Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #54

Badai Itu Bernama Anggreni

"Taruhan siapa yang bakal dapat perhatian Om Jeff malam ini?"

"Nggak ah. Lo gila apa? Gue udah meried sama Om Kurniawan."

"Tapi bukannya lo yang suka banget sama Om Jeff?"

"Itu dulu."

"Serius lo cuma dulu? Yakin sekarang lo nggak mau sama Om Jeff? Nanti nyesal. Siapa yang bilang dari semua Om-om, Om Jeff itu bisa dibilang the great qualified Om-om? Udah ganteng, royal, mainnya wow gitu?" Kekehan terdengar dari mulut kedua wanita itu.

"Isssh, harus setia dong. Kan udah meried. Gila gue tetap jadi sugar baby."

"Iya. Iya. Wulan, Anggreni udah nikah. Jadi tinggal kita berdua yang bersaing jadi sugar baby Om Jeff mana tau setelah itu terangkat jadi isteri kesayangan."

"Issh. Kalau jadi isteri siri kayak yang onoh ogah gue." Wulan memonyongkan bibirnya menunjuk pada sang teman yang nampak tengah sibuk memilih lingerie seksi untuk dikenakan malam ini. "Dapat apa sih lo kalau cuma dinikahi sebagai istri siri."

"Dapat apa? Sinting lo. Lihat dong Eni ... Mobil Mazda, rumah dua lantai, uang bulanan dan nggak perlu nunggu job." Kekehan terdengar lagi dari mulut ketiga wanita itu seakan dunia milik mereka bertiga saja tanpa peduli bahwa pembicaraan mereka membuat orang lain risih.

"Gue masih ingat banget kayaknya baru kemarin gue kenalan sama dia, terus gue tahu kalau dia nih norak banget. Naik lift aja pake muntah. Waktu itu kita mau ketemu Om Damian kan yang ngasih job dari kantornya buat nemenin dia sama rekanan bisnisnya. Gue ingat kita dapat bonus cukup gede karena proyeknya gol, dari situ terus sering dihubungi deh dan akhirnya makin akrab dengan Om Daffa dan Jeff. Gue ingat waktu itu kita harus naik turun elevator atau tangga berbulan-bulan gara-gara dia nih. Padahal kan lebih nyaman naik lift. Tapi ehhh ..., tapi dia selalu dapat tips paling banyak dari Om-om. Apa sih yang lo lakuin sampai Om-om itu ngasih tips paling banyak buat lo? Lo cerita kisah sedih hidup lo, ya?"

"Nggaklah. Mana ngaruh cerita kayak gitu sama mereka. Mereka kan mau happy-happy bukan nambahi masalah. Gue cuma pernah cerita kisah hidup gue yang menyedihkan sama Papi gue."

Winda dan seorang lagi mencibir mendengar pengakuan Anggreni. Gadis itu terkekeh. "Beneran tau. Cuma sama Papi gue. Tapi soal lift beneran deh, gue nggak tahan banget di atas benda itu. Rasanya kayak naik turun gitu ... Pala gue pusing. Nggak biasa kali, ya, abis di kota gue kan nggak ada lift. Adanya tangga. Nggak jalan lagi."

"Dasar udik."

"Ya, ampun anggap aja kayak lagi M* sama Om Daffa. Oh, atau sama Papi lo sekarang- Om Kurniawan. Pasti lo jadi nagih." Tawa ketiganya terdengar keras. Mereka bahkan tak merasa risih dengan pengunjung lain. "Tapi sekarang nggak lagikan?"

"Nggak. Malah nagih."

"Sinting lo. Hahahaha."

Suara itu membuat Saka yang ada di rak pakaian mengangkat wajahnya dan melongok ke rak sebelah, sedikit kaget menemukan tiga wanita cantik yang tengah berbincang sambil tertawa-tawa diantara rak pakaian dalam yang berada di sisi gaun out shoulder floral yang ingin dia beli. Anggreni dan Wulan, dia kenal dua dari antara ketiga wanita itu. Keduanya adakah teman kampusnya, awalnya satu stambuk dengannya, tapi Anggreni dan Wulan lebih sering membolos. Sekarang bahkan tidak sering terlihat di kampus. Maybe ngambil cuti. Dalam hitungan mahasiswi- mereka memang jelas dikategorikan mahasiswi berkantong tebal, yang naik turun mobil dan selalu muncul dengan outfit bermerk nan modis. Walaupun Anggreni setahunya dahulu bukanlah mahasiswi berada. Di masa orientasi gadis itu nampak sangat sederhana dan jangan lupakan kalau Anggreni bahkan pernah mengalami kesulitan keuangan.

