Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #56

Belum Akhir Sandiwara Kita

"Lama amat lo di kamar gue?" Devano langsung menyambut saat Nina keluar dari kamarnya. Rambut panjang gadis itu tergerai lembab. Berniat apa coba?

"Kakak lagi ngapain? Ngobatin luka-luka, ya?" Devano tak menjawab. Cowok itu pura-pura sibuk mengobati luka yang ada di tangan dan kakinya akibat keroyokan Ario Bayu- musuh bebuyutannya semasa SMA dari sekolah tetanggaan. Nina mengamati gerak cowok itu. Selesai mengobati kaki dan tangannya, Devano bergegas hendak mengenakan pakaiannya kembali padahal jelas di punggungnya ada luka yang telah membiru.

"Di punggung, Kakak ada luka," beritahu Nina.

"Pantasan perih. Tapi tangan gue nggak bisa ngobatinnya ... Mmmm ..." Devano menggumam sebentar sambil menatap Nina yang nampak aneh dengan celana pendeknya yang ternyata kebesaran buat gadis itu, ditambah dengan kuciran gelembung di tengah perut Nina yang jadinya malah kayak batang yang sedang tegak. Sial pikirannya jadi kotor! "Apaan tuh," Devano bertanya to the points untuk menghilangkan pikiran kotor di kepalanya.

"Celana Kakak semua kebesaran jadi aku ikat karet gelang biar nggak kedodoran." Tawa Devano terkuak lebar dan kencang. Sementara Nina mengamati diri dari ujung kaki hingga ujung tubuhnya yang bisa dia amati.

"Tunggu disini." Devano melompat turun dari atas sofa hitam yang dia duduki dan langsung menuju ke dalam kamarnya. Sejenak dia tertegun menatap kondisi kamarnya yang nampak rapi banget. Pasti Nina yang melakukan ini semua. Jadi karena ini gadis itu lama di dalam kamarnya ..

Devano mengulum senyum lalu meraih sebuah tali pinggang yang tersimpan di laci lemarinya dan membawa benda itu keluar. "Sini." Panggilnya pada Nina yang nampak bengong saat Devano tanpa aba-aba mengelilingi pinggangnya dengan tali pinggang.

"Kakak mau apa?!" Nina memekik kaget saat Devano menarik tali pinggang itu dan membuat tubuh Nina refleks tertarik membentur tubuh Devano yang masih setengah terbuka di bagian atas. Dadanya menyentuh dada Devano. Dia bisa merasakan debaran jantung cowok itu beradu dengan debaran kencang jantungnya .. bukan .. detak jantung Nina bukan hanya kencang, sepertinya sebentar lagi bahkan meloncat keluar dan cowok itu tersenyum menyaksikan ketakutan dan kecemasan di wajah Nina. "Kak Dev, jangan macam-macam, ya sama saya ..."

Devano melotot menatap Nina- gadis yang dahulu nampak malu-malu dan diam-diam selalu mencuri pandang padanya itu kini berani-beraninya mengancamnya. Sok polos dan merasa tidak bersalah banget.

"Siapa yang mau macam-macam sama kamu? Yang dari dulu duluan macam-macam itu kamu, Nin. Nih, kamu udah main peluk-peluk pinggang saya, dada kamu nempel ke dada saya- Btw, kamu nggak pakai bra, ya? Maksud kamu itu apa? Mau menggoda saya seperti waktu di rumah Pak De kamu kemarin itu?" Ucapan Devano membuat Nina buru-buru melepaskan tangannya dari pinggang Devano. Dia memeluk pinggang itu jelas untuk mencari keseimbangan usai ditarik seenaknya oleh Devano dan soal bra ... Wajah Nina memerah. "Kemarin lalu juga waktu di rumah Pak De kamu, jangan-jangan kamu sengaja menumpahkan minuman supaya kamu bisa macam-macam sama saya, kamu modus biar bisa grape-grape paha saya-kan?"

"Bukan, Kak. Bu .. Bu ... kan. Beneran. Itu karena ... Ahh .." Nina mendesah saat Devano mengetatkan tali pinggang di pinggangnya. Mata cowok itu melotot padanya dan Nina buru-buru membekap mulut. Swear, dia bukan mau menggoda. Mulutnya hanya salah nada saat kaget akibat merasakan sesak karena diikat tali pinggang terlalu keras. Namun dia kepalang malu menjelaskan hal itu pada Kak Devano karenanya Nina memilih kabur secepatnya dari pandangan mata Devano. "Aku balik sendiri aja, Kak. Cepat sembuh, ya."

