seperti dia menjauhi Arjun untuk menata hati.
***
"Andra, lo lihat Arjun nggak?" Andra yang tengah asyik te pe- te pe- dengan rekan mahasiswi usai makan siang di kantin fakultas menoleh menatap gadis cantik yang muncul di sisinya itu. Suheni.
"Nggak." Jawabnya singkat lalu kembali sibuk dengan merayu Sinta untuk jalan dengannya. "Jadi Sin, lo mau kan? Gue jemput lo deh."
"Emang lo berani jumpa bokap gue?" Sinta bertanya acuh tak acuh.
"Terus kalau Saka dimana?"
"Beranilah. Bokap lo masih makan nasikan?"
"Ya, iyalah."
"Belum makan orangkan? Jadi ngapain gue takut."