Mereka kini nampak mengenakan sebuah mini dress ketat. Yang satu berwarna merah dan lainnya hitam. Dress itu menempel ketat dan menampilkan lekuk tubuh mereka yang sempurna. Mereka menggerai rambut mereka dan mengenakan rias wajah yang lebih menantang daripada sehari-hari di kampus. Saka pernah mendengar gossip tak sedap tentang Wulan dan Anggreni kalau mereka suka merayu pria-pria tua dengan kantong tebal, kata kerennya menjadi sugar baby bagi om-om tajir melintir yang senang cari kesenangan. Dia memang memilih tidak percaya, tapi kini .... Saka menghela nafas. Gossip nyatanya hanya sebuah kebenaran yang tertunda.

Saka ingat di masa orientasi mahasiswa, di awal kuliah- salah seorang senior pernah mengatakan pada mereka- para mahasiswa baru: "Selamat datang di dunia baru. Di sini tidak akan ada guru yang akan memaksa kamu belajar seperti di masa SMA. Kamu bahkan bisa bolos kuliah dan duduk di koridor fakultas saat dosenmu tengah masuk memberi kuliah, tak ada tingkah seperti guru SMA yang akan mengejar dan menarikmu masuk ke dalam kelas. Di luar sana kamu akan menemukan kesenangan baru: cafe yang menyediakan minuman memabukkan tanpa peduli berapa usiamu, permainan judi dengan teman, tempat billiar yang buka dua puluh empat jam dan kesenangan lain. Setiap orang bebas memilih mengikutinya atau menolaknya, tapi jangan lupakan pilihanmu akan menentukan dimana kamu berada di masa depan. Karena masa depan dibangun atau dihancurkan oleh masa kini yang akan menjadi masa lalumu nantinya. Pilihan ada di tangan kamu."

Kehidupan kampus memang memberikan banyak pilihan. Semua terserah pada sang pemilih untuk mengikuti jalan mana yang dia pilih.

"Nggak tahu malu! Jadi pelakor aja bangga!" Saka bisa mendengar seorang ibu berteriak marah dari rak sebelah dan itu mengundang emosi Wulan dan temannya yang tak diketahui Saka namanya. Sebentar saja keributan itu membuat karyawan toko pakaian mendatangi tempat itu.

Saat Anggeraini dan kedua temannya keluar dari toko pakaian dengan wajah kesal, Saka mengintip diam-diam dari balik rak. Berdoa semoga ketiganya suatu saat menyadari kesalahan mereka.

"Pakaiannya jadi, Mbak?" Suara karyawan toko pakaian membuat Saka mengangguk dan menyerahkan gaun Sabrina floral itu pada si karyawan toko pakaian bersama pakaian lain yang dia beli. "Maaf soal pelanggan tadi, ya, Mbak kalau pembicaraan mereka membuat ..."

"Nggak apa-apa. Bukan toko ini yang salah, nggak perlu minta maaf," Saka tersenyum pada si karyawan toko pakaian yang mengantarkannya ke kasir.

***

Saka melangkahkan kaki dengan dua bag paper di tangan kanannya. Baru saja akan menuruni lantai mall dengan tangga berjalan, Saka tersentak saat seseorang menubruk tubuhnya dengan keras. Terlihat wanita itu begitu terburu-buru hingga melupakan kata maaf. Lihat saja berbeda dengan pengguna eskalator lain yang berdiri di tempat, wanita itu bahkan melangkah menuruni anak tangga berjalan itu.

"Tante Cahaya!" Wanita itu tak mendengarkan ucapan Saka dan terus menuruni anak tangga. Saka mengejarnya.

"Papa! Papa!" Suara Tante Cahaya terdengar memanggil seseorang. Namun tak ada yang berhenti hingga Tante Cahaya tersungkur terjatuh dan Saka muncul dari belakang tubuhnya. Membantu wanita itu berdiri kembali.

"Tante? Tante, nggak apa-apa kan?" Sekali lagi Tante Cahaya tak menjawab, matanya menatap nanar mencari seseorang ke sana kemari. Lalu menarik tangan Saka, meminta bantuan untuk berdiri. "Tante ada apa?" Saka bertanya kembali. Mereka berdiri berhadapan kali ini. Namun Tante Cahaya lagi-lagi tak menjawab. Wanita itu memilih berlari kembali menuju lobby mall. Nafas wanita itu memburu. Dingin dan gemetar, tapi mencoba terus berlari sekencang mungkin hingga Saka bahkan takut jika sewaktu-waktu Tante Cahaya bisa tersungkur jatuh kembali. Saka yang mengkhawatirkannya berlari di belakang wanita itu, mencoba mengejar.

Tante Cahaya memilih menyetop sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya di depan lobby depan mall. "Ikuti mobil itu, Pak." Perintahnya pada sang supir, tepat ketika Saka menyentuh pintu mobil dan melongok dari celah pintu yang dia buka.

"Saka temani Tante, ya?"

Tante Cahaya terdiam sejenak, matanya yang indah nampak berkilat dipenuhi air mata. Apa yang sebenarnya terjadi? Saka bertanya-tanya dalam hati.

"Tante baik-baik saja kan?"

Lihat selengkapnya