Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #57

Yang Berharap dan Terluka Karenanya

Alfandy keluar dari dalam kamar tidurnya dengan baju kaos dan celana cargo sebatas lutut, niatnya membantu Saka tertunda sejenak saat dia melintasi ruang itu yang merangkap tuang tamu dan ruang bersantainya selama ini. Sebuah paper bag terjatuh. Sebenarnya tak menimbulkan suara riuh hanya saja entah bagaimana begitu menarik perhatian Alfandy. Matanya menatap tumpukan paper bag berwarna coklat susu itu juga sebuah gaun yang meluncur jatuh dari dalam paper bag yang terjatuh. Jelas sekali karena diletakkan dengan asalan.

Alfandy berjongkok meraih pakaian itu. Tak langsung memasukkannya kembali ke dalam paper bag, kali ini dia malah tertegun pada gaun floral out shoulder yang ada di tangannya.

Saka membeli gaun.

Alfandy memasukkan kembali gaun itu ke dalam paper bag lalu meletakkan kembali kantongan belanja itu beserta yang lain di sofa sebelum melangkah ke dapur.

Di dapur Saka nampak sibuk dengan bahan-bahan makanan dengan tayangan YouTube dari ponselnya sebagai pemandunya untuk memasak menu makanan malam. Suara benda itu membahana memenuhi ruang dapur hingga Saka nggak menyadari kehadirannya di belakang punggung gadis itu saat gadis itu sibuk mengaduk masakan yang ada di atas kompor.

Aroma tubuh Saka menyusup lembut masuki pernafasannya. Alfandy berandai-andai seperti inilah yang akan dia lakukan jika dia dan Saka menjadi suami istri dengan background suara anak-anak yang berlari kesana-kemari, membantu Saka di dapur akan menjadi salah satu hal yang paling dia sukai. Mereka akan menjadi keluarga bahagia ...

Dug.

Saka yang membalikkan tubuhnya menemukan Alfandy berdiri di hadapannya kini. Tangan cowok itu melingkar di pinggangnya sebagai refleks perlindungan agar dia tidak terdorong membentur kompor yang menyala.

"Fandy?"

"Sorry, gue ngagetin, ya?" Saka tak menjawab, hanya matanya yang turun pada lengan Alfandy yang masih berada di pinggangnya. "Sorry." Sekali lagi cowok itu bicara, melepas pelukan dan menarik diri untuk memberi jarak diantara mereka.

"Gimana keadaan lo?" Saka membuka pembicaraan setelah kebisuan tercipta beberapa saat diantara mereka dan Alfandy yang memilih pura-pura sibuk dengan sup yang ada di atas kompor yang sebenarnya sudah masak.

"Lo lihat sendiri kan? Masih hidup walaupun patah hati."

Gerak Saka yang tengah menata daging ikan yang telah dia kukus terhenti. "Hmmm. Jangan buat gue ngerasa bersalah."

"Kenapa lo harus ngerasa bersalah? Lo nggak salah. Dari awal gue tahu hati lo milik siapa dan dari awal juga gue udah tahu resiko apa yang gue bakal dapat. Ditolak." Alfandy menghela nafas. "Dari awal gue pikir gue udah siap untuk itu. Nyatanya nggak ada hati yang siap untuk ditolak." Dia terkekeh getir.

"Fandy, maaf."

"Tapi gue nggak nyesal ngajak lo pura-pura jadi pacar. Gue senang akhirnya punya kesempatan jalan berdua sama lo, bisa mengungkapkan perasaan gue walau akhirnya nggak juga dapatin lo, tapi yang gue bingung kenapa lo tadi pura-pura di depan Mama gue? Bukannya seharusnya ..."

"Tante Cahaya sedang sakit. Gue nggak tahu ini keputusan bijak atau nggak cuma ... Gue nggak mau Tante Cahaya makin sedih." Alfandy menatap Saka lekat-lekat.

Serius? Mamanya hanya terluka karena kecelakaan lalu lintas, lukanya juga nggak terlalu parah, kata Mamanya hanya sedikit jahitan, tapi Saka bicara seakan-akan ada masalah lebih besar yang menyakiti hati mamanya dan Saka tak ingin mamanya lebih terluka lagi.

"Ka, jangan buat gue nebak-nebak .. apa lo tau sesuatu yang nggak gue ketahui tentang apa yang Mama gue alami hari ini?" Cowok itu bertanya serius.

"Maksud lo?"

"Bahwa Mama nggak sekedar kecelakaan?"

"Nggak. Perasaan lo aja kali?" Saka meletakkan ikan yang dia susun beserta sambel terasi ke atas meja makan sebelum Alfandy tahu kalau dia menyimpan sesuatu dan akhirnya dia harus melanggar janjinya pada Tante Cahaya untuk tidak menceritakan kejadian yang terjadi sore tadi.

"Masih mau berjuang merebut hati Arjun?" Pembicaraan Alfandy berubah. Tergelitik pada gaun yang dia temukan tadi. Saka tertegun di meja makan. "Gue nggak sengaja lihat belanjaan lo ... Apa lo mulai berpikir ucapan gue dulu benar? Bahwa kalau lo berpakaian feminim, Arjun bakal jatuh hati sama lo?" Jeda sejenak, Alfandy menghela nafas. Kenapa juga dia ngasih advis seperti itu sama Saka. "Kalau Arjun mencintai lo, dia harus menerima lo apa adanya."

"Dia nggak mencintai gue seperti yang gue mau. Buat dia, gue cuma sahabat. Jadi gue nggak bisa berharap dia bakal jatuh cinta sama gue yang apa adanya." Suara Saka terdengar parau. "Gue nggak tau apa keputusan gue ini benar. Cuma gue nggak bisa berhenti tanpa usaha ... sampai akhirnya Arjun sendiri yang bilang ke gue: kalau gue benar-benar nggak ada harapan. Bahw dia nggak pernah mencintai gue. Saat itu gue bakal berhenti."

Alfandy menghela nafas. "Gue iri sama Arjun, iri sama keberuntungan dia karena dicintai sebegitu besar sama lo."

Saka memutar tubuh menatap wajah Alfandy lekat-lekat. "Suatu saat nanti lo juga bakal ketemu orang yang mencintai lo dengan sepenuh hati. Gue bakal berdoa untuk itu."

Kenapa harus suatu saat?

Kenapa harus orang lain?

Yang gue mau itu: lo -Ka. Bukan yang lain.

Lihat selengkapnya