Devano tergelak geli menatap gadis itu yang berlari keluar apartemen sekencang -kencangnya. Devano berniat memberikan Nina sedikit pelajaran -memangnya gadis itu bisa menuruni apartemen dari lantai delapan dengan naik tangga darurat? Karena tak mungkin naik lift tanpa key card.

***

"Mama kenapa?" Alfandy muncul mengenakan baju koko dengan sarung tenun, jelas mau menunaikan sholat atau baru saja menunaikan sholat magrib. Mata Saka dan cowok itu bertemu. Jelas Alfandy nggak mengikuti kuliah dan tidak juga menghabiskan waktu untuk sekedar kongkow-kongkow bersama teman yang lain.

"Kamu kok udah di rumah, Sayang?" Tante Cahaya bergaya ceria.

"Pelipis Mama kenapa?"

Gara-gara aksi nekat Tante Cahaya menabrak dua mobil di pekarangan rumah Anggreni -selingkuhan papa Alfandy, Tante Cahaya harus dapat delapan jahitan di keningnya. Untungnya tidak ada luka lain yang serius.

Mereka menunggu papa Alfandy datang, tapi jangankan datang- menelpon saja untuk menanyakan keadaan mama Alfandy tak beliau lakukan. Sepanjang jalan Tante Cahaya mendumel : 'katanya bakal bersikap adil? Tai kucing.'

"Kok Mama bisa barengan sama Saka?" Alfandy melirik Saka dalam seakan pertanyaan itu sebenarnya ditujukan Alfandy padanya dan bukan pada mamanya. Saka mematung.

"Tadi jumpa dengan Saka waktu Mama kecelakaan."

"Mama kecelakaan?!" Pekikan kwartir Alfandy dan perhatian yang kemudian dia berikan pada sang mama menunjukkan bahwa Alfandy benar-benar anak laki-laki yang baik.

"Hanya kecelakaan kecil. Maksud Mama belok kiri rupanya kasih lampu sein kanan jadi malah buat orang di belakang Mama salah tafsir dan nabrak. Cuma kejendot stir." Mama Alfandy menatap Saka jelas meminta dukungan. Mau tak mau Saka mengangguk. Malas mendapat banyak pertanyaan dari bibir Alfandy karena itu artinya akan lebih banyak dusta yang harus dia buat. Dia capek bohong mulu. Dusta sama Tante Cahaya belum kelar, harus bohong lagi sama Alfandy. Uhhh, hidupnya ribet banget.

"Kejedot setir dikit, tapi butuh jahitan?" Sebagai anak pintar, Alfandy jelas tak mudah dibohongi. Dia menatap sang mama dan Saka bergantian.

"Mama juga nggak nyangka lukanya sampai butuh jahitan. Cuma sedikit jahitan kok, perbannya aja yang kebanyakan. Si Suster mendramatisir kayaknya." Mama Alfandy mengeles lalu mengganti topik, "Mama mau masakin makanan kesukaan kamu hari ini." Tante Cahaya menepuk punggung putranya dengan senyuman lebar. Saka memandangi hal itu tanpa berkedip. Bukankah kemampuan sandiwara seorang ibu sangat hebat? Agar anaknya tidak turut terluka, dia menelan luka itu sendiri. Saka menghela nafas panjang. Berdoa semoga keluarga Alfandy baik-baik saja dan permasalahan ini bisa selesai dengan sebaik-baiknya. "Kamu harus makan banyak dan Saka ..."

"Ehhh, iya, Tan?" Saka tersentak saat tatapan matanya bersua dengan manik mata Tante Cahaya yang sendu, tapi pura-pura bahagia.

"Bantuin Tante, ya?"

"Eh ...iya, Tan, tapi Saka sebenarnya nggak terlalu mahir masak loh, Tan."

"Nggak apa-apa. Kan Tante ajarin." Senyum mama Alfandy tersibak indah walaupun pedih. "Tante bakal ajarin kamu masak makanan kesukaan Fandy biar nanti kalau kamu jadi istri Fandy ..., " Tante Cahaya berhenti, memberi penekanan di kalimat akhir lalu menyambung lagi, "kamu udah tau."

"Uhhukk ... uhhukk ..." Saka terbatuk. Walaupun bukan kali pertama Tante Cahaya mengatakan hal itu, Saka selalu tak bisa menyimpan kekagetan akan ekspektasi hubungannya dan Alfandy di mata Tante Cahaya. Memukul-mukul dadanya sejenak, ada rasa bersalah yang terpancar di mata Saka saat matanya dan mata Alfandy beradu tatap.

"Ma, ada yang mau aku bicarakan sama Mama," Alfandy memotong ucapan sang mama. Kali ini, apa pun yang terjadi dia akan jujur. "Sebenarnya aku dan Saka ..."

Lihat selengkapnya