"Tolong! Tolong!" Suara teriakan seorang wanita membuat masyarakat yang ada di sekitar pondok Cina berlarian menuju ke sumber suara, empat pria yang tadinya menggebuki Devano berhenti seketika saat melihat rombongan masyarakat yang berlari ke arah mereka. Tanpa pikir panjang keempatnya memilih melompat ke tunggangan masing-masing dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi daripada habis dikeroyok massa.
"Bapak-bapak, ibu-ibu terima kasih, ya." Nina mengucapkan terima kasih kepada para masyarakat yang segera membubarkan diri tanpa banyak tanya persis kayak dalam sinetron di televisi. Sementara Devano segera berusaha bangkit dari posisinya yang terjatuh. Nina segera membantunya. "Kenapa sih, Kakak sampai bertengkar gitu sama anak-anak itu? Udah tau Kakak sendirian sementara mereka berempat ya, kalah lah."
"Kalau kondisi gue fit, gue bisa ngalahin mereka sendiri." Devano dongkol karena Nina menyepelekan kemampuan berkelahinya. Belum tau saja cewek itu kalau track record-nya di bidang hajar menghajar orang cukup membuat pusing kakek dan neneknya.
"Iya deh." Nina memilih mengalah dari pada Devano makin kesal. Coba tadi kalau dia tidak sedang mencari buku loak mungkin Devano bukan hanya bonyok, tapi tinggal nama. Nina mendesis ngeri sendiri membayangkan hal itu.
"Kenapa kamu?"
Tersenyum keki, Nina menggaruk kepalanya. "Ehhh, nggak apa-apa, Kak."
"Ngapain kamu ke sini?" Devano membuka pembicaraan saat mereka menuju ke mobil cowok itu di seberang jalan.
"Tadi baru beli buku terus turun di sini."
"Terus bukunya mana?"
"Ehhh .. iya, ya." Nina celingak-celinguk mencari buku di sekitarnya lalu teringat kalau dia melemparkan buku itu tadi ke kepala pemuda-pemuda yang mengeroyok Devano, tapi gagal menyelamatkan cowok itu tanpa memanggil bala bantuan dari masyarakat sekitaran kampus. Niat hati menyelamatkan Kak Devano malah kini dia kehilangan buku walaupun cuma buku loak, tapi kan itu penting buat masa depannya. Buku itu berisi kumpulan soal-soal SMPTN. "Kayaknya masih di sekitaran sana, Kak. Tadi aku lempar ke kepala cowok-cowok itu buat nyelamatin Kakak, eh malah aku yang mau dihajar. Kalau nggak Kakak yang nolongin sampai dibonyokin gini, kayaknya aku yang bonyok." Nina nyengir kecil saat membantu mendudukkan Devano ke jok mobilnya. Devano menatap gadis itu lekat membuat jantung Nina yang sudah berdebar tak menentu sedari berada dekat Devano makin bertambah kencang. Sebentar lagi kayaknya Nina bakal pingsan kalau tetap pada posisi sedekat ini dengan Kak Devano. Mencium aroma parfum cowok itu yang bercampur dengan aroma keringatnya, tapi malah makin wangi.
Parfum orang kaya mah emang beda, celetuk batin Nina sambil menyesap dalam-dalam aroma tubuh Devano hingga dia menyadari tatapan tajam Devano yang nyatanya masih menatapnya. Semburat merah terasa menjalari kulit wajah Nina.
Nina buru-buru menundukkan pandangannya. "Kakak udah sampai mobilkan. Kalau Kakak mau pulang, pulang aja, aku mau nyari buku aku ..." Nina mencoba menghindar.
"Nggak usah." Devano menahan langkah Nina yang berniat pergi. Tangannya mencengkram erat lengan gadis itu. "Kita cabut dari sini."
"Tapi, Kak ..." Mata mereka kembali bersua. Sekali lagi Nina buru-buru menunduk. "Buku aku .."
"Lo mau kalau orang-orang itu balik terus nemuin lo? Lo bisa dilumat habis tau. Lo lebih milih buku lo daripada keselamatan lo? Naik. Gue antar lo pulang. Pak Darsono juga pasti udah pulang."
"Nggak usah deh, Kak. Nanti aku pulang sendiri aja. Mau cari buku aku dulu. Kasihan uangnya udah dibeliin buku, tapi malah hilang."
"Nanti gue ganti. Buku itu hilang karena gue kan? Nanti gue ganti. Masuk."
"Nggak usah, Kak. Lagian rumah Pakde Darsono dekat kok. Aku balik sendiri aja." Nina menurunkan tangan Devano dengan lembut lalu bergegas pergi dari sisi mobil Devano menuju ke seberang jalan tempat pertikaian Devano dan anak-anak yang mengeroyok Devano tadi berlangsung. Pulang bareng cowok itu bakal buat hatinya makin berharap. Berharap pada hal yang nggak mungkin dia miliki. Kak Devano udah punya pacar. Cantik banget lagi. Apalah dia, cuma gadis desa biasa, Nina membatin.
Dari dalam mobilnya Devano bisa melihat Nina yang tengah berjongkok di pinggir sebuah parit besar dengan kedalaman bahkan nyaris empat meteran, gadis itu jelas mencoba mengambil sesuatu di bawah sana. Devano merinding sendiri membayangkan gadis itu akhirnya kecebur got. Gimana coba ngeluarinnya nanti.
Keluar dari dalam mobilnya, Devano melangkah tertatih menuju ke seberang. Namun baru saja hendak menyeberang Devano bisa melihat Nina terpeleset jatuh ke dalam got besar itu.
"Nina!" Melupakan rasa sakit di kakinya, Devano berlari menghampiri pinggiran parit besar itu, berjongkok dan menggapai tangan Nina yang nyaris kehilangan pegangan.
"Kak Dev, jangan lepasin," Nina memohon. Takut sekali benar-benar kecebur ke dalam got itu dan tak bisa naik kembali.
"Gue bilang juga apa? Kepala batu sih lo," maki Devano ketus. Namun seketus-ketusnya seorang Devano, cowok itu jelas terlihat berusaha keras mengangkat Nina kembali ke atas walaupun dengan lengan yang sakit.